JANGAN KATAKAN “BODOH” ; ESTETIKASI PENDIDIKAN TERHADAP ANAK

 

Oleh: M. Syafi’i Saragih

Pengurus Agerlip Bidang Penelitian dan Pengembangan

 

a.      Pendahuluan

Konon di sebuah hutan, berkumpullah beberapa hewan dalam sebuah kelas yang pada waktu itu sedang akan melangsungkan ujian. Sebelum ujian, sang guru berdiri di depan sambil memperhatikan keadaan dengan wajah yang sedikit ketat. Kebetulan ujiannya dadakan, jadi gak ada persiapan tu, jelas saja para hewan sudah ketar ketir. Di kelas itu ada ikan, monyet, burung, harimau, dan ular.

Ketika hewan-hewan itu sedang grasak grusuk menanti pengumuman materi ujian, tiba-tiba sang guru dengan suara lantang dan tegas berkata, “Hari ini kita akan ujian berenang”, sontak sang ikan langsung riang dan bersorak.. horeeee…. Horeeee… gua banget ni, begitu kata sang ikan. Nah, gimana yang lain?, burung mukanya sudah pucat pasi membayangkan masuk dan berenang di dalam air, bisa kiamat.. hahaha.., sang monyet juga sudah kelimpungan, Nampak tu dari raut wajahnya yang lesu seperti belum makan tiga hari, begitu juga yang lainnya, Nampak tak bersemangat bahkan ada yang frustasi.

Keesokan harinya, sang guru dengan keras mengumumkan, “Hari ini kita ujian terbang”, sambil mengernyitkan sebelah mata kirinya ke atas, sang burung bergumam dalam hati, “Hihihi, tau rasa kalian semua, ini mah giliran gua unjuk gigi”,  “Kacau bisa rusak reputasi gua’, gumam sang harimau, maklum selama ini sang harimau terkenal paling pinter dan rajanya kelas”, “Gimana mau terbang pak, sayap saja nggak punya”, jerit sang ular sambil menggerutu. Kelas pun kembali ribut seperti hari pertama ujian.

Di hari ketiga, tanpa menunggu waktu lama, tanpa basa basi, sang guru buat tulisan besar di papan tulis, “Ujian hari ini MELATA”, tanpa diperintah sang ular langsung praktek di depan kelas menunjukkan kemampuan dan kelihaiannya melata kesana kemari, bahkan sang ular gak sadar tu kalua-kalau hewan yang lain terpingkal-pingkal melihat aksinya, kecuali sang ikan yang tampak begitu sedih, ternyata dia sudah mikir, inilah hari terakhirku, gimana nggak, darat itu bukan dunianya, bisa mati kalau lama-lama di darat.

Akhirnya para hewan ini protes ke pak guru, karena pak guru tidak mengumumkan dulu materi ujian. Kata mereka, supaya bisa berlatih dulu sebelum menjalani ujian.

Walhasil, satu hari sebelum ujian, sang guru pun membuat pengumuman ujian untuk hari selanjutnya. “Baiklah kalau begitu, besok kita ujian berlari, dan untuk hari terakhir, kita ujian memanjat”, begitu kata sang guru.

Masing-masing hewan itupun pulang ke tempatnya dengan lega, karena mereka merasa siap untuk menjalani ujian. Mereka pun berlatih dengan sungguh-sungguh berharap mampu dan sukses menjalani ujian yang tinggal dua hari lagi.

Tiba waktunya, ujian berlaripun dimulai. Tentu saja, ujian itu dimenangkan oleh sang harimau yang memang kemampuan berlarinya tak tertandingi. Tapi, sang ikan, tetap saja tak mampu berlari, karena memang ia sama sekali tak punya kemampuan dan potensi untuk berlari di daratan.

Ketika ujian terakhir, giliran sang monyet yang sumringah, karena memang keahliannya adalah memanjat. Akhirnya hewan-hewan ini pun sadar, kalau mereka tak mungkin merajai semuanya, apalagi sang harimau yang memang sejak dahulu kala dalam dunia para hewan adalah rajanya.

 

  1. Tidak Ada yang Sempurna

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari cerita anekdot ini?. Ternyata setiap hewan itu memiliki kemampuan dan kelebihan masing-masing yang tidak satupun diantara mereka memiliki semuanya. Harimau dengan keahlian berlarinya, monyet dengan memanjatnya, ikan dengan berenangnya, burung dengan terbangnya, dan ular dengan melatanya.

Begitu pulalah manusia, tidak ada yang sempurna. Masing-masing orang mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri. Masing-masing mempunyai potensi yang orang lain tidak semua memilikinya.

Ada orang pandai berbicara, tapi tak pandai menulis, atau sebaliknya. Ada orang yang banyak temannya, pandai bergaul tapi tak pandai di kelas, ada orang yang cerdas emosinya, tapi tak cerdas spiritualnya. Ada orang yang pandai berdagang, tapi tak pandai berceramah, begitu seterusnya. Setiap orang punya satu kelebihan atau mumgkin beberapa yang terkadang tak semua sama.

Jadi, begitu pula dengan anak. Mereka mempunyai potensi, minat, bakat, kemampuan, dan motivasi yang berbeda-beda. Tidak semuanya sama. Jangan memaksakan sesuatu kepada anak yang memang di atas kemampuannya. Lebih baik, fokus pada kelebihan anak dan terus berupaya melejitkannya, dan jangan sekali-kali mengatakan “bodoh” ketika anak tidak sanggup melakukan apa yang kita mau. Kita harus yakin bahwa tidak ada anak yang bodoh. Semua anak adalah cerdas, brilliant, mempunyai potensi dan bakat terpendam yang akan melejit dan akan sukses di bidangnya. Semua anak mempunyai kemauan untuk menjadi orang besar, memiliki motivasi dan cita-cita setinggi langit, masa depan cerah yang bisa membanggakan, ambisi, dan visi yang luar biasa. Oleh karenanya, hendaknya tidak menghancurkan semua itu dengan satu kata “bodoh” yang terhujam dalam dirinyajusteru di masa pertumbuhannya.

Kata “bodoh” ini ibarat hama pada sebuah tanaman. Coba bayangkan, ketika kita menyemai bibit padi di sawah, kemudian dalam rentang waktu tertentu, kita harus merawat dan memeliharanya, memberi pupuk agar tanaman menjadi baik, yang pada waktunya nanti, kita akan memetik hasilnya. Namun, kita harus gigit jari, karena padi ternyata tidak dapat dipanen sesuai harapan karena kesalahan kecil yang mungkin awalnya sepele namun berakibat fatal.  Hal itu disebabkan kesalahan dalam prosesnya.

Ketika kata bodoh dilontarkan pada anak, sekali, dua kali,  dan berkali-kali, secara tidak langsung kita mind set anak terbentuk mempersepsi dirinya bahwa ia anak bodoh, dan karena anggapan itu, ia akan stagnan, kehilangan motivasi, spirit, dan mental juang, loyo dan malas. Sadar atau tidak, sesungguhnya anak telah diracuni otak dan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masa keemasannya.

Para orang tua dan guru harus menghindari kata bodoh dalam kehidupan dan proses mendidik anak sehari-hari. Jangan karena anak tidak memahami, atau melakukan kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak, orang tua langsung memarahi dan memaki sambil mengatakannya bodoh. Karena dunia anak memang penuh dengan tantangan. Masa balita adalah masa di mana anak senang melakukan banyak hal yang terkadang bisa saja menjengkelkan. Ia ingin mengetahui banyak hal, sampai-sampai hal-hal yang membahayakan dirinya. Nah, orang tua atau juga guru tidak serta merta melarangnya. Biarkan ia mengeksplorasi dan mencoba, orang tua  cukup mengamati dan mengawasi apa yang ia lakukan, jika kemudian hal itu dapat membahayakannya, barulah menghentikan dan menjelaskan kepada anak dengan benar. Begitu juga ketika anak ingin makan sendiri, biarkan, jangan dilarang, jangan ajari anak untuk selalu dibantu dan diselesaikan pekerjaannya. Biarkan ia makan sendiri, sesungguhnya ia sedang berkreasi, di situlah otak dan motoriknya akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Namanya anak-anak, tentu saja sudah terbayang bagaimana kalau anak balita makan sendiri. Pastinya berantakanlah. Di sana sini makanan berserak, karena ia pun biasanya makan tidak duduk dengan rapi, tetapi, sambil bermain. Apakah lantas orang tua harus marah dan mengatakan bodoh?, tentu tidak, katakan kepada anak, “kamu pintar nak, luar biasa, sudah bisa makan sendiri, gak disuapin lagi, anak mama hebat” dan kalimat-kalimat positif lainnya yang mensugesti anak untuk lebih mandiri.

Atau misalnya di sekolah, ketika murid tidak memahami apa yang sudah dijelaskan, apalagi sudah dijelaskan berkali-kali, guru tidak semestinya melontarkan kata bodoh , tapi katakan, “ayo nak, berusahalah dengan sungguh-sungguh, ibu yakin kamu pasti bisa”, karena sesungguhnya anak itu cerdas. Ketika siswa menghadapi kesulitan, guru tidak boleh merendahkannya dengan mengatakannya bodoh, apalagi di hadapan orang banyak. Jika ini yang terjadi, berarti guru, selaku orang yang seharusnya melejitkan potensi siswa, justeru telah menyemai racun pada otak dan kepribadiannya. Untuk itu, stop kata bodoh untuk anak. Mereka adalah generasi cerdas yang siap berjuang dan menyongsong masa depannya yang cerah.

