Kekerasan Tak Pernah Mendidik: Saatnya Sekolah Kembali pada Adab

 



Mulyawan Safwandy Nugraha

Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung




Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh aksi ratusan siswa yang mogok belajar di salah satu sekolah menengah di Kota Lebak, Banten. Kasus ini memantik banyak tafsir. Ada yang menyalahkan siswa karena dianggap tidak sopan dan melawan guru. Ada pula yang menuding pihak sekolah lalai membangun iklim komunikasi yang sehat. Namun, di balik riuhnya perdebatan, satu hal perlu ditegaskan bersama: kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak bisa dibenarkan.


Sekolah memang tempat membentuk karakter. Di sana disiplin dan tata tertib menjadi bagian penting dari proses pendidikan. Tapi disiplin tidak identik dengan kekerasan. Menegakkan aturan bukan berarti memaksa dengan tangan. Dalam logika pendidikan, kekerasan bukan alat, melainkan tanda kegagalan komunikasi antara pendidik dan peserta didik.


Ki Hadjar Dewantara sudah menegaskan prinsip “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan, pendidik harus memberi teladan; di tengah, menumbuhkan semangat; di belakang, memberi dorongan. Tidak ada ruang bagi kekerasan dalam trilogi pendidikan ini. Karena inti pendidikan adalah kasih sayang, bukan ketakutan.


Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, menyebut kekerasan sebagai bentuk penindasan dalam pendidikan. Ia menolak “pendidikan gaya bank” yang memperlakukan siswa seperti wadah kosong yang harus diisi. Freire menegaskan, mendidik berarti berdialog, bukan mendikte. Kekerasan memutus dialog itu dan menjadikan sekolah tempat represi, bukan tempat pembebasan.


Ada lima hal yang ingin saya sampaikan dalam opini reflektif ini terkait dengan kondisi dan situasi yang sedang hangat diberitakan di dunia pendidikan kita.


---

Pertama, Kekerasan Tidak Pernah Melahirkan Ketertiban


Banyak guru yang beralasan bahwa sedikit kekerasan bisa membuat siswa jera dan disiplin. Namun riset psikologi menunjukkan hal sebaliknya. Kekerasan hanya menciptakan ketaatan semu. Anak mungkin diam, tapi bukan karena paham; ia diam karena takut. Ia mungkin berhenti melanggar, tapi bukan karena sadar; ia berhenti karena trauma.


Ketaatan semacam itu rapuh. Begitu otoritas pengendali hilang, perilaku lama akan muncul kembali, bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrem. Inilah yang disebut compliance without commitment—patuh tanpa komitmen. Dalam jangka panjang, kekerasan justru menanamkan kebencian, kehilangan rasa percaya, dan mengikis motivasi belajar.


Rasulullah SAW memberikan teladan terbaik dalam hal pendidikan. Beliau membimbing dengan kelembutan. Ketika seorang pemuda datang meminta izin berzina, Nabi tidak memukulnya. Beliau bertanya dengan sabar, “Apakah engkau rela jika itu terjadi pada ibumu?” Lalu pemuda itu menunduk malu dan sadar dengan sendirinya. Itulah pendidikan hati, bukan pemaksaan tubuh.


Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” Ini bukan sekadar nasihat moral, tapi prinsip pedagogis. Guru yang mendidik dengan kasih sayang akan lebih mudah menanamkan nilai, karena siswa merasakan ketulusan, bukan ancaman.



---


Kedua, Manajemen Kepemimpinan dan Krisis Teladan


Kekerasan dalam pendidikan sering berakar dari gaya kepemimpinan yang salah. Banyak sekolah yang masih menerapkan pola top-down yang kaku. Kepala sekolah menjadi pusat kekuasaan, sementara guru dan siswa hanya pelaksana. Padahal, sekolah seharusnya menjadi learning organization—organisasi yang terus belajar dan berbenah.


Kepemimpinan pendidikan yang sehat menekankan komunikasi, keteladanan, dan keadilan. Kepala sekolah dan guru adalah teladan moral. Mereka bukan hanya pengajar, tapi pembimbing yang memberi arah. Bila pemimpin mendidik dengan kemarahan, bawahan akan belajar marah. Bila pemimpin mendidik dengan cinta, bawahan akan belajar menghargai.


Ki Hadjar menegaskan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Prinsip menuntun berarti tidak memaksa. Guru berperan menyiapkan lingkungan, bukan menaklukkan kehendak siswa. Inilah yang disebut pendidikan beradab, pendidikan yang memanusiakan manusia.



---


Ketiga, Masyarakat Perlu Bersikap Objektif


Masyarakat sering kali bereaksi emosional setiap kali muncul kasus kekerasan di sekolah. Ada yang membela guru karena merasa disiplin harus ditegakkan. Ada pula yang membela siswa dengan alasan hak-hak anak harus dilindungi. Padahal, yang lebih dibutuhkan adalah cara pandang objektif.


Kita perlu melihat kasus seperti ini sebagai gejala dari masalah yang lebih besar: komunikasi yang macet antara guru, siswa, dan orang tua. Ketika dialog berhenti, kekerasan muncul. Ketika empati hilang, prasangka tumbuh. Maka tugas masyarakat bukan hanya mengomentari, tapi membantu memulihkan ekosistem pendidikan yang sehat.


Keluarga perlu menanamkan nilai hormat kepada anak, tanpa menumbuhkan ketakutan. Orang tua perlu hadir sebagai mitra sekolah, bukan penonton yang baru bereaksi saat konflik terjadi. Sementara masyarakat luas harus mendukung guru agar bisa menjalankan fungsi mendidik dengan tenang dan profesional.



---


Keempat, Sekolah/Madrasah Sebagai Ruang Aman


Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak. Di sanalah mereka belajar menjadi manusia yang utuh. Tapi jika di sekolah mereka justru disakiti atau dipermalukan, maka makna pendidikan hilang.


Dalam Islam, pendidikan bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk akhlak. Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Tujuan utama pendidikan adalah penyucian jiwa, bukan sekadar pengisian akal.” Jiwa tidak bisa disucikan dengan kekerasan. Ia hanya bisa disentuh dengan kasih sayang dan hikmah.


Pendidikan sejati berangkat dari niat baik, diikuti cara yang baik, dan berakhir pada hasil yang baik. Bila tujuannya mulia tapi caranya menyakiti, maka nilai pendidikannya hilang. Kekerasan mungkin menghasilkan perubahan cepat, tapi tidak melahirkan kesadaran. Sementara kasih sayang mungkin berjalan lambat, tapi menumbuhkan perubahan yang mendalam.



---


Kelima, Menahan Diri dan Membangun Adab


Dalam konteks kasus-kasus seperti di Sukabumi, penting bagi semua pihak untuk menahan diri. Guru harus menahan diri dari tindakan fisik yang melukai. Siswa harus menahan diri dari sikap reaktif dan emosional. Orang tua dan masyarakat harus menahan diri dari penghakiman sepihak.


Kita perlu kembali kepada adab. Dalam Islam, adab lebih tinggi daripada ilmu. Tanpa adab, ilmu bisa disalahgunakan. Adab mencakup cara berbicara, bersikap, dan menyelesaikan masalah. Seorang guru yang beradab akan menegur dengan hikmah. Seorang siswa yang beradab akan mengkritik dengan hormat.


Kekerasan, betapapun kecilnya, adalah bentuk hilangnya adab. Ia menunjukkan bahwa kita gagal mengelola emosi dan gagal memahami nilai kemanusiaan. Karena itu, solusi jangka panjang bukan hanya revisi aturan disiplin, tapi pembinaan karakter seluruh ekosistem sekolah: kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua.



---


Penutup


Kekerasan tidak pernah mendidik siapa pun. Ia hanya meninggalkan luka yang diwariskan ke generasi berikutnya. Bila kita ingin membangun pendidikan yang beradab, maka langkah pertama adalah menghentikan segala bentuk kekerasan, baik itu verbal, fisik, maupun simbolik.


Sekolah harus kembali menjadi ruang aman, tempat cinta dan ilmu tumbuh berdampingan. Pendidikan sejati bukan tentang siapa yang kuat, tapi siapa yang berani mencintai.


Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya Allah itu lembut dan mencintai kelembutan dalam segala hal.” Maka, bila pendidikan ingin berhasil, ia harus dibangun di atas kelembutan, bukan kekerasan.


Tulisan ini bukan sekadar refleksi moral, tetapi seruan bagi kita semua untuk memperbaiki cara mendidik dan memimpin. Sebab, masa depan anak-anak tidak akan lahir dari tangan yang marah, melainkan dari hati yang penuh kasih.


Wallahu 'alam

MSN

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama