Rahasia Rakit Cangkuang: Cinta, Mitos, dan Moralitas

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 192)

 


Jumat, 10 Oktober 2025. Di tengah tenangnya air Danau Cangkuang, rakit sederhana yang menjadi satu-satunya akses menuju situs bersejarah Candi Cangkuang menyimpan cerita yang lebih dalam dari sekadar alat penyeberangan. Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, rakit ini bukan sekadar benda budaya, tetapi simbol larangan dan pelajaran hidup. Konon, siapa pun yang menaiki rakit bersama pasangannya akan berpisah tak lama kemudian. Mitos itu hidup ratusan tahun, diwariskan dari mulut ke mulut, dan tetap dipercaya hingga kini.

 

 

Namun siapa sangka, dua siswi cerdas dari MTsN 2 Garut. Azmi Alya Ramadhani dan Desi Sri Mulyani menemukan makna yang lebih bermoral di balik kisah mistis tersebut. Melalui kegiatan Ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), keduanya meneliti mitos Rakit Cangkuang dalam proyek berjudul “Ketika Mitos Menjaga Moral”. Dengan bimbingan guru mereka, Nurul Jubaedah, S.Ag., S.Pd., M.Ag., mereka membuktikan bahwa di balik cerita mistik tersimpan pesan etika yang luhur.

 


Menurut hasil penelitian mereka, larangan membawa pasangan bukanlah kutukan, melainkan cara halus masyarakat tempo dulu menanamkan nilai moral. Tempat yang dianggap sakral seperti Candi Cangkuang harus dijaga kesuciannya, baik dari perilaku maupun niat pengunjungnya. Larangan itu menjadi bentuk kontrol sosial agar setiap orang menjaga sopan santun, mengendalikan diri, dan menghormati ruang publik.

 

 

Melalui wawancara dengan penjaga situs dan tokoh adat, tim KIR menemukan bahwa masyarakat tidak percaya mitos itu karena takut, melainkan karena hormat. Mereka melihat rakit sebagai simbol perjalanan hidup: untuk menyeberang dengan selamat, hati harus bersih dan niat harus baik. Di sinilah nilai pendidikan karakter bersemayam mengajarkan bahwa cinta dan etika berjalan seiring.

 

 

Yang menarik, penelitian ini juga menyoroti relevansi mitos di era modern. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan globalisasi, banyak generasi muda yang mulai menjauh dari akar budayanya. Padahal, lewat mitos seperti Rakit Cangkuang, nilai-nilai kearifan lokal bisa dijadikan media pembelajaran karakter. Mitos menjadi pengingat bahwa budaya tidak selalu harus rasional untuk menjadi bermakna. Ia hidup karena memuat pesan sosial yang menuntun perilaku.

 

 

Guru pembimbing mereka, Nurul Jubaedah, menegaskan bahwa penelitian semacam ini menunjukkan wajah sejati madrasah: lembaga yang menanamkan ilmu, moral, dan budaya secara utuh. “KIR bukan hanya tentang eksperimen sains, tapi tentang membaca kehidupan dengan cara ilmiah,” ujarnya.

 

 

Melalui proyek kecil ini, Azmi dan Desi berhasil menyalakan kembali semangat mencintai tradisi lewat lensa penelitian. Mereka mengajarkan bahwa mitos bukanlah dongeng kosong, melainkan cermin moral yang relevan di setiap zaman. Rakit Cangkuang pun kini tak hanya menjadi ikon wisata religi, tetapi juga simbol kebijaksanaan lokal yang menyeberangkan manusia bukan hanya ke seberang danau, tapi juga menuju pemahaman moral yang lebih dalam.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama