Menjadi Pahlawan di Era Digital: Refleksi Hari Pahlawan bagi Generasi Milenial

 



Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Belakangan ini, publik Indonesia ramai memperbincangkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada salah satu mantan presiden Republik Indonesia. Pro dan kontra muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat umum. Tulisan ini tidak bermaksud membahas siapa yang layak atau tidak layak menyandang gelar tersebut, karena isu itu sudah cukup ramai diperbincangkan di ruang publik. Di balik perdebatan itu, terselip pertanyaan yang jauh lebih penting: apa arti sebenarnya menjadi pahlawan di masa kini, terutama bagi generasi muda yang tumbuh dalam dunia serba digital, serba cepat, dan penuh distraksi?

Kita hidup di masa yang disebut banyak orang sebagai era krisis bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis moral, empati, dan spiritualitas. Krisis ini tak selalu tampak di depan mata; ia seperti inflasi yang perlahan menggerus daya beli nilai-nilai kemanusiaan. Segalanya tampak baik-baik saja, padahal banyak yang kehilangan arah dalam kesunyian digitalnya sendiri.

Di balik segala kemajuan teknologi, ada kekuatan tak kasat mata yang jauh lebih buas dari hewan mana pun: algoritma dan sistem kapitalisme digital yang perlahan mengendalikan cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi. Ia membentuk kebiasaan, menuntun opini, bahkan menentukan apa yang kita anggap benar atau penting. Dalam tatanan sosial yang semakin dikendalikan oleh logika kapitalisme, manusia perlahan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, istilah pahlawan terasa semakin relevan.
Mungkin inilah saatnya kita menafsirkan ulang: siapa pahlawan di tengah krisis yang tak terlihat tapi dampaknya begitu terasa?
Apakah pahlawan itu masih mereka yang berjuang di medan perang, atau justru mereka yang mampu menjaga akal sehat, iman, dan kemanusiaannya di tengah dunia yang dikuasai oleh kekuatan tak kasat mata itu?

 

Makna Pahlawan: Dari Etimologi hingga Spirit Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan diartikan sebagai seseorang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran (Bahasa 2023). Secara etimologis, kata pahlawan berasal dari kata pahala, yang berarti ganjaran atas kebaikan, dengan akhiran -wan yang berarti pelaku. Artinya, pahlawan adalah seseorang yang pantas memperoleh pahala karena perjuangannya menegakkan kebenaran dan kemaslahatan.

Dari makna sederhana ini, kita bisa memahami bahwa setiap orang punya kesempatan untuk menjadi pahlawan, bahkan dalam lingkup paling kecil: untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Menjadi pahlawan tidak selalu berarti menaklukkan dunia luar, tetapi juga menaklukkan dunia dalam diri hawa nafsu, rasa iri, ego, dan ketergantungan pada pengakuan digital.

Dalam pandangan Islam, pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan kebenaran (al-haq) dan keadilan. Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (Ahmad t.thn.).

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya melawan kezaliman dan menolong mereka yang tertindas:

“Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, serta berilah kami penolong dari sisi-Mu’.” (QS. An-Nisa: 75).

Menjadi pahlawan, bukan sekadar soal melawan musuh di medan perang, melainkan juga menjaga kehormatan diri, menguatkan keimanan, dan memperjuangkan kebaikan di tengah derasnya arus algoritma yang menguji akidah dan akal sehat kita.

 

Jihad dan Kepahlawanan: Melawan Musuh yang Tak Terlihat

Dalam Islam, perjuangan (jihad) memiliki banyak bentuk: jihad al-nafs (melawan hawa nafsu), jihad al-syaitan (melawan setan), jihad al-kuffar (melawan orang kafir yang memerangi), dan jihad al-nifaq (melawan kemunafikan) (Al-Ghazali 2005). Rasulullah SAW bahkan menyebut jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad terbesar. Seusai Perang Badar, beliau bersabda kepada para sahabat:

“Kita baru saja kembali dari perang kecil menuju perang yang lebih besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.”

Pesan ini terasa sangat relevan hari ini. Di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup yang serba instan, hedonis, dan kapitalistik, perjuangan terbesar manusia bukan lagi menaklukkan orang lain, tetapi menaklukkan dirinya sendiri.

Menjadi pahlawan di era digital berarti menahan hawa nafsu, menjaga kehormatan diri, dan memperkuat keimanan di tengah derasnya algoritma yang menggiring kita pada hal-hal yang menyesatkan.

Pahlawan sejati adalah mereka yang tetap menjaga fitrahnya sebagai manusia yang sadar, berakhlak, dan berusaha memanusiakan manusia di tengah dunia yang makin sibuk menilai segalanya dari angka, tampilan, dan tren.

Sejarah Islam menyimpan banyak teladan kepahlawanan. Salah satunya adalah Shalahuddin Al-Ayyubi, pemimpin besar yang membebaskan Yerusalem dari tentara Salib dengan keberanian dan kebijaksanaan (Al-Khalidi 2018). Ia dikenal bukan hanya karena kekuatan militernya, tetapi juga karena kemurahan hatinya terhadap musuh yang kalah.

Selain di medan perang, banyak pahlawan Muslim berjuang melalui ilmu pengetahuan, kedokteran, dan teknologi dari Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, hingga Al-Jazari. Mereka membuktikan bahwa kepahlawanan tidak selalu identik dengan senjata, melainkan dengan akal, moral, dan ketulusan hati.

Mereka adalah bukti bahwa iman, ilmu, dan amal bisa berpadu menjadi kekuatan perubahan.

Nilai-nilai kepahlawanan tidak mati bersama para pejuang yang gugur. Keberanian, keikhlasan, dan idealisme mereka terus hidup di hati generasi penerus. Seperti kata Tan Malaka,

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” (Malaka 2000).

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa semangat kepahlawanan harus terus diwariskan. Di era digital ini, keberanian bukan lagi diukur dari seberapa besar medan perang yang ditaklukkan, melainkan seberapa teguh seseorang mempertahankan nilai-nilai iman dan kemanusiaannya di tengah godaan dunia maya.

 

Pahlawan di Era Revolusi Industri 4.0

Makna kepahlawanan kini bertransformasi. Di era Revolusi Industri 4.0, pahlawan adalah mereka yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan berkontribusi positif melalui teknologi. Namun di sisi lain, mereka juga harus menjaga jati diri, akidah, dan moralitas agar tidak hanyut dalam derasnya arus algoritma dan informasi.

Nah,, Generasi milenial bisa menjadi pahlawan dengan berbagai cara:

1)   Menggunakan media digital untuk menyebarkan nilai kebaikan, bukan kebencian.

2)   Berani berkata benar di ruang digital yang bising oleh opini.

3)   Menciptakan inovasi yang membawa manfaat bagi masyarakat.

4)   Menjaga akhlak, kehormatan, dan integritas di ruang publik maupun ruang privat.

5)   Menjadi manusia yang memanusiakan manusia, menghargai, menolong, dan menumbuhkan empati.

 

Kini, musuh terbesar sering kali tak kasat mata. Ia hadir dalam bentuk kebohongan yang tampak indah, atau dalam hasrat untuk selalu diakui di dunia maya. Di sinilah kepahlawanan diuji dan didefinisikan ulang.

Hari Pahlawan bukan sekadar upacara atau tabur bunga. Lebih dari itu, ia adalah momen refleksi untuk menyalakan kembali semangat perjuangan dalam diri. Generasi milenial perlu menyadari bahwa menjadi pahlawan tidak harus memiliki gelar, pangkat, atau nama besar.

Menjadi pahlawan berarti berani menjaga kebenaran, menebar manfaat, menguatkan iman, dan tetap memanusiakan manusia dimulai dari diri sendiri, di lingkungan terdekat, hingga di dunia digital tempat kita hidup hari ini.

Remaja masa kini punya medan perang sendiri bukan di medan tempur, melainkan di ruang digital yang penuh narasi dan ilusi.
Beranilah berkata jujur, meski tak selalu disukai.
Beranilah berpikir kritis, meski berbeda dari kebanyakan.
Dan beranilah menjaga iman serta akal sehat, meski dunia sering kali menertawakan kesederhanaan dan kebenaran.

Sebab pahlawan sejati hari ini bukanlah mereka yang viral, tetapi mereka yang tetap waras, jujur, dan teguh memegang nilai.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama