Pendidikan Karakter Pancawaluya: Refleksi untuk Perubahan

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 178)



Pendidikan selalu menjadi inti peradaban, namun sering kali kita terjebak pada rutinitas akademis yang hanya menekankan angka dan capaian kognitif. Anugerah Gapura Pancawaluya 2025 hadir sebagai pengingat bahwa pendidikan sejatinya adalah perjalanan membentuk manusia utuh, bukan sekadar tumpukan sertifikat. Refleksi ini mengajak kita melihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal Sunda cageur, bageur, bener, pinter, jeung singer dapat menjadi kompas dalam membangun generasi masa depan.

 

 

Ketika ribuan guru, kepala sekolah, pengawas, dan pejabat hadir dalam sosialisasi Pancawaluya, tampak jelas betapa besar harapan yang dipikul dunia pendidikan Jawa Barat. Lagu kebangsaan, doa bersama, hingga paparan teknis bukanlah formalitas belaka, melainkan langkah awal menghidupkan kembali semangat pendidikan karakter yang mulai pudar. Nilai cageur mengingatkan pentingnya kesehatan jasmani dan rohani; bageur menuntun pada perilaku baik; bener mengajarkan kejujuran dan integritas; pinter menekankan kecerdasan; sementara singer menumbuhkan kreativitas, ketangguhan, dan daya sigap.

 

 

Refleksi penting bagi para pendidik adalah bagaimana mengubah nilai itu dari slogan menjadi tindakan nyata di sekolah. Sembilan indikator penilaian Pancawaluya mulai dari kebersihan lingkungan, perilaku hidup sehat, kreativitas siswa, hingga pendidikan keagamaan bukanlah beban administratif, melainkan cermin kualitas hidup sehari-hari. Ia menuntut kesungguhan guru dan kepala sekolah untuk menjadikan sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang pembiasaan karakter.

 

 

Lebih jauh, Pancawaluya memberi pesan bahwa penghargaan bukanlah tujuan akhir. Ketua panitia dengan tegas menyebut program ini sebagai “ikhtiar kolektif,” bukan lomba biasa. Artinya, semua sekolah dipanggil untuk bergerak bersama, saling menyalakan cahaya perubahan, sekecil apa pun itu. Di titik ini, pendidikan karakter menjadi sebuah gerakan moral, bukan sekadar proyek pemerintah.

 

 

Refleksi yang paling menyentuh adalah doa sederhana yang dipanjatkan seorang guru: agar Pancawaluya menjadi jalan lahirnya generasi unggul yang sehat, baik, benar, cerdas, dan tangguh. Doa itu bukan hanya ritual, melainkan representasi harapan kolektif para pendidik. Harapan bahwa pendidikan tidak akan tercerabut dari akar budaya, tetapi juga siap menjawab tantangan global.

 

 

Sebagai pendidik, kita diingatkan bahwa setiap langkah kecil mengajarkan siswa membuang sampah pada tempatnya, mendorong mereka membawa bekal sehat, atau membimbing mereka berkreasi di luar kelas adalah bagian dari peradaban. Pendidikan karakter bukanlah materi tambahan, melainkan napas yang menghidupi seluruh proses belajar.



Kini, refleksi itu bermuara pada satu pertanyaan: apakah kita siap menjadikan Pancawaluya bukan sekadar acara tahunan, tetapi gerakan yang mengakar di sekolah-sekolah kita? Jika setiap guru mau menyalakan lilin kecil perubahan, Jawa Barat, bahkan Indonesia, akan dipenuhi cahaya pendidikan yang sesungguhnya.

 

Post a Comment

أحدث أقدم