Apa Itu Cinta, Bu?

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Wakil Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 115)

“Bu, apa itu cinta?” Suatu sore, saat matahari hampir terbenam dan angin bertiup lembut dari celah-celah jendela rumah, tanyalah seorang anak kecil dengan polos.

 

Sang ibu terdiam sejenak. Ia tak langsung menjawab, tapi menatap mata anaknya dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa hatinya siap menerima jawaban yang tidak bisa dijelaskan dengan satu kalimat saja. Lalu, dengan suara pelan namun penuh ketegasan, sang ibu menjawab, “Nak, ibu sering menangis karena ulahmu. Tapi apakah ibu pernah menjauhimu?”


Anak itu terdiam. Ia mengernyitkan dahi, seperti sedang mencerna sesuatu yang rumit. Mungkin dalam ingatannya, ia mencoba menelusuri jejak-jejak kenakalan yang pernah ia buat menumpahkan makanan, membantah, menangis keras di malam hari, atau sekadar mengacaukan waktu tidur ibunya. Dan benar, ibunya pernah menangis. Tapi tak pernah sekalipun ia merasa ditinggalkan.


Kalimat sang ibu sederhana, tapi menyimpan makna yang dalam. Cinta tidak melulu tentang tawa dan pelukan hangat. Cinta juga tentang air mata, kesabaran, dan keteguhan hati untuk tetap tinggal, bahkan ketika segala hal terasa berat. Dalam hubungan ibu dan anak, cinta hadir tanpa syarat. Ia tidak menuntut balasan, tidak meminta dipuji, apalagi dihargai dengan materi.


Saat sang anak sakit, ibulah yang paling gelisah. Ketika ia gagal, ibulah yang pertama kali menguatkan. Bahkan dalam kemarahan, cinta tetap menyelusup diam-diam dalam nada suara, dalam tatapan, dalam tangan yang tetap menyiapkan makan meski hatinya lelah.


Cinta adalah saat ibu tetap berdiri di depan pintu saat hujan turun, menunggu anaknya pulang bermain. Cinta adalah saat ibu menyembunyikan letihnya agar anak bisa tidur nyenyak. Cinta adalah saat ibu menangis diam-diam, bukan karena benci, tapi karena sayang yang begitu dalam.


Lalu bagaimana dengan cinta yang lain? Cinta suami istri, cinta sahabat, cinta pada Tuhan? Pada akhirnya, semuanya kembali pada satu akar: kesetiaan untuk tetap tinggal, meski tidak selalu indah. Kesanggupan untuk memaafkan dan memeluk, meski pernah disakiti. Dan keberanian untuk mencintai, meski tahu bahwa cinta bisa melukai.


Anak kecil itu mungkin belum sepenuhnya mengerti. Tapi kelak, di suatu hari nanti, ia akan mengingat kalimat ibunya itu. Mungkin saat ia menjadi orang tua. Atau mungkin saat ia mulai merasakan patah hati. Dan saat itu, ia akan tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang rasa, tapi tentang keputusan untuk tidak pergi.


Cinta bukan tentang tidak pernah terluka. Tapi tentang memilih tetap mencinta, walau pernah disakiti. Dan dari semua bentuk cinta, cinta seorang ibu mungkin adalah yang paling suci. Tanpa pamrih, tanpa syarat, dan tanpa jeda.


Jadi, jika suatu hari anakmu bertanya, “Apa itu cinta?”, mungkin kamu bisa menjawab seperti ibu ini: “Ibu sering menangis karena ulahmu, tapi apakah ibu pernah menjauhimu?” Sebab dari jawaban itu, ada pelajaran cinta yang tidak diajarkan oleh buku manapun.

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama