Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 199)
Lomba Peneliti Belia
kembali menjadi sorotan setelah gelaran tingkat Provinsi Jawa Barat yang
diselenggarakan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 8 November 2025 lalu.
Banyak kalangan pendidikan bertanya-tanya: bagaimana mungkin peserta dari
tingkat Madrasah Tsanawiyah mampu menembus dominasi peserta SMA yang secara
usia dan pengalaman akademik jauh lebih matang? Pertanyaan ini muncul bukan
semata karena hasil perlombaan, tetapi karena adanya gambaran besar tentang
mutu pendidikan, kekuatan mental peserta, serta kualitas pembimbingan yang
menentukan kemenangan mereka.
Di balik capaian MTsN 2
Garut yang berhasil meraih juara 2, terdapat proses panjang yang dimulai jauh
sebelum hari lomba. Riset tidak pernah berdiri dari ruang kosong. Setiap karya
ilmiah lahir melalui fase persiapan yang sistematis: pembimbingan, pendalaman
teori, pengumpulan data, penulisan makalah, hingga kemampuan mengartikulasikan
gagasan lewat presentasi dan poster ilmiah. Semua tahap ini mustahil
diselesaikan dalam hitungan hari, karena riset membutuhkan pembiasaan yang
dimulai sejak awal tahun pelajaran.
Persiapan dimulai sejak
bulan Juli, tepat saat tahun ajaran baru dibuka. Pemilihan peserta pun tidak
dilakukan sembarangan. Kriteria utama bukan sekadar kecerdasan akademik,
melainkan kekuatan mental. Peserta didik yang mampu bertahan dari tekanan, mau
diarahkan, menerima kritik, dan berani berbicara di depan publik menjadi
prioritas. Riset tingkat pelajar bukan sekadar tugas ilmiah, tetapi proses
pembentukan karakter yang siap diuji di hadapan juri yang kritis.
Kemampuan teknis juga
menjadi faktor pendukung besar: mulai dari membuat presentasi digital, menyusun
poster ilmiah, hingga memahami struktur penulisan ilmiah. Pembimbing tidak
hanya memperkenalkan metode penelitian, tetapi juga menanamkan pola pikir
sistematis—bagaimana menentukan masalah, merumuskan tujuan, melakukan
observasi, sampai menganalisis data secara logis.
Sebagai pembimbing yang
mendampingi sejak 2018, Nurul Jubaedah memahami pola evaluasi juri: keaslian
penelitian, relevansi dengan kategori lomba, kedalaman materi, dan kemampuan
peserta mempertanggungjawabkan temuan mereka. Juri akan menguji logika berpikir
peserta: apakah metode sesuai tujuan? Apakah data mendukung kesimpulan?
Seberapa kuat landasan teoretis penelitian mereka? Semua ini menuntut nalar
kritis dan kestabilan mental.
Pada tahap pembimbingan,
soal stamina tidak bisa diabaikan. Peserta tingkat MTs berada pada fase tumbuh
kembang yang mudah dipengaruhi suasana hati. Tekanan waktu dan kompetisi dengan
peserta yang lebih senior dapat memengaruhi performa mereka. Karena itu,
pembimbing harus menjaga motivasi, mengatur ritme latihan, dan memastikan
peserta tetap bersemangat sepanjang proses.
Karakter yang terbentuk
selama proses riset justru menjadi nilai tambah terbesar. Peserta didik belajar
percaya diri, mandiri, mampu mempertahankan argumen, dan terbiasa memilah
informasi kredibel. Mereka juga dilatih berpikir jernih saat menghadapi tekanan
dan menyadari bahwa kemenangan bukanlah tujuan akhir, tetapi bagian dari
perjalanan intelektual.
Pada hari perlombaan,
peserta MTsN 2 Garut menghadapi rival dari SMA. Tetapi ketidakseimbangan itu
justru menjadi motivasi. Ketika juri mulai menggali pertanyaan, peserta mampu
mempertahankan penelitian secara konsisten dan meyakinkan. Hasilnya, mereka
meraih juara 2 karena unggul dalam argumentasi dan ketepatan kategorisasi.
Keberhasilan ini memberi
refleksi penting: makalah harus kuat secara metodologis, pembimbing harus
konsisten menyiapkan generasi baru, dan madrasah perlu terus menciptakan
atmosfer riset yang sehat. MTsN 2 Garut membuktikan bahwa riset bukan monopoli
jenjang pendidikan tertentu. Dengan strategi tepat, pendampingan intensif, dan
penguatan mental, madrasah mampu meraih prestasi membanggakan—bahkan menembus
dominasi SMA.

Posting Komentar