Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 223)
Di era digital, gadget
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Dari bangun
tidur hingga menjelang tidur kembali, layar ponsel nyaris tak pernah jauh dari
genggaman. Di ruang kelas, kondisi ini sering menimbulkan kegelisahan guru:
gadget dianggap musuh konsentrasi, sumber distraksi, bahkan ancaman serius bagi
kualitas belajar. Namun, benarkah gadget sepenuhnya harus dilawan? Atau justru
bisa dijinakkan dan dijadikan sahabat belajar yang efektif?
Kegalauan ini wajar.
Larangan total sering kali tidak realistis dan justru memicu perlawanan diam-diam.
Kuncinya bukan menutup pintu teknologi, melainkan menguasai dan mengarahkannya.
Gadget tidak salah; cara kita memanfaatkannya yang menentukan.
Strategi pertama adalah integrasi teknologi secara konstruktif.
Alih-alih melarang penggunaan ponsel, guru dapat mengarahkan siswa menggunakan
aplikasi edukatif yang sudah akrab di dunia mereka. Platform seperti Quizizz
atau Kahoot! mampu mengubah evaluasi belajar menjadi aktivitas interaktif dan
menyenangkan. Siswa tidak lagi merasa “diuji”, tetapi “bermain sambil
berpikir”. Selain itu, alat kolaborasi digital dapat melatih kerja tim dan
komunikasi, dua keterampilan penting abad ke-21.
Lebih jauh, gadget bisa
dijadikan alat utama dalam proyek
berbasis teknologi. Tugas membuat video presentasi, podcast pendidikan,
atau riset daring akan menggeser fungsi gadget dari hiburan pasif menjadi alat
produksi pengetahuan. Saat siswa sibuk mengedit video atau menyusun naskah
podcast, mereka belajar berpikir kritis, kreatif, sekaligus bertanggung jawab
terhadap karyanya.
Strategi kedua adalah menciptakan pembelajaran yang menarik dan
bermakna. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning)
menawarkan tantangan nyata yang dekat dengan kehidupan siswa. Ketika mereka
diminta mencari solusi atas persoalan lingkungan, sosial, atau teknologi,
motivasi belajar meningkat secara alami. Gadget pun menjadi alat bantu untuk
mencari data, berdiskusi, dan menyusun solusi.
Pendekatan gamifikasi juga efektif menyaingi daya
tarik game di ponsel. Sistem poin, leaderboard, dan reward sederhana mampu
menumbuhkan semangat berkompetisi sehat. Kelas tidak lagi terasa kaku,
melainkan dinamis dan menantang. Belajar berubah dari kewajiban menjadi
pengalaman yang ditunggu.
Strategi ketiga yang tak
kalah penting adalah komunikasi dan
kemitraan. Aturan kelas terkait penggunaan gadget harus jelas dan
disepakati bersama siswa. Kapan gadget boleh digunakan, untuk tujuan apa, dan
kapan harus disimpan. Jika perlu, tetapkan “zona bebas gadget” pada momen
tertentu agar fokus tetap terjaga.
Kerja sama dengan orang tua
juga menjadi kunci. Diskusi terbuka tentang pembatasan waktu layar di rumah dan
prioritas belajar akan menciptakan konsistensi antara sekolah dan keluarga.
Pendidikan digital tidak bisa berjalan sendiri di ruang kelas; ia membutuhkan
dukungan lingkungan rumah.
Pada akhirnya, gadget
bukanlah lawan guru. Ia hanyalah alat. Jika diarahkan dengan strategi yang
tepat, gadget dapat menjadi perpanjangan tangan pembelajaran membuka
akses pengetahuan, menumbuhkan kreativitas, dan mendekatkan sekolah dengan
realitas dunia digital siswa. Tantangannya bukan pada teknologinya, melainkan
pada kesiapan kita untuk beradaptasi dan memimpin perubahan.

Posting Komentar