Perundungan yang Berujung Kematian: Ketika Rasa Empati Hilang dari Ruang Belajar

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Belakangan ini, masyarakat Indonesia kembali diguncang oleh kabar duka dari dunia pendidikan. Bukan karena nilai rendah, bukan karena fasilitas belajar yang buruk, tetapi karena satu hal yang seharusnya tidak pernah terjadi: perundungan yang merenggut nyawa.


Kasus kematian mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang diduga menjadi korban bullying, disusul dengan kasus-kasus serupa di Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Padjadjaran (Unpad), menyentak nurani banyak pihak. Bahkan Komisi X DPR, Kemendikbudristek, hingga Kementerian Kesehatan ikut bersuara dan mengecam keras praktik-praktik kekerasan dalam lingkungan pendidikan.


Namun yang lebih menyedihkan, kejadian ini bukan hanya terjadi di perguruan tinggi. Di sekolah-sekolah, khususnya jenjang SD, SMP dan SMA, praktik perundungan juga masih marak. Bahkan, tak sedikit remaja yang sampai kehilangan nyawanya karena terus-menerus mendapat tekanan mental, fisik, hingga sosial dari lingkungan sekitar. Sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman untuk tumbuh malah berubah jadi tempat penuh ancaman yang tak kasat mata.

 

Remaja, Fase Pencarian Jati Diri dan Haus Validasi

Secara psikologis, masa remaja adalah masa transisi yang sangat krusial. Mereka berada di tengah-tengah: belum benar-benar dewasa, tapi juga tidak lagi anak-anak. Di fase ini, remaja mulai membangun identitas, mencari pengakuan, dan menjalin relasi yang lebih luas. Tak heran jika banyak remaja yang haus validasi dari teman sebaya, dari lingkungan sekolah, bahkan dari media sosial.


Keinginan untuk diterima dan dianggap “bernilai” oleh orang lain membuat sebagian remaja rela melakukan apa saja, bahkan ikut-ikutan melakukan perundungan agar tidak tersingkir dari kelompok. Ada pula yang memilih diam ketika melihat temannya disakiti, karena takut menjadi korban berikutnya. Kondisi psikologis ini diperparah oleh pola komunikasi yang buruk di rumah, minimnya literasi emosional, serta pengaruh media sosial yang semakin agresif dalam membentuk standar dan citra diri yang semu.

 

Globalisasi, Sosial Media, dan Krisis Empati

Di era globalisasi, segala bentuk informasi baik positif maupun negatif sangat mudah diakses. Sayangnya, kemajuan ini tidak selalu diiringi dengan peningkatan kedewasaan dalam menyaring informasi. Banyak remaja yang menjadikan konten-konten kekerasan, ejekan, hingga pelecehan verbal sebagai hiburan yang "lucu", tanpa menyadari dampaknya terhadap korban.

 

Media sosial juga kerap menjadi ladang subur bagi praktik cyberbullying. Di ruang digital, ejekan dan hujatan bisa menyebar dalam hitungan detik dan bertahan selamanya. Berbeda dengan luka fisik yang bisa sembuh, luka psikologis akibat perundungan bisa tertanam sangat dalam dan sulit disembuhkan.


Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis empati sedang terjadi di kalangan remaja dan masyarakat pada umumnya. Ketika seseorang bisa menertawakan penderitaan orang lain tanpa rasa bersalah, maka ada sesuatu yang sangat salah dalam proses pendidikan baik formal maupun informal.

 

Jenis-Jenis Bullying yang Perlu Diwaspadai

Agar kita lebih peka terhadap praktik perundungan yang sering terjadi baik di sekolah, kampus, lingkungan sosial, maupun di ruang digital penting untuk mengenali berbagai jenis bullying berikut ini. Dengan memahami bentuk-bentuknya, kita bisa mendeteksi lebih dini, mencegah sejak awal, dan tahu kapan harus bertindak.

  1. Bullying Verbal
    Biasanya berupa ejekan, hinaan, cercaan, sindiran, hingga pemberian julukan negatif yang merendahkan martabat seseorang.
    Ciri-ciri: kata-kata menyakitkan diucapkan berulang kali, korban terlihat murung, menarik diri, atau kehilangan kepercayaan diri.
    Penting: Meski tidak meninggalkan luka fisik, dampaknya terhadap psikologis korban bisa sangat serius dan berkepanjangan.
  2. Bullying Fisik
    Tindakan ini mencakup pemukulan, penendangan, mendorong, menjambak, menjegal, atau tindakan lain yang menyakiti tubuh korban.
    Ciri-ciri: korban sering terlihat memar, sakit tanpa sebab jelas, atau merasa takut berada di lingkungan tertentu.
    Penting: Biasanya mudah dikenali, tapi sering disembunyikan korban karena takut atau malu.
  3. Bullying Sosial (Relasional)
    Bentuk ini kerap terjadi diam-diam, seperti mengucilkan, tidak mengajak bermain/bergaul, menyebar gosip, hingga menjatuhkan nama baik seseorang.
    Ciri-ciri: korban dijauhi teman, tidak diajak kerja kelompok, atau sengaja tidak dilibatkan dalam aktivitas sosial.
    Penting: Dampaknya sangat menyakitkan secara emosional, apalagi di masa remaja ketika kebutuhan untuk diterima sangat tinggi.
  4. Cyberbullying (Perundungan Daring)
    Terjadi di media sosial, aplikasi pesan, atau platform digital lainnya. Bisa berupa komentar jahat, meme penghinaan, pelecehan, pengancaman, bahkan penyebaran data pribadi tanpa izin.
    Ciri-ciri: korban terlihat stres setelah menggunakan gadget, menghindari media sosial, atau mengalami perubahan perilaku mendadak.
    Penting: Perlu pendampingan khusus, karena cyberbullying bisa terjadi kapan saja dan tidak terbatas ruang serta waktu.
  5. Bullying Psikologis
    Berupa intimidasi halus, manipulasi, gaslighting, atau ancaman emosional yang membuat korban merasa bersalah, takut, atau tak berdaya.
    Ciri-ciri: korban tampak ragu mengambil keputusan, kehilangan jati diri, atau menunjukkan tanda kecemasan ekstrem.
    Penting: Sering kali tidak tampak di permukaan, tapi efeknya bisa menghancurkan mental korban secara perlahan.

 

Kenali Tanda-Tandanya, Jangan Tunggu Terlambat

Semua bentuk bullying diatas sama-sama berbahaya perlu kita kenali tanda-tandanya, jangan tunggu terlambat, dan tidak ada satu pun yang boleh dianggap “biasa” atau “sekadar bercanda”. Bahkan bullying yang terlihat ringan bisa menjadi pemicu trauma mendalam, kecemasan kronis, hingga depresi berat.

Maka dari itu, penting bagi kita semua orang tua, guru, teman, bahkan diri sendiri untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku, ekspresi emosi, atau sinyal-sinyal tidak biasa dari seseorang. Deteksi dini bisa menyelamatkan, dan sikap peduli bisa mencegah satu lagi korban dari luka yang lebih dalam.

 

 

Data yang Tak Bisa Diabaikan

Menurut data KPAI tahun 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak. Sebanyak 87 di antaranya merupakan kasus perundungan. Namun perlu digarisbawahi: banyak kasus lain yang tidak tercatat karena korban memilih diam. Dalam banyak kasus, korban merasa malu, takut, atau bahkan sudah kehilangan harapan untuk mendapat pertolongan. Angka-angka ini adalah alarm keras bagi semua pihak bahwa perundungan bukan lagi soal kenakalan remaja, tetapi bentuk kekerasan yang nyata dan bisa membunuh.

 

Peran Keluarga dalam Pencegahan Bullying

Di tengah kompleksitas ini, keluarga terutama orang tua memiliki peran yang sangat penting. Pendidikan karakter dan nilai-nilai empati harus dimulai dari rumah. Komunikasi terbuka antara anak dan orang tua menjadi kunci utama dalam mencegah dan mendeteksi tanda-tanda bullying, baik sebagai pelaku maupun korban. Peran seorang ibu, secara khusus, sangat krusial. Ibu dapat:

§  Menjadi tempat aman bagi anak untuk bercerita tanpa dihakimi.

§  Memberikan edukasi tentang nilai menghargai sesama dan cara menghadapi tekanan sosial.

§  Mengajarkan keterampilan asertivitas, agar anak tahu bagaimana membela diri secara sehat.

§  Menjadi panutan dalam bersikap dan berkomunikasi sehat di rumah.

Orang tua juga harus aktif memantau pergaulan dan aktivitas daring anak, bukan untuk membatasi, tetapi untuk melindungi.

 

Jangan Hilang Nilai, Di Tengah Pergaulan yang Semakin Bebas

 

Di tengah derasnya arus pergaulan dan perkembangan zaman, penting untuk diingat bahwa nilai-nilai agama tidak boleh hilang dari cara kita memperlakukan sesama. Dalam situasi sosial yang kompleks, agama seharusnya menjadi kompas moral yang menjaga kita tetap berada di jalur yang benar termasuk dalam bersikap kepada orang lain.

 

Dalam Islam, perilaku perundungan jelas dilarang. Al-Qur’an secara tegas mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan menjaga kehormatan sesama manusia. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain... janganlah kalian mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”

Ayat ini menjadi pengingat sekaligus peringatan, bahwa menghina, mengolok, dan menyakiti hati orang lain bukan hanya buruk secara sosial, tetapi juga bertentangan dengan nilai spiritual yang luhur. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap etika kemanusiaan yang diajarkan oleh agama.

Ketika remaja atau mahasiswa melakukan bullying, mereka bukan hanya mencoreng wajah pendidikan, tetapi juga telah mengingkari nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam keluarga dan agama mereka sendiri. Maka penting bagi kita semua sebagai individu, keluarga, maupun institusi untuk menghidupkan kembali nilai empati, penghormatan, dan kasih sayang dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ruang-ruang pendidikan.

 

Mari Tidak Diam: Karena Satu Nyawa Terlalu Berharga untuk Diabaikan

Bullying bukan sekadar masalah sekolah, bukan hanya urusan guru atau kampus. Ini masalah kita semua. Dan solusi nyatanya bukan hanya soal aturan, tapi soal kesadaran: dimulai dari rumah, dari ruang kelas, dari layar gawai, dan yang paling penting dari cara kita memperlakukan satu sama lain.

Kalau kamu adalah korban, ingat: kamu tidak sendiri, kamu layak dibela, kamu berhak hidup aman. Jangan diam, jangan simpan sendiri. Beranilah bicara. Suaramu penting.

Kalau kamu pernah menjadi pelaku, berhentilah sekarang juga. Luka yang kamu tinggalkan bisa bertahan seumur hidup bagi korban. Tapi kamu masih punya waktu untuk berubah dan itu butuh keberanian yang lebih besar daripada sekadar ikut-ikutan menyakiti.

Dan jika kamu adalah saksi, jangan jadi penonton. Jangan pura-pura tidak tahu. Diam adalah bentuk persetujuan. Lawan dengan sikap, tegur dengan nurani, laporkan jika perlu. Karena membela yang lemah bukan kelemahan itu adalah keberanian sejati.

Dunia pendidikan tidak diciptakan untuk melahirkan manusia yang saling menyakiti. Ia ada untuk membentuk manusia yang berpikir jernih, yang berjiwa besar, yang berani berempati dan berdiri di sisi kemanusiaan.

Satu korban bullying sudah terlalu banyak. Jangan tunggu sampai ada lagi yang meninggal, yang terluka, yang hancur diam-diam hanya karena kita membiarkan.

MARI BUKA MATA, BUKA HATI, DAN BERGERAK BERSAMA. KARENA MENGHENTIKAN BULLYING BUKAN PILIHAN ITU KEHARUSAN.

 

Post a Comment

أحدث أقدم