Hari Guru Nasional 2025: Merayakan Ingatan, Menjaga Marwah, Menguatkan Masa Depan

 



Oleh: Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Alumni SDN 1 Kebonpedes//Alumni Pondok Pesantren Terpadu Daaruttaqwa – Integrated Boarding School Cibinong Bogor//Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta//Alumni Pascasarjana STAI Sukabumi

 

 

Masih melekat dalam ingatan masa-masa sekolah dasar, dari kelas 1 hingga kelas 6, tahun-tahun ketika menulis halus, menyalin abjad, menghitung angka demi angka, hingga menghafal pengetahuan sosial menjadi rutinitas harian. Bahkan sesi tanya jawab menjelang pulang sekolah di mana siapa pun yang paling cepat menjawab boleh keluar lebih dahulu kini menjadi kenangan yang hangat sekaligus menggelitik. ketika kelas 6, lagu-lagu kebangsaan diajarkan dengan bimbingan teknik bernyanyi sederhana seperti mengatur napas, menjaga intonasi, dan melafazkan lirik dengan jelas. Latihan kecil itu ternyata menumbuhkan rasa cinta tanah air secara lembut namun mengakar. Dari tidak memahami apa-apa hingga mulai menangkap banyak hal, semuanya tumbuh dari kesabaran dan ketulusan para guru.

Kenangan di luar kelas pun tak kalah hidup. Ada loncat tali, sondah, boy-boy-an dengan bola kasti, hingga benteng-bentengan yang membuat halaman sekolah selalu riuh. Memasuki jenjang SMP dan tinggal di boarding school, alur kehidupan berubah, tapi justru membuat wawasan semakin luas. Di lingkungan pesantren Daaruttaqwa, pembelajaran diramu dari perpaduan antara kurikulum tradisional, kurikulum nasional, dan pendekatan pendidikan luar sekolah. Semua itu dipadukan dengan visi pesantren: membentuk pribadi berpengetahuan, berbahasa internasional, memiliki keterampilan, dan tetap berpegang pada nilai agama.

Belajar tidak berhenti di ruang kelas. Ada latihan silat, Pramuka, muhadharah, pembiasaan bahasa Arab dan Inggris secara intens, hingga kehadiran native speaker yang membiasakan santri berbicara dengan alami. Ruang organisasi menjadi laboratorium kepemimpinan: melalui OPPD (Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Daaruttaqwa), para santri belajar menyusun program, mengelola kegiatan, dan menyiapkan laporan pertanggungjawaban secara matang dan tertib.

Saat memasuki kelas 5setara dengan kelas 2 SMA tanggung jawab mulai meningkat secara signifikan. Para santri dilatih mengelola hampir seluruh urusan pondok, mulai dari bangun tidur hingga kembali beristirahat. Struktur organisasi yang lengkap nmulai dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, hingga bagian keamanan, kebersihan, kesehatan, bahasa, pengajaran, dan koperasi menjadi arena belajar yang sangat nyata. Pada masa itu, penulis berkesempatan mengemban amanah sebagai Sekretaris Gudep 3118, sebuah pengalaman yang mengajarkan manajemen administratif, ketelitian, serta kepemimpinan yang tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat.

Perjalanan berlanjut ke dunia perkuliahan, mulai dari strata 1 hingga strata 2. Ritme pembelajaran berubah, namun nilai dasarnya tetap sama yaitu menghargai ilmu dan pengampunya. Penjadwalan presentasi kelompok, diskusi kelas, berbagi hasil bacaan, hingga menyusun kesepakatan bersama atas suatu pertanyaan akademik menjadi dinamika yang memperkaya kemampuan berpikir. Dosen dengan gaya, karakter, dan pendekatan yang berbeda menjadi cermin untuk memahami makna kehidupan, kedisiplinan, ketekunan, serta keluasan berpikir. Forum diskusi membuka kesempatan untuk menyampaikan pendapat secara bebas namun tetap beretika; sedangkan tahap penelitian, sidang, dan presentasi akhir menjadi pengalaman berharga yang membentuk ketegasan nalar, ketajaman logika, sekaligus kerendahan hati. Semua proses itu menjadi bekal penting menghadapi berbagai persoalan hidup, memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta, sekaligus menumbuhkan etika dalam pergaulan dengan sesama dan para guru.

 

Guru di Tengah Arus Zaman

Memasuki Hari Guru Nasional 2025, perayaan ini terasa jauh dari sekadar seremoni. Ia menjadi pengingat bahwa guru adalah fondasi peradaban. Di tengah perubahan teknologi, kurikulum, dan dinamika sosial yang serba cepat, guru tetap menjadi kompas nilai yang menjaga arah masa depan. Mereka tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi membentuk karakter sebuah peran yang tidak dapat digantikan algoritma maupun mesin.

Namun realitas zaman menghadirkan tantangan baru. Rasa hormat sebagian siswa kepada gurunya mulai menipis. Ruang digital sering membuat batas etika mengabur; apa yang dulu dianggap tidak pantas kini tampak lumrah dan cenderung di normalisasi. Relasi guru dan murid yang dulu berlapis adab kini kadang dipersepsikan setara tanpa memahami konteksnya. Muncul budaya “berkomentar dulu, berpikir belakangan”, atau “membantah sebelum mendengar”, seolah kritik tanpa etika adalah bentuk keberanian. Fenomena ini menunjukkan perlunya mengembalikan budaya hormat sebagai fondasi pendidikan yang sehat.

Menjaga marwah guru bukan semata tugas sekolah, tetapi menjadi kewajiban negara, masyarakat, orang tua, dan murid. Wibawa guru bukan hadiah, melainkan kultur yang harus dirawat.

 

Analisis: Menyatukan Jejak Pengalaman, Nilai, dan Tantangan

Dalam membaca perjalanan pendidikan, terlihat bagaimana bahwa pengalaman pribadi, nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil, serta tantangan sosial yang terus berkembang tidak pernah berdiri sendiri. Ketiganya membentuk sebuah anyaman yang saling menguatkan, saling menguji, dan pada saat yang sama menghadirkan pelajaran yang mendalam. Melalui lensa reflektif inilah, tulisan ini mencoba memadukan berbagai pengalaman dan pemahaman untuk melihat kembali bagaimana pendidikan khususnya peran guru dan ekosistem sekolah menjadi fondasi pembentukan karakter sekaligus benteng bagi masa depan generasi muda.

Jika dicermati lebih jauh, pengalaman belajar di pesantren dan perguruan tinggi menghadirkan model pendidikan yang sejatinya saling melengkapi. Pesantren menanamkan kedisiplinan, ketahanan mental, kejujuran, serta prinsip adab sebelum ilmu yang membentuk pondasi moral yang kokoh. Sementara itu, perguruan tinggi memperluas cakrawala berpikir melalui dialog kritis, penelitian, dan penyusunan argumen ilmiah. Kedua dunia pendidikan tersebut bertemu dalam satu titik yaitu melahirkan manusia yang matang secara intelektual sekaligus bermartabat secara moral.

Di era teknologis saat ini, keseimbangan tersebut menjadi semakin penting. Peserta didik tidak hanya membutuhkan penguasaan pengetahuan akademis, tetapi juga kecakapan mengelola emosi, menjaga etika, serta mempertahankan integritas di tengah derasnya arus budaya digital yang sering kali menggoyahkan batas nilai. Maka, proses belajar ideal bukan sekadar transfer ilmu, melainkan dialog yang memanusiakan ruang yang memberi tempat bagi nalar dan adab untuk tumbuh berdampingan.

Pengalaman belajar menunjukkan bahwa ilmu berkembang melalui interaksi seperti percakapan hangat antara guru dan murid, diskusi antar rekan, bimbingan bijak dari dosen, hingga dinamika presentasi kelompok yang membangun keberanian dan kolaborasi. Semua proses itu memperkaya sudut pandang dan memperhalus kepekaan sosial. Pada akhirnya, pendidikan menjelma menjadi perjalanan menemukan diri, memperdalam hubungan dengan Tuhan, serta memperluas kepedulian kepada sesama.

 

Penghormatan Guru dalam Islam

Dalam tradisi keilmuan Islam, posisi guru selalu ditempatkan pada derajat yang mulia. Para ulama sejak dahulu menekankan bahwa ilmu tidak akan tumbuh tanpa penghormatan kepada orang yang mengajarkannya. Prinsip ini bukan hanya bersumber dari khazanah tradisi, tetapi memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an. Allah SWT menegaskan kemuliaan orang-orang berilmu dalam firman-Nya:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan orang berilmu termasuk para guru yang mengajarkan ilmu, memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah. Kemuliaan itu lahir bukan semata karena pengetahuan yang mereka miliki, tetapi karena tanggung jawab besar dalam membimbing, mencerdaskan, dan menuntun manusia menuju jalan kebenaran. Dengan demikian, penghormatan kepada guru bukan hanya tuntunan moral, tetapi juga ajaran teologis yang menjadi bagian penting dari etika pendidikan dalam Islam.

 

Penutup

Hari Guru Nasional 2025 mengajak seluruh bangsa untuk tidak sekadar mengenang jasa para guru, tetapi juga meneguhkan komitmen menjaga martabat mereka di tengah dunia yang terus berubah. Guru adalah pelita yang tidak meminta balasan, namun terus menerangi jalan banyak manusia. Merayakan mereka berarti memastikan cahaya itu tetap menyala di sekolah, di masyarakat, dan dalam diri kita sendiri.

Pada akhirnya, hanya ada satu kalimat yang terasa paling tulus untuk disampaikan: TERIMA KASIH.
Terima kasih kepada para guru yang telah mengajarkan makna kesabaran, membimbing dengan keteduhan, menegur dengan kasih, dan menuntun tanpa pamrih. Terima kasih atas ilmu yang diberikan, atas adab yang diwariskan, dan atas doa-doa yang disampaikan tanpa pernah diminta. Semoga segala kebaikan itu kembali sebagai pahala yang tidak pernah putus.

 

Post a Comment

أحدث أقدم