Saat Siswa Libur, Guru Juga Manusia

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 212)




Libur akhir tahun sering dipersepsikan sebagai “hadiah” bagi siswa. Namun, di balik itu ada fakta penting yang kerap luput dari perhatian: guru juga membutuhkan libur yang utuh dan bermakna. Saat siswa menikmati masa rehat dari tugas, ujian, dan rutinitas sekolah, idealnya guru pun mendapatkan ruang yang sama untuk memulihkan diri. Bukan sekadar bebas dari kelas, tetapi benar-benar beristirahat sebagai manusia yang selama setahun penuh memikul tanggung jawab besar.

 

 

Mengajar bukan pekerjaan biasa. Ia bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga mengelola emosi, menghadapi beragam karakter siswa, menyelesaikan tekanan administrasi, hingga menanggung ekspektasi orang tua dan lembaga. Semua itu menuntut energi mental yang luar biasa. Libur akhir tahun menjadi fase pemulihan (recovery) yang sangat krusial. Tanpa jeda yang cukup, kelelahan mudah menumpuk dan berujung pada burnout—kelelahan ekstrem yang membuat guru kehilangan semangat, mudah lelah, kurang sabar, bahkan berisiko pada gangguan kesehatan.

 

 

Burnout tidak hanya merugikan guru, tetapi juga berdampak langsung pada kualitas pembelajaran. Guru yang lelah sulit tampil optimal di kelas. Sebaliknya, guru yang pulih secara mental akan kembali dengan energi baru, emosi yang lebih stabil, dan motivasi mengajar yang lebih kuat. Libur juga memberi ruang yang berharga bagi guru untuk kembali menjadi diri mereka sendiri di luar identitas profesional: sebagai orang tua, pasangan, anak, atau anggota keluarga.

 

 

Selain aspek kesehatan mental, libur akhir tahun juga berdampak langsung pada peningkatan efektivitas pengajaran. Di tengah padatnya jadwal mengajar, rapat, dan administrasi, guru nyaris tak memiliki waktu tenang untuk merenung. Libur memberi kesempatan untuk refleksi mendalam: metode apa yang berhasil, strategi mana yang perlu diperbaiki, dan pendekatan apa yang harus diperbarui. Dari refleksi inilah kualitas pembelajaran di semester berikutnya bertumbuh.

 

 

Perencanaan yang matang pun lahir dari pikiran yang segar. Banyak guru memang menyusun perangkat ajar di sela-sela kesibukan, namun hasil terbaik biasanya datang dari waktu yang tidak terganggu. Ditambah lagi, istirahat terbukti meningkatkan kreativitas. Ide-ide pembelajaran yang segar, inovatif, dan kontekstual justru sering muncul ketika guru berada jauh dari tekanan rutinitas harian.

 

 

Alasan lain yang tak kalah penting adalah pengakuan atas beban kerja tak terlihat. Masyarakat sering hanya melihat guru bekerja dari pagi hingga siang. Padahal di balik itu ada jam-jam panjang untuk mengoreksi tugas, menyusun soal, mengisi laporan, mengikuti pelatihan, hingga berkomunikasi dengan orang tua siswa. Semua itu jarang tercatat secara formal. Libur semester sejatinya menjadi “kompensasi” dari kerja panjang yang tak selalu tampak.

 

 

Berbeda dengan profesi lain, guru juga tidak leluasa mengambil cuti kapan saja. Kalender akademik mengikat mereka untuk selalu hadir saat tahun ajaran aktif. Maka, libur akhir tahun adalah satu-satunya ruang cuti tahunan yang nyata bagi sebagian besar guru.

 

 

Lebih jauh, waktu libur yang layak juga berpengaruh pada daya tarik profesi guru. Profesi ini akan sulit mempertahankan tenaga pendidik berkualitas jika keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi terus terabaikan. Guru yang sejahtera secara mental dan emosional adalah fondasi pendidikan yang sehat.

 

 

Namun realitas di lapangan tidak selalu seideal konsep. Di banyak daerah, siswa sudah libur, tetapi guru tetap diwajibkan masuk setiap hari dengan berbagai alasan administrasi dan kegiatan internal. Pertanyaannya, bagaimana di daerah Bapak dan Ibu? Apakah guru benar-benar diberi ruang untuk beristirahat, atau justru tetap bekerja di saat seharusnya mereka memulihkan diri?

 

 

Libur bagi guru bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan profesional, kemanusiaan, dan pedagogis. Guru yang beristirahat adalah guru yang lebih sehat, lebih bahagia, dan pada akhirnya, lebih bermakna bagi masa depan anak-anak bangsa.

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama