Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 205)
Perubahan zaman membawa perubahan cara pandang, termasuk dalam memilih profesi.
Jika dulu menjadi guru adalah impian banyak anak muda, kini realitasnya
berbeda. Profesi yang selama puluhan tahun indentik dengan kebanggaan dan
pengabdian ini justru semakin kehilangan peminat dari generasi terbaru.
Fenomena ini tidak hanya tampak dari survei organisasi profesi guru, tetapi
juga dari percakapan publik di media sosial yang memotret keresahan nyata para
pendidik.
Survei PGRI menunjukkan
hanya 11 persen anak muda yang tertarik menjadi guru. Bahkan dari angka kecil
itu, sebagian besar memilih bukan karena panggilan hati, tetapi karena tidak
memiliki alternatif lain. Fakta ini memperlihatkan betapa jauhnya profesi guru
dari daya tarik masa depan yang dianggap stabil dan menjanjikan. Bagi generasi
yang hidup di era digital dengan fleksibilitas, peluang global, dan ragam profesi baru menjadi
guru tampak seperti jalan sempit yang penuh kerikil.
Banyak anak muda menilai
pekerjaan guru tidak menghadirkan kepastian finansial yang memadai. Isu
kesejahteraan, keterlambatan tunjangan, serta beban administratif yang terus
menumpuk menjadi cerita berulang. Di sisi lain, guru dituntut untuk tampil
sempurna: menguasai materi, memahami psikologi remaja, memainkan peran sebagai
motivator, sekaligus pengelola kelas. Namun apresiasi terhadap kerja besar itu
sering kali justru tidak seimbang.
Tak sedikit guru bercerita
tentang tekanan yang datang bukan hanya dari sekolah, tetapi juga dari publik.
Dalam era viral seperti sekarang, salah langkah kecil dapat langsung berakhir
di media sosial, membawa stigma dan risiko hukum. Banyak guru muda merasa
pekerjaan ini tidak lagi ramah bagi kesehatan mental. Ketika sanksi atau
laporan dapat muncul hanya karena menegur siswa yang melanggar aturan, profesi
ini tampak semakin berisiko.
Namun fenomena ini bukan
hanya soal gaji dan tekanan. Di balik semua itu ada perubahan paradigma
generasi. Gen Z tumbuh dalam lingkungan yang memberi ruang besar untuk
kreativitas, ekspresi diri, dan mobilitas karier. Mereka mendambakan pekerjaan
yang fleksibel dan memberikan peluang berkembang cepat. Profesi guru, dengan
sistem birokrasi panjang dan struktur karier yang cenderung statis, terasa
kurang relevan bagi sebagian besar dari mereka.
Meski demikian, masih ada
segelintir anak muda yang ingin menjadi guru. Mereka melihat profesi ini bukan
hanya sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai ruang pengabdian. Bagi
mereka, kelas adalah tempat perubahan dimulai. Kisah-kisah seperti ini
menunjukkan bahwa harapan belum padam. Namun tetap saja, jumlahnya terlalu
sedikit untuk menopang kebutuhan regenerasi guru nasional.
Untuk mengatasi penurunan
minat ini, negara perlu hadir lebih kuat. Kebijakan perlindungan profesi,
peningkatan kesejahteraan, serta penguatan posisi guru sebagai profesi
strategis harus menjadi prioritas. Pendidikan tidak bisa berjalan tanpa guru,
dan keberlanjutan profesi ini tidak mungkin tercapai tanpa fondasi yang kokoh.
Pada akhirnya, menumbuhkan
kembali minat anak muda menjadi guru bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah
tugas seluruh masyarakat. Ketika penghargaan dan dukungan mengalir kembali
kepada guru, profesi ini akan kembali bersinar. Dan dari sanalah masa depan
pendidikan Indonesia menemukan jalannya kembali.

Posting Komentar