 

  1. Kata “Bodoh” Untuk Siapa?

Kata bodoh sejatinya untuk orang yang sudah dewasa atau baligh. Kata ini bisa disematkan kepada siapapun orang dewasa. Dalam Islam, orang yang sudah dewasa itu akan dikenakan hukum atas segala sesuatu yang ia kerjakan. Sebab, orang dewasa dianggap berakal (‘akil), yaitu orang yang sudah mampu menggunakan akalnya dengan baik, sudah mampu menyerap segala informasi tentang yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, sehingga dengan akalnya ia harus mampu membawa dirinya untuk melakukan segala sesuatu yang baik terutama menurut agama. Jika ada orang dewasa sudah mengetahui bahwa berjudi itu tidak baik dan salah menurut agama dan Undang-Undang, tetapi ia tetap melakukannya, maka inilah orang yang bodoh itu. Sudah tahu salah, tetap saja dilakukannya, padahal sudah ada pengetahuan padanya.

Dalam ajaran Islam inilah yang dikenal dengan istilah Jahil atau Jahiliyah yang secara bahasa berarti bodoh atau kebodohan. Kata ini disematkan kepada kaum musyrikin sebelum datang Islam adalah isitilah yang merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah, kezaliman dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliyah terbesar adalah penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling dominan untuk kata jahiliyah. Karena itu, masa sebelum pengutusan yang bergelimang kesyirikan disebut jaman jahiliyah.

Menurut para ulama, pada asalnya kata jahiliyyah merujuk pada makna kondisi bangsa Arab pada periode pra-Islam. Kondisi yang diliputi kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama, berbangga-bangga dengan nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya. Namun jahiliyah juga bisa berupa sifat yang ada pada seseorang yang sudah memeluk Islam. Jahiliyah dengan makna ini ditunjukkan oleh sabda Rasul yang berbunyi, “Ada empat perkara jahiliyyah yang tidak ditinggalkan umatku…” (HR. Muslim), Juga hadis lain yang Rasulullah ucapkan kepada Abu Dzar,

Sesungguhnya pada dirimu ada sifat jahiliyyah.” (HR. Bukhari Muslim)

Intinya, jahiliah adalah kata untuk seluruh perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Semuanya dikatakan jahiliyah karena seluruh pelanggaran atau perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan dari kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan atau karena dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan.

Jadi, kata bodoh (jahil) itu bisa disematkan untuk orang dewasa yang melakukan suatu pelanggaran terhadap satu ketentuan yang sudah ditentukan, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Namun, kata jahil atau bodoh itu lebih tepat disematkan pada orang dewasa yang ia sudah tau salah, buruk, berdosa, tidak bermanfaat, mendatangkan bahaya, tetapi tetap saja dilakukannya.

Fenomena ini banyak sekali. Banyak para pejabat yang tahu kalau korupsi itu dilarang agama, mendatangkan dosa, berdampak sistemik dan lainnya, toh tetap saja dilakukannya, Banyak orang yang paham dan sadar kalau meninggalkan shalat itu berdosa dan akan masuk dalam neraka saqar, tetapi, tetap saja masih banyak orang yang meninggalkannya, padahal Allah Swt sedang memanggilnya untuk datang mendekat, banyak orang mengetahui kalau marah-marah pada murid dan mengatakan bodoh untuk murid itu adalah sesuatu yang salah, tapi, barangkali masih banyak juga yang melakukannya. Nah, ini baru tepat dibilang bodoh.

Oleh karenanya, sudah sepantasnya selaku insan pendidik menghindari kata bodoh untuk anak yang sedang tumbuh dan berkembang, untuk murid ketika lamban dalam memahami pelajaran. Lagipula kata “bodoh” tidak sedap didengar telinga dan tidak manis diucap mulut. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk mengeluarkan kata-kata yang baik dan penuh motivasi?.

Nabi Muhammad junjungan kita pernah bersabda bahwa kalau kita tak mampu berkata baik, maka lebih baik diam.

Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. (Muttafaq alaihi: Al Bukhori, No. 6018; Muslim, No 47)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka tahanlah”.

 

  1. Estetikasi Pendidikan Terhadap Anak

Gagasan ini adalah upaya estetikasi pendidikan terhadap anak, sehingga pendidikan benar-benar tampil indah dan ramah pada anak. Kata bodoh tentu bukanlah kata yang enak untuk didengar, apalagi diucapkan dengan keras pada anak sambil menghardik. Kata bodoh justeru memiliki konotasi yang tidak sepantasnya diucapkan oleh orang tua dan guru dan seluruh insan pendidik.

Mengganti kata bodoh dengan kata lain yang motivatif dan ramah, tentu menjadikan wajah pendidikan tampak estetik, yang harapannya ke depan, proses pendidikan yang terjadi di rumah, sekolah dan masyarakat mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang dapat diandalkan untuk kemajuan ummat. Wallahu A’lam.

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama