Dra. Rr. Ayu Dewi Widowati
Guru MTsN 1 Yogyakarta
Dewan Pakar Agerlip PGM Indonesia
Aku kaget ketika bertemu kembali dengan Mbah Soma seorang
tukang kebun dan penjaga sekolah yang bekerja di SD Pelita Surabaya. Kala itu
aku masih berstatus Guru Tidak Tetap (GTT). Meskli nampak tua dan renta, namun
gurat-gurat kecantikannya masih nampak jelas. Pribadi yang murah senyum,
berkuing langsat serta punya tahi lalat di dahinya itu hampir tak mengenaliku
lagi. Saya Wati mbah...kucium dan
kupeluk dia erat-erat. O..o...o Bu Wati to....? Saya pangling, maaf ya Bu.....begitu katanya. Saya maklum
kalau dia sudah lupa karena hampir 15 tahun tidak bertemu. Sejak aku diangkat
menjadi PNS dan mutasi ke Yogya tempat kelahiranku.
Ingatanku melayang ke beberapa tahun silam, kala aku
masih mengajar di SD Pelita. Setelah mengikuti ujian tulis dan ujian praktik micro
teaching, aku dan dua orang temanku diterima sebagai guru honor di SD itu.
Saat itu aku baru hamil 3 bulan anak pertamaku, aku sering muntah-muntah,
pusing dan mual tak karuan, maklum itu pengalaman pertamaku. Tapi tetap aku
paksakan mengajar meski kondisiku sangat lemah, karena setiap hari naik angkot,
begitu sampai di sekolah biasanya aku ke kamar kecil dan muntaj-muntah sejadi-jadinya.
Kadang aku merasa iri jika mendengar cerita teman-temanku yang saat hamil tidak
merasakan mual dan muntah-muntah seperti aku ini, kata orang jawa namanya ngebo
alias ndablek apa-apa dimakan. Kalau aku boro-boro makan, bau nasi saja sudah mual-mual.
Dan Mbah Somalah yang sangat perhatian padaku, dia begitu gemati dan sayang
padaku, dianggapnya aku sebagai anaknya sendiri. Setiap pagi saat aku duduk di
ruanganku pasti Mbah Soma segera memberiku teh paas, kadang memesankan nasi
soto di warung dekat sekolah, sambil berkata ”Bu, tolong dipaksakan makan untuk
janin yang dikandung Ibu, dia butuh asupan makanan.” aku pun terpaksa makan
soto yang dipesankannya meski kemudian aku muntah-muntah lagi. Dan katanya
”ndak papa muntah lagi, yang penting sudah ada yang tertelan, jadi bayinya
tidak ngiler, katanya sambil guyon. Aku pun manut-manut
saja. Dan kejadian itu berulang terus sampai beberapa bulan hingga usia
kandunganku 6 bulan dan aku sudah doyan makan apa-apa. Pernah Mbah Soma
membawakanku 2 buah mangga muda dan seikat rambutan yang katanya hasil panen
kebun, padahal ku tahu dari temanku bahwa Mbah Soma membeli buah itu di warung
sayur di ujung gang masuk ke SD Pelita.
Trenyuh rasa hatiku mengingat peristiwa itu. Dan kini wanita
yang baik itu duduk di hadapanku. Dia sudah sepuh tapi jelas kecantikan
hatuinya nampak di raut wajahnya. Aku jadi merasa mali karena kadang-kadang aku
marah-marah dan ngomel pada anak-anakku yang membuat berisik atau menggodaku.
Aku teringat kasih sayang dan ketulusan Mbah Soma kepadaku meskipun aku bukan
anak kandungnya sendiri. Wanita desa bersahaja itu telah menyadarkanku. ”Bu
Wati, saya pulang dulu ya... cucu saya sudah menjemput”, katanya membuyarkan
lamunanku. Segera aku salami dia dan tak lupa kuselipkan sebagian uang gajiku
untuknya. ”Ya Mbah Soma, monggo...monggo selamat jalan ya...” dalam hati
aku berdoa semoga Mbah soma selalu sehat dan mendapat perlindungan dari-Nya,
aamiin...
Posting Komentar