Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 194)
Suasana dunia pendidikan
Islam kembali memanas. Tayangan di salah satu program televisi nasional Trans7
memantik gelombang reaksi keras karena dinilai menyinggung dan merendahkan
martabat pesantren, kyai, serta santri. Tayangan itu viral di berbagai platform
media sosial dan menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan masyarakat
pesantren.
Salah satu suara paling
tegas datang dari Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Indonesia, organisasi profesi
yang menaungi ribuan guru, ustaz, ustazah, dan santri di seluruh Indonesia. PGM
menilai tayangan tersebut bukan sekadar kelalaian media, tetapi bentuk
pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang selama ini dijaga oleh komunitas
pendidikan Islam.
Dalam siaran pers
tertanggal 14 Oktober 2025, Ketua Umum Ir. H. Yaya Ropandi, S.Pd.I., M.Si.
bersama Sekjen Asep Rizal Asy’ari, S.Pd.I., menyampaikan keprihatinan mendalam.
“Citra pesantren dan para kyai telah dibuat tampak hina di mata masyarakat,”
tulis mereka dalam pernyataan resmi.
PGM Indonesia menuntut
Trans7 menarik tayangan tersebut dan meminta maaf secara terbuka. Selain itu,
organisasi ini juga mendesak Dewan Pers memberikan teguran keras atas dugaan
pelanggaran etika jurnalistik dan kode etik penyiaran. Bagi PGM, media seharusnya
menjadi jembatan pengetahuan, bukan alat provokasi yang menyinggung nilai-nilai
keagamaan.
“Media harus menjunjung
keadilan, empati, dan tanggung jawab moral dalam setiap tayangan,” ujar Yaya
Ropandi.
Luka
Kolektif di Kalangan Santri
Bagi masyarakat pesantren,
marwah kyai bukan sekadar simbol, melainkan kehormatan bersama. Ketika citra pesantren
digambarkan negatif, rasa sakit itu menjadi luka kolektif. Pesantren selama ini
telah menjadi benteng moral bangsa tempat lahirnya generasi berilmu dan
berakhlak.
Kecaman terhadap tayangan
Trans7 datang dari berbagai daerah. Banyak pengurus PGM di tingkat provinsi dan
kabupaten menyatakan solidaritas kepada Pondok Pesantren Lirboyo, yang disebut
dalam tayangan tersebut. Mereka menilai, pemberitaan itu telah mencederai rasa
hormat masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam.
Mengambil
Hikmah, Menjaga Kondusivitas
Meski menyayangkan
peristiwa itu, PGM Indonesia tetap menyerukan agar masyarakat menjaga suasana
kondusif. Insiden ini, menurut mereka, seharusnya menjadi pelajaran bersama
agar semua pihak lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi publik.
PGM mengingatkan, kebebasan
pers bukan kebebasan tanpa batas. Setiap karya jurnalistik mesti berlandaskan
tanggung jawab sosial, etika, dan penghormatan terhadap keberagaman budaya
serta keagamaan bangsa Indonesia.
Sebagai organisasi yang
berdiri sejak 2009 dan berpusat di Pusdai, Cibinong, Bogor, PGM Indonesia bukan
hanya wadah profesi, tetapi juga suara moral pendidikan Islam. Mereka tidak
anti kritik, tetapi menolak segala bentuk penghinaan yang bias terhadap pesantren
dan tokoh agama.
Saatnya
Media dan Pesantren Berdamai
PGM berharap kejadian ini
menjadi momentum rekonsiliasi sosial antara dunia media dan dunia pendidikan
Islam. Media perlu lebih arif dalam menyiarkan konten keagamaan, sementara
pesantren terus menjaga nilai-nilai kebijaksanaan dan kedamaian.
“Semoga Allah SWT
melindungi guru, kyai, ustaz, ustazah, dan para santri dari segala fitnah yang
menyudutkan pesantren,” tutup PGM dalam pernyataannya.
Kasus ini bukan sekadar
soal tayangan televisi, melainkan cermin bagi kita semua: seberapa dalam nurani
media memahami makna kehormatan sebuah pesantren.

Posting Komentar