Guru Hebat, Indonesia
Kuat: Menata Moral, Relasi, Integritas, dan Masa Depan Pendidikan
Oleh: Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di MTs/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi | Tutor UT SALUT Badak Putih
Al‑Faidah | Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi
Catatan Pembuka
Tahun 2025 mengungkap
luka serius dalam sistem pendidikan Indonesia. Skor Indeks Integritas Nasional
berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 hanya mencapai 69,50, menurun dari tahun
sebelumnya
Di titik ini, pertanyaan
mendasar kembali muncul: apakah pendidikan Indonesia benar-benar mencerminkan
harapan luhur bangsa? Guru sering disebut pahlawan, sekolah dipuji sebagai
ladang karakter. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok kelas,
rapor, dan apel upacara?
catatan ini menjadi
panggilan tegas bagi seluruh pemangku kepentingan pendidik, siswa, orang tua,
masyarakat, hingga pemerintah untuk menengok lebih dalam. Ini bukan tentang
mencari siapa yang paling salah, tetapi tentang menyadari bahwa pendidikan
Indonesia sedang berada di persimpangan kritis. jika moral, relasi, dan sistem
tidak segera diperbaiki, bukan hanya guru yang akan kecewa, tetapi pondasi masa
depan bangsa dapat diletakkan di atas retakan.
Pendidikan Berdasar Akhlak:
Meneladani Ibnu Miskawaih
Untuk menata
ulang moral dalam pendidikan, pemikiran Ibnu Miskawaih sangat relevan. Ia
menegaskan bahwa pendidikan sejati tidak hanya soal pengetahuan, tetapi juga
menumbuhkan akhlak dan karakter yang menuntun murid pada kebaikan secara
konsisten dan alami. Tanpa fondasi moral ini, pengetahuan hanyalah angka dan
fakta kosong yang tidak membentuk pribadi utuh.
Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, guru ideal harus
memenuhi tiga kualitas utama yaitu dapat dipercaya, berilmu, dan menjadi
teladan yang dicintai. Seorang guru bukan sekadar pengajar tapi ia merupakan panutan moral yang membentuk hati
murid. Murid sendiri lahir dalam fitrah suci, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah…” (HR. Bukhari)
Pendidikan karakter seperti ini membutuhkan ekosistem
moral yang holistik: sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja bersama
sebagai satu kesatuan. Bila satu pilar runtuh, pembentukan karakter anak
menjadi pincang. Pandangan klasik ini didukung penelitian kontemporer. OECD
(2023) menegaskan bahwa hubungan berbasis kepercayaan antara guru dan murid
sangat krusial; ketika murid percaya bahwa gurunya peduli dan jujur, motivasi belajar,
disiplin, dan prestasi akademik mereka meningkat
Kita kerap terlalu fokus pada teknologi, fasilitas,
dan kurikulum sehingga melupakan inti pendidikan yaitu hubungan manusia. Guru
dan murid bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan pribadi yang saling
membentuk. Relasi ini hanya bisa berjalan jika kedua pihak saling menghormati,
mempercayai, dan menjaga etika.
Sayangnya,
realitas hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Kasus guru yang dilaporkan hanya
karena menegur siswanya merokok di sekolah menjadi contoh betapa rapuhnya
kepercayaan antara guru, murid, dan orang tua. Ketika kepercayaan runtuh,
pendidikan sulit berjalan sehat. Dan saat hubungan dasarnya terguncang, seluruh
bangunan pendidikan ikut melemah. Oleh sebab itu, persoalan ini tidak cukup
dipahami dari insiden sesaat; kita harus menelusuri akarnya.
Era 4.0: Teknologi Ada, Tapi Moral
Kadang Tertinggal
Di era digital saat ini,
teknologi berkembang lebih cepat dibandingkan moral kita. Internet, media
sosial, dan gadget membuka akses luas sekaligus tantangan besar. Anak-anak dapat
terpapar konten tanpa filter cyberbullying,
tekanan sosial digital, hingga disinformasi menjadi ancaman nyata bagi
perkembangan karakter mereka.
Namun, guru tidak bisa
sendirian menanggung beban moral ini. Dibutuhkan kolaborasi nyata antara guru
yang berkarakter, murid yang peduli, orang tua yang aktif mendampingi, dan
masyarakat yang menjadi penjaga nilai. Jika satu elemen lemah, keseimbangan
pendidikan bisa hilang.
Studi-studi kontemporer
menegaskan hal ini. Menurut Savitri (2019) dan Danuri (2019), transformasi
digital yang muncul di era Revolusi Industri 4.0 telah mengubah struktur
sosial, ekonomi, dan budaya dengan cepat, dan dampaknya tidak hanya teknis
tetapi moral
Penelitian lain juga
mendukung pentingnya karakter di era digital.
Dukungan Nyata untuk Guru dan Carut‑Marut
Korupsi
Seorang guru yang
menjaga integritas moral tidak akan efektif bila sistem di sekitarnya
berantakan. Dukungan nyata berarti bukan hanya pelatihan atau penghargaan
simbolis, tetapi perlindungan hukum, lingkungan kerja yang aman, insentif yang
wajar, dan pengakuan profesional konsisten. Ketika guru merasa dihargai dan didukung,
mereka dapat benar-benar menjadi agen karakter dan kejujuran.
Akan tetapi, realitas
hari ini bicara lain. Sistem pendidikan masih dirundung praktik korupsi
mendalam seperti suap penerimaan siswa, jual beli nilai, pungutan liar,
pengadaan barang dan jasa yang dicurangi, dan jual beli jabatan. Temuan SPI KPK
menunjukkan banyak vendor dipilih lewat relasi pribadi, dan gratifikasi masih
membayangi ruang kelas
Dampak praktisnya sangat
parah. Motivasi guru menurun, kualitas pendidikan melemah, dan siswa menerima
pesan keliru bahwa uang bisa “membeli” nilai maupun posisi, sementara mereka
yang berprestasi tetapi kurang mampu harus tersingkir. Kepercayaan publik
terhadap pendidikan sebagai institusi moral pun semakin terkikis.
Perubahan
sistemik mutlak diperlukan. Transparansi dalam seleksi siswa dan mahasiswa
harus ditegakkan agar bebas dari suap dan kecurangan. Pengadaan barang dan jasa
perlu dikelola secara bersih, akuntabel, dan diawasi publik. Pendidikan
antikorupsi juga harus diajarkan sejak dini di semua jenjang, sementara guru
perlu mendapatkan perlindungan hukum dan penghargaan profesional yang
berkelanjutan. Inisiatif seperti kerja sama KPK dengan enam kementerian untuk
memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum nasional serta pelatihan
antikorupsi bagi ASN pengelola pengadaan barang dan jasa merupakan langkah
konkret yang perlu diperkuat dan diperluas.
Penutup: Ajakan untuk Semua Pihak
Hari Guru Nasional 2025
bukan sekadar seremonial. Ini adalah panggilan bangun bagi seluruh pemangku
kepentingan pendidik, siswa, orang tua, orang tua asuh, wali murid, masyarakat,
dan pemerintah bahwa pendidikan Indonesia sedang diuji dari dalam.
Pendidikan hanya akan
kuat jika moral dan adab dalam relasi guru dan murid diperbaiki, integritas
sistem ditegakkan sehingga suap dan korupsi tidak lagi memiliki tempat, dan
seluruh elemen masyarakat hadir sebagai pengawas sekaligus pendukung. Orang
tua, orang tua asuh, dan masyarakat memiliki peran strategis untuk mendampingi
dan memastikan nilai-nilai moral diterapkan secara nyata, bukan hanya mengawasi
dari jauh. Dengan ekosistem pendidikan yang sehat, barulah lahir guru hebat,
murid berakhlak, dan bangsa yang tangguh. Tanpa integritas, kejujuran, dan
solidaritas antarpihak, seluruh cita-cita pendidikan akan rapuh.
Jika moral, relasi, dan
sistem tidak dibenahi sekarang, dampaknya bukan sekadar kekecewaan bagi guru
atau murid, tetapi masa depan generasi bangsa yang dipertaruhkan. Pendidikan
tidak akan maju jika hanya sebagian pihak bekerja keras sementara pihak lain memilih
diam.
Karena
itu, sudah saatnya semua pihak bergerak dan bersinergi secara nyata: memperkuat
karakter, menegakkan sistem, dan menata masa depan pendidikan bersama-sama.
Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk saling menguatkan. Keyakinan ini
tumbuh dari pengalaman banyak insan pendidikan: bahwa jika integritas moral,
relasi, dan akal sehat dalam dunia pendidikan tidak dijaga bersama oleh guru,
orang tua, orang tua asuh, wali murid, masyarakat, hingga pemerintah maka masa
depan bangsa akan perlahan tergerus dan akhirnya benar-benar dipertaruhkan.
#HGN2025

Posting Komentar