Mubazir Makan Gratis, Guru Honorer Tetap Lapar

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 184)



 

Program pemerintah menghadirkan Makan Bergizi (MBG) di sekolah sebenarnya punya tujuan mulia. Anak-anak diharapkan mendapat asupan gizi yang seimbang agar tumbuh lebih sehat, cerdas, dan bersemangat belajar. Namun, realitas di lapangan sering kali tidak seindah yang direncanakan.

 

 

Di banyak sekolah, terutama madrasah dan daerah pinggiran, makanan dari program MBG sering kali tersisa. Nasi, lauk, dan sayur menumpuk di wadah karena anak-anak merasa bosan dengan menu yang itu-itu saja. Sebagian malah memilih jajan di luar, lebih suka gorengan atau makanan cepat saji. Alhasil, makanan yang seharusnya menjadi bekal gizi justru berakhir di tempat sampah.

 

 

Di balik pemandangan itu, ada satu kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan: masih banyak guru honorer yang gajinya jauh dari layak. Di sekolah swasta, terutama madrasah kecil, banyak guru yang hanya menerima honor Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per bulan. Jumlah ini jelas tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidup, apalagi bila guru tersebut punya keluarga yang harus dinafkahi.

 

 

Ironisnya, pemerintah bisa menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk program MBG, tapi belum mampu memastikan kesejahteraan para pendidik. Padahal, tanpa guru yang sejahtera, sulit berharap pendidikan di Indonesia benar-benar berkualitas. Guru adalah ujung tombak, sekaligus ruh dari pendidikan itu sendiri.

 

Tentu saja, program gizi untuk anak tetap penting. Tidak ada yang menyangkal bahwa kesehatan murid harus jadi prioritas. Namun, yang perlu dikritisi adalah efektivitas dan ketepatan sasaran. Jika makanan hanya berakhir mubazir, lebih baik pemerintah memikirkan skema lain. Misalnya, memberikan kupon atau uang makan yang bisa dibelanjakan sesuai kebutuhan keluarga masing-masing. Dengan begitu, dana tidak terbuang, dan anak-anak bisa tetap mendapat gizi yang sesuai selera.

 

 

Di sisi lain, sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian lebih besar pada nasib guru honorer. Dana yang sangat besar seharusnya bisa dialihkan sebagian untuk menambah gaji para guru, terutama di sekolah swasta yang sering luput dari perhatian. Mereka inilah yang selama ini menjaga semangat pendidikan tetap menyala, meski dengan penghasilan yang jauh dari layak.

 

 

Membandingkan dana MBG dengan honor guru memang membuat hati miris. Satu porsi makan bisa setara dengan gaji harian seorang guru honorer. Bukankah lebih adil bila kesejahteraan guru juga dijadikan prioritas? Sebab, anak-anak akan lebih semangat belajar jika memiliki guru yang sejahtera, ikhlas, dan fokus mendidik tanpa dibebani masalah ekonomi.

 

 

Harapan kita sederhana: pemerintah berani mengevaluasi program makan gratis ini, menghentikan pemborosan, dan mengalihkan anggaran agar lebih tepat sasaran. Pendidikan bukan hanya soal memberi makan, tapi juga soal memberi martabat kepada para pendidik.

 

 

Guru yang sejahtera adalah kunci dari anak-anak yang cerdas dan bangsa yang kuat. Jangan sampai program makan gratis hanya meninggalkan sisa di meja makan, sementara guru tetap lapar di ruang kelas.

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama