Ketika Disiplin Dihukum dan Pelanggaran Dirayakan

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 193)



Panggung pendidikan Indonesia kembali bergetar. Sebuah kisah sederhana dari ruang sekolah mendadak viral: seorang kepala sekolah menampar siswa yang ketahuan merokok di area sekolah. Seketika, publik terbelah ada yang menyebut guru itu kejam, tapi tak sedikit pula yang heran: kenapa yang merokok tidak ikut disalahkan?

 

Ironi ini seperti menampar logika kita bersama. Guru yang berusaha menegakkan aturan justru dipolisikan, sementara siswa pelanggar malah diposisikan sebagai korban. Fenomena ini memperlihatkan betapa kaburnya batas antara disiplin dan kekerasan di dunia pendidikan kita.

 

Dari Teguran Jadi Tuntutan

 

Kronologinya sederhana. Seorang siswa melanggar tata tertib dengan merokok di sekolah. Saat guru mencoba menegur dan menindak, orang tua siswa justru melapor ke polisi. Lebih ironis lagi, siswa-siswa lain ikut membela pelanggar dengan mogok belajar—seolah yang salah bukan perokoknya, tapi gurunya.

 

Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya empati disalahgunakan. Solidaritas tanpa nalar tumbuh di antara generasi muda yang bingung membedakan kebebasan dan tanggung jawab. Disiplin dianggap kekerasan, sementara pelanggaran dianggap hak pribadi.

 

Guru di Tengah Dilema

 

Dalam situasi seperti ini, guru berada di posisi yang sangat sulit. Di satu sisi, mereka diwajibkan menanamkan karakter dan menegakkan aturan. Di sisi lain, setiap bentuk teguran bisa dianggap pelanggaran hak anak. Akibatnya, muncul budaya baru: guru takut menegur, sekolah ragu menindak, dan siswa merasa kebal dari konsekuensi.

 

Padahal, pendidikan sejati tidak bisa berjalan tanpa disiplin. Sekolah seharusnya menjadi tempat pembentukan akhlak, bukan sekadar ruang belajar teori. Jika semua upaya pembinaan dianggap kekerasan, maka otoritas guru akan hilang, dan sekolah berubah menjadi tempat yang permisif.

 

Di Balik Asap Rokok, Ada Krisis Nilai

 

Kasus siswa merokok bukan soal sebatang rokok semata. Di balik asapnya, ada krisis yang lebih dalam krisis keteladanan, krisis penghormatan pada guru, dan krisis tanggung jawab orang tua.

 

Orang tua kini sering datang ke sekolah bukan untuk bekerja sama, tapi untuk menuntut. Padahal, menurut Permendikbud No. 82 Tahun 2015, penegakan disiplin bukan kekerasan selama dilakukan secara proporsional dan bertujuan mendidik. Namun tafsir publik kerap keliru: setiap bentuk teguran dianggap salah hanya karena membuat anak merasa tidak nyaman.

 

Saat Pendidikan Kehilangan Arah

 

Era digital menjadikan opini publik lebih berkuasa daripada nilai moral. Guru ditekan oleh media sosial, sementara siswa dimanjakan sistem yang takut disebut otoriter. Pendidikan akhirnya kehilangan ruh ketegasan dan hanya menyisakan retorika lembut tanpa arah.

 

Barangkali, kita semua perlu bercermin. Apakah yang salah adalah guru yang menegur demi kebaikan? Atau masyarakat yang gagal memahami makna mendidik?

 

Jika siswa bebas merokok tanpa takut, orang tua bebas mengancam sekolah, dan guru tak lagi punya hak untuk menegur maka hancurlah sendi pendidikan karakter bangsa.


Karena sesungguhnya, yang paling butuh dididik bukan hanya anak-anak, tapi juga orang tua, masyarakat, dan sistem yang membiarkan kebenaran dibungkam oleh perasaan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama