Hari Guru Nasional 2025

 



Guru Hebat, Indonesia Kuat: Menata Moral, Relasi, Integritas, dan Masa Depan Pendidikan


Oleh: Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di MTs/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi | Tutor UT SALUT Badak Putih Al‑Faidah | Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Catatan Pembuka

Tahun 2025 mengungkap luka serius dalam sistem pendidikan Indonesia. Skor Indeks Integritas Nasional berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 hanya mencapai 69,50, menurun dari tahun sebelumnya ((SPI) 2024). Data KPK juga menunjukkan bahwa 68% pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi masih rawan konflik kepentingan, sering kali didasari relasi pribadi alih-alih kompetensi. Disaat yang sama, gratifikasi di ruang kelas masih mengintai: sebagian guru atau pimpinan lembaga masih menganggap pemberian dari siswa atau orang tua sebagai hal wajar, padahal praktik ini dapat menjadi celah korupsi (KPK 2025). Semua ini menegaskan bahwa integritas pendidikan tengah dipertaruhkan secara sistemik.

Di titik ini, pertanyaan mendasar kembali muncul: apakah pendidikan Indonesia benar-benar mencerminkan harapan luhur bangsa? Guru sering disebut pahlawan, sekolah dipuji sebagai ladang karakter. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok kelas, rapor, dan apel upacara?

catatan ini menjadi panggilan tegas bagi seluruh pemangku kepentingan pendidik, siswa, orang tua, masyarakat, hingga pemerintah untuk menengok lebih dalam. Ini bukan tentang mencari siapa yang paling salah, tetapi tentang menyadari bahwa pendidikan Indonesia sedang berada di persimpangan kritis. jika moral, relasi, dan sistem tidak segera diperbaiki, bukan hanya guru yang akan kecewa, tetapi pondasi masa depan bangsa dapat diletakkan di atas retakan.

 

Pendidikan Berdasar Akhlak: Meneladani Ibnu Miskawaih

Untuk menata ulang moral dalam pendidikan, pemikiran Ibnu Miskawaih sangat relevan. Ia menegaskan bahwa pendidikan sejati tidak hanya soal pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan akhlak dan karakter yang menuntun murid pada kebaikan secara konsisten dan alami. Tanpa fondasi moral ini, pengetahuan hanyalah angka dan fakta kosong yang tidak membentuk pribadi utuh.

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, guru ideal harus memenuhi tiga kualitas utama yaitu dapat dipercaya, berilmu, dan menjadi teladan yang dicintai. Seorang guru bukan sekadar pengajar tapi  ia merupakan panutan moral yang membentuk hati murid. Murid sendiri lahir dalam fitrah suci, sebagaimana sabda Nabi SAW:

 

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah…” (HR. Bukhari)

 

Pendidikan karakter seperti ini membutuhkan ekosistem moral yang holistik: sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja bersama sebagai satu kesatuan. Bila satu pilar runtuh, pembentukan karakter anak menjadi pincang. Pandangan klasik ini didukung penelitian kontemporer. OECD (2023) menegaskan bahwa hubungan berbasis kepercayaan antara guru dan murid sangat krusial; ketika murid percaya bahwa gurunya peduli dan jujur, motivasi belajar, disiplin, dan prestasi akademik mereka meningkat (OECD 2023). Lebih jauh lagi, penelitian oleh Samsul Bahri, Halimatun Sakdiyah, dan Hasan Basri Tanjung (2024) menunjukkan bahwa relasi guru dan murid dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya mengandung elemen akademis, tetapi juga spiritual dan moral, memperkuat fondasi karakter siswa (Samsul Bahri 2024).

 

Kita kerap terlalu fokus pada teknologi, fasilitas, dan kurikulum sehingga melupakan inti pendidikan yaitu hubungan manusia. Guru dan murid bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan pribadi yang saling membentuk. Relasi ini hanya bisa berjalan jika kedua pihak saling menghormati, mempercayai, dan menjaga etika.

 

Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Kasus guru yang dilaporkan hanya karena menegur siswanya merokok di sekolah menjadi contoh betapa rapuhnya kepercayaan antara guru, murid, dan orang tua. Ketika kepercayaan runtuh, pendidikan sulit berjalan sehat. Dan saat hubungan dasarnya terguncang, seluruh bangunan pendidikan ikut melemah. Oleh sebab itu, persoalan ini tidak cukup dipahami dari insiden sesaat; kita harus menelusuri akarnya.

 

Era 4.0: Teknologi Ada, Tapi Moral Kadang Tertinggal

Di era digital saat ini, teknologi berkembang lebih cepat dibandingkan moral kita. Internet, media sosial, dan gadget membuka akses luas sekaligus tantangan besar. Anak-anak dapat terpapar konten tanpa filter  cyberbullying, tekanan sosial digital, hingga disinformasi menjadi ancaman nyata bagi perkembangan karakter mereka.

Namun, guru tidak bisa sendirian menanggung beban moral ini. Dibutuhkan kolaborasi nyata antara guru yang berkarakter, murid yang peduli, orang tua yang aktif mendampingi, dan masyarakat yang menjadi penjaga nilai. Jika satu elemen lemah, keseimbangan pendidikan bisa hilang.

Studi-studi kontemporer menegaskan hal ini. Menurut Savitri (2019) dan Danuri (2019), transformasi digital yang muncul di era Revolusi Industri 4.0 telah mengubah struktur sosial, ekonomi, dan budaya dengan cepat, dan dampaknya tidak hanya teknis tetapi moral (Danuri 2019). Bersamaan itu, Ulfah (2020) menunjukkan bahwa fenomena seperti kecanduan media sosial, perubahan pola konsumsi digital, dan kurangnya privasi menimbulkan disintegrasi moral (Ulfah 2020).

Penelitian lain juga mendukung pentingnya karakter di era digital. (Latuserimala 2024) dalam Journal of Global Learning and Teaching menjelaskan bahwa pendidikan (termasuk teologi) berperan besar menjaga integritas moral siswa di dunia digital. Sementara itu, Yulianti, Astawan, dan Riastini (2024) menemukan bahwa mindset pertumbuhan (“growth mindset”) guru berkorelasi positif dengan karakter kerja sama di kalangan murid SD, yang menunjukkan betapa pentingnya karakter guru dalam membentuk karakter murid (Yulianti 2024).

 

Dukungan Nyata untuk Guru dan Carut‑Marut Korupsi

Seorang guru yang menjaga integritas moral tidak akan efektif bila sistem di sekitarnya berantakan. Dukungan nyata berarti bukan hanya pelatihan atau penghargaan simbolis, tetapi perlindungan hukum, lingkungan kerja yang aman, insentif yang wajar, dan pengakuan profesional konsisten. Ketika guru merasa dihargai dan didukung, mereka dapat benar-benar menjadi agen karakter dan kejujuran.

Akan tetapi, realitas hari ini bicara lain. Sistem pendidikan masih dirundung praktik korupsi mendalam seperti suap penerimaan siswa, jual beli nilai, pungutan liar, pengadaan barang dan jasa yang dicurangi, dan jual beli jabatan. Temuan SPI KPK menunjukkan banyak vendor dipilih lewat relasi pribadi, dan gratifikasi masih membayangi ruang kelas (Kolaborasi KPK dengan enam kementerian untuk Pendidikan Antikorupsi 2025).

Dampak praktisnya sangat parah. Motivasi guru menurun, kualitas pendidikan melemah, dan siswa menerima pesan keliru bahwa uang bisa “membeli” nilai maupun posisi, sementara mereka yang berprestasi tetapi kurang mampu harus tersingkir. Kepercayaan publik terhadap pendidikan sebagai institusi moral pun semakin terkikis.

Perubahan sistemik mutlak diperlukan. Transparansi dalam seleksi siswa dan mahasiswa harus ditegakkan agar bebas dari suap dan kecurangan. Pengadaan barang dan jasa perlu dikelola secara bersih, akuntabel, dan diawasi publik. Pendidikan antikorupsi juga harus diajarkan sejak dini di semua jenjang, sementara guru perlu mendapatkan perlindungan hukum dan penghargaan profesional yang berkelanjutan. Inisiatif seperti kerja sama KPK dengan enam kementerian untuk memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum nasional serta pelatihan antikorupsi bagi ASN pengelola pengadaan barang dan jasa merupakan langkah konkret yang perlu diperkuat dan diperluas.

 

Penutup: Ajakan untuk Semua Pihak

Hari Guru Nasional 2025 bukan sekadar seremonial. Ini adalah panggilan bangun bagi seluruh pemangku kepentingan pendidik, siswa, orang tua, orang tua asuh, wali murid, masyarakat, dan pemerintah bahwa pendidikan Indonesia sedang diuji dari dalam.

Pendidikan hanya akan kuat jika moral dan adab dalam relasi guru dan murid diperbaiki, integritas sistem ditegakkan sehingga suap dan korupsi tidak lagi memiliki tempat, dan seluruh elemen masyarakat hadir sebagai pengawas sekaligus pendukung. Orang tua, orang tua asuh, dan masyarakat memiliki peran strategis untuk mendampingi dan memastikan nilai-nilai moral diterapkan secara nyata, bukan hanya mengawasi dari jauh. Dengan ekosistem pendidikan yang sehat, barulah lahir guru hebat, murid berakhlak, dan bangsa yang tangguh. Tanpa integritas, kejujuran, dan solidaritas antarpihak, seluruh cita-cita pendidikan akan rapuh.

Jika moral, relasi, dan sistem tidak dibenahi sekarang, dampaknya bukan sekadar kekecewaan bagi guru atau murid, tetapi masa depan generasi bangsa yang dipertaruhkan. Pendidikan tidak akan maju jika hanya sebagian pihak bekerja keras sementara pihak lain memilih diam.

Karena itu, sudah saatnya semua pihak bergerak dan bersinergi secara nyata: memperkuat karakter, menegakkan sistem, dan menata masa depan pendidikan bersama-sama. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk saling menguatkan. Keyakinan ini tumbuh dari pengalaman banyak insan pendidikan: bahwa jika integritas moral, relasi, dan akal sehat dalam dunia pendidikan tidak dijaga bersama oleh guru, orang tua, orang tua asuh, wali murid, masyarakat, hingga pemerintah maka masa depan bangsa akan perlahan tergerus dan akhirnya benar-benar dipertaruhkan.

#HGN2025

Post a Comment

أحدث أقدم