Upaya
Penulis Dalam Membaca Dan Memahami Maksud Penulis Dan Gagasan KBC Agar Tidak
Keliru Dalam Penafsiran Maupun Implementasi, pada:
BAB
II: DISCOVERY: Memahami Makna Cinta dalam Berbagai Perspektif
Oleh:
Dr. Aty Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd
Ketua
Umum PGM Ind Wil. Jambi
Pengawas
MA Kab. Muaro Jambi
Ketua
III Forkom Ormas Jambi
Cinta
adalah kata sederhana yang sarat makna. Ia hadir dalam setiap sisi kehidupan
manusia, namun sering dipahami secara sempit hanya dalam konteks emosional atau
hubungan personal. Dalam kerangka Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), cinta
tidak dipahami secara romantis, melainkan sebagai nilai universal yang
melandasi sikap, tindakan, dan tujuan pendidikan. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam penafsiran dan implementasi, penting untuk menyingkap
makna cinta dari berbagai perspektif berikut.
1.
Perspektif Filosofis
Filsafat
memandang cinta sebagai kekuatan dasar kehidupan yang menggerakkan manusia
untuk mencari kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Plato menyebut cinta (eros)
sebagai dorongan menuju kesempurnaan. Dalam filsafat Timur, cinta adalah
harmoni antara manusia, alam, dan semesta. Lalu apa relevansinya dengan
kurikulum berbasis cita? Yaitu: Relevansi KBC: Cinta dipahami sebagai nilai dasar yang
menyatukan akal, hati, dan tindakan, sehingga pendidikan tidak hanya
rasional, tetapi juga emosional dan spiritual.
2.
Perspektif Religius-Spiritual
Dalam
hampir semua agama, cinta adalah inti ajaran. Islam menekankan cinta kepada
Allah (mahabbah), cinta kepada Rasul, cinta kepada sesama manusia, dan
cinta kepada makhluk ciptaan. Al-Qur’an menegaskan, “Dan tidaklah Kami
mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS.
Al-Anbiya: 107).
Imam
Al-Ghazali menulis bahwa cinta sejati adalah cinta yang mengarahkan manusia
pada kebajikan, menjauhi keburukan, serta menguatkan hubungan dengan Sang
Pencipta (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin).
Oleh
karena itu maka inilah hubungannya, yaitu Relevansi KBC: Proses belajar harus
menumbuhkan kedekatan kepada Tuhan, sekaligus kepedulian terhadap sesama
dan lingkungan.
3.
Perspektif Psikologis
Psikologi
modern menempatkan cinta sebagai kebutuhan dasar manusia. Abraham Maslow
memasukkan kebutuhan kasih sayang dalam hierarki kebutuhan manusia. Erik
Erikson menyebut cinta sebagai fondasi perkembangan identitas dan kepribadian
sehat.
Erich
Fromm, dalam bukunya The Art of Loving (1956), menegaskan bahwa cinta
adalah seni yang membutuhkan pengetahuan, usaha, dan tanggung jawab. Dengan
demikian inilah hubungan makna tersebut, yaiu Relevansi KBC: Guru tidak hanya mengajar,
tetapi juga memberi rasa dihargai, diterima, dan dicintai, sehingga siswa
tumbuh dengan motivasi dan kepercayaan diri.
4.
Perspektif Sosial dan Budaya
Cinta
dalam masyarakat tercermin melalui gotong royong, kepedulian, dan solidaritas.
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus menumbuhkan “cinta tanah
air, cinta sesama, dan cinta kebudayaan” agar peserta didik menjadi manusia
merdeka yang berkepribadian luhur (Ki Hadjar Dewantara, 1936). Hubungan
itu adalah Relevansi
KBC: Kelas bukan sekadar ruang akademis, tetapi juga ruang persaudaraan,
kebersamaan, dan penghormatan terhadap budaya lokal.
5.
Perspektif Pendidikan
Dalam
dunia pendidikan, cinta adalah jiwa pengajaran. Paulo Freire menyebut
bahwa “Education must begin with the solution of the teacher-student
contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are
simultaneously teachers and students” (Freire, Pedagogy of the Oppressed,
1970). Menurutnya, pendidikan tanpa cinta akan melahirkan penindasan, sementara
pendidikan dengan cinta akan membebaskan manusia.
Maka
hubungan itu adalah Relevansi
KBC: Guru yang mengajar dengan cinta tidak hanya mentransfer ilmu,
tetapi juga menumbuhkan harapan, keberanian, dan rasa percaya diri siswa.
Kesimpulan
Memahami
makna cinta dalam berbagai perspektif sangat penting agar KBC tidak ditafsirkan
secara sempit. Cinta dalam KBC adalah fondasi filosofis, spiritual,
psikologis, sosial, dan pedagogis yang menyatukan seluruh dimensi
pendidikan.
Dengan
pijakan tokoh-tokoh besar seperti Plato, Al-Ghazali, Erich Fromm, Ki Hajar
Dewantara, hingga Paulo Freire, jelas bahwa cinta bukan hanya perasaan,
melainkan energi
pembebasan, penyucian,
dan pemanusiaan.
Pemahaman ini akan memastikan implementasi KBC benar-benar menghadirkan
pendidikan yang memanusiakan manusia, menyuburkan hati, dan membangun peradaban
berbasis kasih.
|
Bionarasi : Dr. Aty Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd.
adalah seorang pendidik yang berdedikasi dalam pengembangan pendidikan di
madrasah. Sebagai guru Biologi di MAN Insan Cendekia Jambi dan
bertransformasi ke pendamping madrasah, ia aktif membimbing guru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu, ia juga merupakan aktivis
organisasi profesional PGM IND, PPMN, IGI, APSI, APMI, Forkom Ormas Jambi,
yang berkontribusi dalam berbagai forum pendidikan. Sebagai penulis, Dr. Aty
telah menghasilkan berbagai karya di bidang pendidikan dan manajemen
pendidikan, yang menjadi referensi bagi pendidik dan praktisi pendidikan di
Indonesia. |
Posting Komentar