Mengapa Ranking Dihapus? Ini Alasannya Sebenarnya

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 215)

 



Penghapusan ranking dalam Kurikulum Merdeka sempat menimbulkan tanda tanya besar di kalangan orang tua, guru, hingga siswa. Ranking sudah begitu melekat sebagai bagian dari budaya sekolah selama bertahun-tahun, bahkan sering menjadi tolok ukur kesuksesan belajar. Namun, Kurikulum Merdeka datang dengan cara pandang baru: pendidikan bukan sekadar angka atau urutan, melainkan perjalanan tumbuhnya manusia seutuhnya.

 

 

Kebijakan penghapusan ranking muncul bukan tanpa alasan. Pemerintah melihat bahwa sistem pemeringkatan tidak lagi relevan dengan kebutuhan pembelajaran abad 21 yang menekankan kreativitas, kolaborasi, karakter, dan kompetensi. Ranking hanya menyoroti hasil akhir, bukan proses belajar yang sebenarnya jauh lebih penting.

 

 

Alasan pertama yang mendasari penghapusan ranking adalah fokus baru pada proses belajar. Dalam banyak kasus, siswa dan orang tua menjadi sangat terpaku pada nilai, bukan pemahaman. Mereka mengejar angka, bukan ilmu. Tidak sedikit siswa yang akhirnya menghafal, menyontek, atau belajar hanya menjelang ujian demi mempertahankan posisi ranking. Kurikulum Merdeka ingin membalik keadaan. Siswa seharusnya menikmati proses memahami materi, mencoba hal baru, dan mengembangkan cara belajar yang sesuai minat dan gaya belajarnya. Ketika proses diperhatikan, hasil akan mengikuti.

 

 

Alasan berikutnya adalah menghindari kompetisi tidak sehat. Ranking sering memicu persaingan yang membuat sebagian siswa tidak nyaman. Ada yang tertekan karena harus selalu berada di tiga besar, ada pula yang merasa tidak mampu karena tidak pernah naik peringkat. Hal ini secara tidak sadar membentuk pola pikir bahwa belajar adalah ajang lomba, bukan ruang untuk bertumbuh. Dengan dihapuskannya ranking, kolaborasi kembali menjadi pusat. Siswa diajak saling membantu, berdiskusi, dan menciptakan lingkungan belajar yang suportif.

 

 

Kemudian, Kurikulum Merdeka ingin mengakui keunikan tiap anak. Ranking hanya mengukur satu jenis kemampuan: akademik. Padahal, seorang anak mungkin hebat di seni, olahraga, komunikasi, problem solving, hingga empati. Dengan penilaian yang lebih holistik, guru dapat melihat lebih jernih kelebihan dan kebutuhan tiap siswa. Tidak ada lagi anak yang dicap “pintar hanya karena ranking atas”, atau “kurang mampu karena ranking bawah”. Penilaian menjadi lebih manusiawi dan menghargai keragaman potensi.

 

 

Tak kalah penting, penghapusan ranking bertujuan mengurangi tekanan psikologis. Banyak siswa yang membawa beban peringkat sebagai penanda harga diri. Saat mereka merasa gagal mempertahankan ranking, rasa percaya diri ikut runtuh. Dengan sistem baru ini, siswa tidak lagi diberi label berdasarkan urutan, tetapi diberi ruang aman untuk tumbuh sesuai kapasitasnya. Motivasi belajar dibangun dari dalam diri, bukan dari ketakutan akan kegagalan.

 

 

Pada akhirnya, penghapusan ranking adalah bagian dari visi besar Merdeka Belajar: membangun budaya pendidikan yang lebih sehat, lebih manusiawi, dan lebih relevan dengan masa depan. Pendidikan bukan soal siapa yang paling cepat sampai garis akhir, tetapi siapa yang terus bertumbuh menjadi versi terbaik dirinya.

 

 

Kurikulum Merdeka mengajak kita melihat anak bukan sebagai angka, melainkan sebagai manusia dengan potensi yang begitu luas.



 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama