Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 191)
Jumat, 10 oktober 2025. Siapa
sangka, di tengah tenangnya perairan Leles, Garut, berdiri dua simbol besar
yang mewakili dua peradaban berbeda: Candi Cangkuang dari masa Hindu abad ke-8
dan makam Arif Muhammad, penyebar Islam abad ke-17. Keduanya hidup berdampingan
tanpa gesekan, justru menjadi simbol harmoni lintas agama yang menenangkan.
Keunikan ini menarik
perhatian dua siswi MTsN 2 Garut. Syifa Muwahidah dan Sofwah Nur Afifah peserta ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di bawah bimbingan Nurul
Jubaedah, S.Ag., S.Pd., M.Ag. Mereka meneliti topik yang sarat makna: “Paradoks
Keberagaman di Balik Candi Cangkuang: Menelisik Harmoni Hindu-Islam dalam
Ingatan Kolektif Masyarakat Leles.”
Hasil riset mereka membuka
mata banyak orang: bahwa Candi Cangkuang bukan sekadar peninggalan sejarah,
melainkan cermin kebijaksanaan masyarakat Sunda dalam memelihara perdamaian. Di
tempat ini, perbedaan bukanlah jarak, tapi jembatan untuk saling menghormati.
Harmoni
yang Hidup di Tengah Perbedaan
Melalui observasi lapangan
dan wawancara dengan tokoh masyarakat, tim peneliti muda ini menemukan bahwa
warga Leles telah lama menjaga harmoni antara dua warisan besar itu. Mereka
menganggap keduanya bagian dari jati diri bersama, bukan sekadar situs religi.
Tradisi ziarah, doa
bersama, dan kegiatan kebudayaan rutin di sekitar candi menjadi bukti bahwa nilai
toleransi telah berakar kuat. Bagi warga, menghormati Arif Muhammad tidak
berarti melupakan leluhur Hindu; sebaliknya, keduanya dihormati sebagai penjaga
spiritualitas tanah Leles.
“Candi ini mengajarkan
bahwa perbedaan bisa menjadi kekuatan,” ujar salah satu warga yang ditemui tim
peneliti. Dan memang, di sini, kerukunan bukan sekadar konsep, tapi napas
kehidupan yang diwariskan turun-temurun.
Jejak
Islamisasi yang Damai
Arif Muhammad dikenal
sebagai tokoh yang menyebarkan Islam lewat pendekatan budaya, bukan
konfrontasi. Ia tidak menghapus tradisi lama, melainkan mengislamkannya secara
halus memadukan nilai moral dan kemanusiaan yang selaras dengan ajaran Islam.
Pendekatan ini menjadi
kunci mengapa Islam diterima dengan damai di wilayah Sunda. Tidak ada benturan
keyakinan, hanya proses saling memahami. Itulah sebabnya Candi Cangkuang tetap
lestari, berdiri gagah di samping makam ulama besar tanpa menimbulkan
perpecahan.
Belajar
dari Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan
Bagi guru pembimbing Nurul
Jubaedah, penelitian ini bukan hanya latihan akademik, tetapi juga pendidikan
karakter. Ia menanamkan kepada murid-muridnya pentingnya memahami sejarah
sebagai pelajaran kehidupan.
“Ketika siswa belajar
langsung dari situs budaya, mereka tidak hanya memahami data, tapi juga
merasakan makna toleransi,” ujarnya. Dari sini, siswa belajar bahwa keberagaman
bukan sesuatu yang ditakuti, melainkan dirayakan.
Kini, Candi Cangkuang bukan
sekadar destinasi wisata sejarah, melainkan laboratorium hidup tempat generasi
muda belajar tentang perdamaian dan persaudaraan lintas iman.
Menjaga
Warisan, Menjaga Kedamaian
Penelitian kecil dari Garut
ini membawa pesan besar bagi Indonesia: bahwa harmoni sejati tidak tumbuh dari
keseragaman, tetapi dari penghormatan terhadap perbedaan.
Candi Cangkuang berdiri sebagai pengingat: kita bisa berbeda keyakinan, tapi
tetap satu dalam kemanusiaan.
Posting Komentar