Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 206)
Perubahan dalam dunia pendidikan
berjalan semakin cepat, terutama sejak Kurikulum Merdeka diterapkan di berbagai
jenjang sekolah. Guru kini dituntut tidak hanya mengajar, tetapi juga merancang
pengalaman belajar yang membuat siswa mampu berpikir kritis, kreatif, dan
mandiri. Karena itu, berbagai model pembelajaran kembali menjadi sorotan:
manakah yang paling efektif untuk meningkatkan hasil belajar?
Empat model yang paling sering
dibahas adalah Discovery Learning, Problem Based Learning, Project Based
Learning, dan Inquiry Based Learning. Meski sering dianggap mirip,
masing-masing memiliki fokus, alur, dan tujuan yang sangat berbeda. Memahami
perbedaannya akan membantu guru memilih pendekatan yang tepat sesuai karakter
siswa dan materi yang diajarkan.
Discovery Learning, misalnya,
menekankan proses menemukan konsep. Siswa diajak mengamati, mencoba, dan
menyimpulkan sendiri pola atau informasi yang mereka temui. Pendekatan ini
cocok digunakan pada materi yang memerlukan pemahaman mendalam, seperti konsep
matematika atau teori sains dasar. Guru bertindak sebagai pemantik rasa ingin
tahu, bukan pemberi materi.
Sementara itu, Problem Based
Learning berangkat dari sebuah persoalan nyata. Tujuannya bukan hanya memahami
konsep, tetapi menganalisis dan mencari solusi. Model ini sangat efektif untuk
melatih kemampuan bernalar, berpikir kritis, dan bekerja sama. Guru dalam
pendekatan ini berperan sebagai kolaborator yang mendampingi proses
penyelidikan siswa.
Berbeda lagi dengan Project
Based Learning. Fokusnya adalah menghasilkan sebuah karya konkret melalui
rangkaian kegiatan belajar. Siswa tidak hanya mencari tahu, tetapi juga
mencipta. Model ini sangat cocok untuk pembelajaran berbasis proyek dalam Profil
Pelajar Pancasila, karena mendorong kreativitas sekaligus tanggung jawab
dalam membangun produk yang bermanfaat.
Inquiry Based Learning berada di
antara eksperimen dan penelitian. Siswa diajak mengajukan pertanyaan ilmiah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, dan menyusun kesimpulan berdasarkan
bukti. Pendekatan ini sangat dekat dengan dunia sains, tetapi juga dapat
digunakan untuk mata pelajaran sosial. Guru bertugas memantik eksplorasi dan
membantu siswa menelusuri jawaban melalui data.
Melihat perbedaan ini, jelas
bahwa tidak ada satu model pun yang paling unggul untuk semua situasi.
Pendidikan bukan soal mencari mana yang paling “bagus”, melainkan mana yang
paling “tepat”. Guru dapat mengombinasikan keempat model tersebut dalam
berbagai konteks pembelajaran agar siswa mendapatkan pengalaman belajar yang
lengkap—memahami konsep, memecahkan masalah, menghasilkan karya, dan menemukan
jawaban berbasis data.
Di lapangan, banyak guru mengaku
bahwa tantangan utamanya bukan pada pemilihan model, tetapi pada kesiapan
waktu, perangkat ajar, dan sarana pendukung. Kurikulum Merdeka memang memberi
kebebasan, tetapi kebebasan itu perlu diimbangi dengan pemahaman yang kokoh.
Beruntungnya, pemerintah telah menyediakan berbagai panduan, modul, dan
pelatihan yang dapat diakses secara terbuka oleh guru.
Intinya, model pembelajaran
bukan sekadar metode, tetapi jembatan menuju pengalaman belajar yang bermakna.
Saat guru mampu memilih pendekatan yang selaras dengan kebutuhan siswa, maka
kelas tidak lagi menjadi ruang hafalan, tetapi ruang penemuan, pemikiran, dan
kreativitas. Pendidikan pun bergerak lebih dekat pada tujuan utamanya: membantu
siswa menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat.

إرسال تعليق