K13 atau Kurikulum Merdeka: Siapa Paling Pro Murid?

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 219)



Perdebatan tentang K13 dan Kurikulum Merdeka masih hangat di ruang guru, grup WhatsApp sekolah, hingga meja diskusi kebijakan pendidikan. Dua kurikulum ini sering diposisikan seolah saling bertolak belakang. Padahal, keduanya lahir dari semangat yang sama: meningkatkan kualitas pembelajaran dan masa depan peserta didik. Lalu, pertanyaannya sederhana tapi mendasar mana yang benar-benar berpihak pada murid?

 

 

Kurikulum 2013 (K13) dikenal dengan struktur yang rapi dan ketat. Kompetensi inti, kompetensi dasar, silabus, hingga penilaian dirancang sistematis. Guru memiliki panduan jelas tentang apa yang harus diajarkan dan capaian apa yang wajib dituntaskan. Dalam konteks tertentu, terutama sekolah dengan sumber daya terbatas, K13 justru memberi rasa aman. Guru tidak perlu menebak arah, karena semua sudah tertata. Ketuntasan materi menjadi fokus utama agar tidak ada kompetensi dasar yang tertinggal.

 

 

Namun, di sisi lain, K13 kerap dikritik karena dianggap terlalu padat dan berorientasi pada administrasi. Guru sibuk mengejar target materi, sementara ruang untuk menggali minat, bakat, dan keunikan murid menjadi terbatas. Tidak semua anak belajar dengan kecepatan dan cara yang sama, tetapi sistem ketuntasan sering memaksa mereka berada pada jalur seragam. Murid yang tertinggal merasa tertekan, yang melaju cepat justru kurang tertantang.

 

 

Kurikulum Merdeka hadir membawa narasi berbeda. Fokusnya pada murid sebagai subjek pembelajaran, bukan sekadar objek penerima materi. Guru diberi keleluasaan memilih perangkat ajar, menyesuaikan metode, bahkan mengatur kedalaman materi sesuai konteks sekolah dan karakter peserta didik. Projek penguatan profil pelajar Pancasila menjadi ruang aktualisasi karakter, kolaborasi, dan kreativitas.

 

 

Bagi murid, Kurikulum Merdeka terasa lebih “manusiawi”. Mereka diajak belajar sesuai tahap perkembangan, diberi ruang mencoba, salah, lalu tumbuh. Minat dan bakat tidak lagi sekadar slogan, tetapi menjadi bagian dari proses belajar. Namun, kebebasan ini juga menghadirkan tantangan. Tidak semua guru siap dengan perubahan. Tanpa pemahaman yang utuh, “merdeka” bisa berubah menjadi kebingungan baik bagi guru maupun murid.

 

 

Di titik inilah pertanyaan kunci muncul: mana yang lebih baik? Jawabannya tidak sesederhana memilih K13 atau Kurikulum Merdeka. Kurikulum terbaik adalah yang dipahami oleh guru, sesuai dengan kondisi nyata sekolah, dan benar-benar berdampak pada belajar murid. Kurikulum yang bagus di atas kertas tidak akan bermakna jika guru kesulitan menerapkannya. Sebaliknya, kurikulum sederhana bisa sangat efektif jika dijalankan dengan kesadaran dan komitmen.

 

 

Pada akhirnya, keberpihakan pada murid bukan terletak pada nama kurikulumnya, tetapi pada praktik di kelas. Guru yang reflektif, sekolah yang adaptif, dan kebijakan yang realistis adalah kunci. Jadi, bagaimana pendapat kalian? K13 atau Kurikulum Merdeka mana yang paling berpihak pada murid di sekolahmu?

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama