Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 216)
Dalam dunia pendidikan,
khususnya saat pembagian rapor, sering muncul istilah miring yang beredar di
kalangan masyarakat: “sulap nilai”. Seolah-olah nilai siswa bisa berubah
secara instan tanpa proses yang jelas. Padahal, dalam sistem penilaian rapor
yang berlaku di sekolah, tidak ada
istilah sulap nilai. Yang ada adalah rangkaian proses penilaian yang
panjang, objektif, dan terukur, dengan remedial
sebagai kunci terpentingnya.
Penilaian rapor tidak
pernah berdiri pada satu angka atau satu momen ujian saja. Kehadiran siswa
menjadi aspek dasar yang menentukan. Siswa yang disiplin hadir menunjukkan
komitmen terhadap proses belajar. Selanjutnya, keaktifan di kelas juga
diperhitungkan, diukur dari partisipasi siswa dalam diskusi, keberanian
bertanya, serta keterlibatan dalam kegiatan pembelajaran. Ini bukan soal pintar
atau tidak, tetapi soal kemauan untuk belajar.
Nilai tugas pun tidak
sekadar angka. Guru menilai kualitas isi, kerapian, ketepatan waktu
pengumpulan, dan kesungguhan siswa dalam mengerjakan. Lalu ada ulangan harian
yang berfungsi menguji pemahaman materi secara bertahap. Ulangan ini membantu
guru memetakan bagian mana dari materi yang sudah dipahami dan mana yang masih
perlu diperbaiki.
Pada tahap berikutnya,
Ujian Tengah Semester (UTS) hadir sebagai evaluasi perkembangan belajar siswa
dalam setengah semester. Sementara Ujian Akhir Semester (UAS) digunakan untuk
mengukur penguasaan materi secara menyeluruh. Di samping aspek akademik,
penilaian sikap dan karakter juga menjadi bagian penting, mencakup disiplin,
tanggung jawab, kejujuran, dan kerja sama. Semua aspek ini saling melengkapi
dan membentuk gambaran utuh tentang perkembangan seorang siswa.
Namun, dari semua komponen
tersebut, remedial adalah yang paling
sering disalahpahami. Remedial bukanlah jalan pintas, apalagi manipulasi
nilai. Remedial adalah kegiatan perbaikan
atau pengulangan pembelajaran yang diberikan kepada siswa yang belum
mencapai standar kompetensi atau nilai minimum yang ditetapkan, biasanya
dikenal sebagai KKM.
Tujuan remedial sangat
jelas dan mulia. Pertama, membantu siswa memahami materi yang belum dikuasai.
Kedua, memberi kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki nilai melalui proses
belajar yang nyata. Ketiga, menjamin bahwa semua siswa benar-benar mencapai
kompetensi dasar yang diharapkan, bukan sekadar lulus di atas kertas.
Bentuk remedial pun
beragam. Bisa berupa mengulang tes atau ulangan, mengerjakan tugas tambahan,
mengikuti pembelajaran ulang pada materi tertentu, atau mendapatkan bimbingan
khusus dari guru. Semua itu membutuhkan usaha, waktu, dan kesungguhan dari
siswa.
Karena itu, remedial bukan hukuman. Ia adalah
kesempatan kedua, ruang belajar tambahan, dan bentuk keadilan dalam pendidikan.
Rapor yang baik bukan hasil sulap, melainkan buah dari proses, pendampingan
guru, dan kemauan siswa untuk terus memperbaiki diri. Di sanalah makna belajar
yang sesungguhnya.

Posting Komentar