(13) Kehebatan Mulut Manusia: Bicara tentang Orang Lain, Tetapi Sulit Mengkritik Diri Sendiri

 

Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag guru SKI di  MTsN 2 Garut

Mulut manusia adalah anugerah luar biasa yang diberikan oleh Tuhan. Dengan mulut, seseorang dapat menyampaikan ilmu, menginspirasi, dan membangun komunikasi yang harmonis. Namun, di sisi lain, mulut juga bisa menjadi senjata tajam yang melukai, terutama ketika digunakan untuk berbicara tentang orang lain tanpa introspeksi diri.

Fenomena ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mudah mengomentari kekurangan dan kesalahan orang lain, tetapi sulit untuk menerima kritik atau bahkan mengakui kelemahan diri sendiri. Mengapa demikian? Dari sudut pandang psikologi dan agama, ada beberapa faktor yang menjelaskan fenomena ini.

1. Sudut Pandang Psikologi: Bias Kognitif dan Pertahanan Ego

Dalam psikologi, kecenderungan seseorang untuk lebih mudah menilai orang lain dibandingkan diri sendiri disebut sebagai bias atribusi. Bias ini terjadi karena manusia cenderung menilai diri sendiri lebih baik daripada kenyataannya dan melihat kesalahan orang lain lebih jelas daripada kesalahan pribadi.

Ada dua faktor utama yang berperan dalam fenomena ini:

a. Bias Atribusi Fundamental

Teori ini menjelaskan bahwa manusia lebih cenderung menyalahkan faktor internal pada orang lain, tetapi membenarkan diri sendiri dengan faktor eksternal. Contohnya, jika seseorang terlambat datang ke sebuah pertemuan, kita mungkin langsung menganggapnya tidak disiplin. Namun, jika kita sendiri terlambat, kita lebih cenderung menyalahkan kemacetan atau alasan lain yang membenarkan keterlambatan tersebut.

b. Mekanisme Pertahanan Ego

Sigmund Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri dari rasa bersalah atau perasaan tidak nyaman. Salah satu bentuknya adalah proyeksi, yaitu ketika seseorang mengalihkan kelemahannya sendiri kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang sering berbohong mungkin lebih peka terhadap kebohongan orang lain dan sering menuduh orang lain sebagai pembohong.

Fenomena ini membuat seseorang lebih mudah melihat kesalahan di luar dirinya daripada melakukan introspeksi diri.

2. Sudut Pandang Agama: Menjaga Lisan dan Introspeksi Diri

Dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari akhlak mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam surat Al-Hujurat ayat 12 Allah memperingatkan orang-orang beriman agar menghindari prasangka buruk karena sebagian prasangka bisa membawa dosa. Selain itu, mereka juga dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain dan membicarakan keburukan sesama, karena hal itu dapat merusak hubungan dan menimbulkan permusuhan.

Konsep introspeksi diri dalam Islam disebut muhasabah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. Al-Hasyr: 18)

Muhasabah mengajarkan bahwa sebelum menilai orang lain, seseorang harus lebih dulu melihat ke dalam dirinya sendiri. Hal ini juga sejalan dengan ajaran dalam agama lain yang menekankan pentingnya kesadaran diri dan empati sebelum menilai orang lain.

3. Solusi: Menjaga Lisan dan Meningkatkan Kesadaran Diri

Untuk menghindari kebiasaan berbicara tentang orang lain tanpa introspeksi diri, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Berlatih Empati. Sebelum berkomentar tentang orang lain, cobalah menempatkan diri pada posisi mereka. Mungkin ada alasan tertentu yang melatarbelakangi tindakan mereka yang tidak kita pahami sepenuhnya.
  2. Latih Muhasabah atau Introspeksi Diri. Setiap hari, sebelum tidur, cobalah merenungkan apa yang telah kita lakukan hari ini. Apakah ada kesalahan yang harus diperbaiki? Apakah kita lebih banyak menilai orang lain daripada memperbaiki diri sendiri?
  3. Kurangi Ghibah (Gosip) dan Fokus pada Diri Sendiri. Jika kita ingin berkembang, kita harus lebih fokus pada diri sendiri daripada mencari kesalahan orang lain. Menghindari ghibah juga membantu menjaga hati tetap bersih dan pikiran tetap positif.
  4. Bersikap Rendah Hati dan Mau Dikritik. Jangan takut untuk menerima kritik. Kritik yang membangun adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik. Alih-alih marah, gunakan kritik sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki diri.

Mulut manusia memang luar biasa. Ia bisa menginspirasi dan memberi manfaat, tetapi juga bisa menjadi sumber fitnah dan keburukan. Dari sudut pandang psikologi, bias kognitif membuat kita lebih mudah menilai orang lain daripada diri sendiri. Sementara dari perspektif agama, menjaga lisan dan melakukan muhasabah adalah ajaran penting agar kita tidak terjebak dalam kebiasaan berbicara tentang orang lain tanpa introspeksi diri.

Oleh karena itu, mari kita lebih bijak dalam menggunakan lisan. Sebelum menilai orang lain, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya sudah lebih baik?”

Daftar Pustaka

Al-Ghazali, Imam. (2020). Ihya Ulumuddin: Rahasia Kebahagiaan dan Kesuksesan Hidup Menurut Islam. Jakarta: Pustaka Azzam.

Gunawan, A. (2021). Psikologi Sosial: Teori dan Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Deepublish.

Yusuf, M. (2023). Etika dalam Islam: Perspektif Al-Qur'an dan Hadis. Bandung: Penerbit Mizan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama