Ketika Pemuda Kehilangan Arah

 

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Ketua Umum Agerlip PP PGM INDONESI

Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi

Direktur Research and Literacy Institute (RLI)

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

---------------


Ada masa di mana aku merasa heran sendiri. Mengapa di negeri yang katanya “bonus demografi” ini, justru banyak pemuda yang kehilangan arah? Mereka pintar, cepat, digital, dan punya keberanian luar biasa untuk tampil. Tapi entah mengapa, sebagian di antara mereka seperti kehilangan peta batin. Seolah hidup hanyalah tentang scrolling tanpa henti, ikut tren, mencari sensasi, dan menyamakan eksistensi dengan jumlah followers.


Aku tidak sedang menghakimi. Karena, jujur saja, mungkin aku pun pernah kehilangan arah, hanya saja bentuknya berbeda. Dulu kehilangan arah itu mungkin berarti bingung memilih jalan hidup. Sekarang, kehilangan arah berarti kehilangan makna hidup itu sendiri. Dan itulah yang paling menakutkan.



---


Saya masih ingat satu sore di sebuah kafe kecil di Sukabumi. Di hadapanku duduk tiga anak muda, mahasiswa semester akhir. Mereka sedang mendiskusikan “masa depan”, tapi nada suaranya seperti orang yang sedang mengeluh tentang cuaca. “Kalau nggak punya privilege, kayaknya percuma kuliah tinggi-tinggi, Pak,” kata salah satunya. Yang lain menimpali, “Yang penting bisa viral dulu, baru nanti uang datang sendiri.” Aku tersenyum kecut. Ada luka yang tak kasatmata di balik tawa mereka. Luka karena kehilangan arah.


Mereka hidup di era yang serba cepat, tapi juga serba dangkal. Informasi berlimpah, tapi kebijaksanaan makin jarang. Semua serba “instan”, sukses instan, bahagia instan, bahkan cinta pun instan. Dan di tengah kecepatan itu, banyak anak muda kehilangan sesuatu yang dulu sangat dijaga: arah moral dan arah spiritual.



---


Saya jadi teringat perkataan Bung Karno, “Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kalimat itu sering kita dengar, tapi mungkin sekarang terasa seperti slogan lama yang kehilangan daya magisnya. Karena dunia hari ini justru mengguncangkan pemuda, bukan sebaliknya. Dunia digital, dunia kapital, dunia yang membius dan mengaburkan batas antara kebaikan dan pencitraan.


Saya pernah menemani sekelompok siswa SMA dalam kegiatan literasi di kampung. Mereka antusias, tapi setiap kali saya ajak berdiskusi tentang cita-cita, jawabannya hampir seragam: “Ingin terkenal.” Tidak ada yang menjawab, “ingin bermanfaat.” Saya tidak menertawakan, hanya terdiam lama. Mungkin karena mereka tumbuh dalam atmosfer yang terus menanamkan satu pesan: eksistensi itu berarti tampil, bukan berbuat.


Dan di situlah akar persoalannya: pemuda kehilangan arah karena kehilangan kompas nilai. Mereka lebih tahu bagaimana menulis caption yang keren daripada menulis arah hidup mereka sendiri.



---


Namun jangan salah, kehilangan arah bukan hanya soal pemuda. Ia juga cermin dari kita—orang-orang dewasa yang seharusnya memberi teladan, tapi justru sering membingungkan mereka. Kita berkata, “Jadilah jujur,” tapi kita korupsi. Kita bilang, “Berjuanglah demi bangsa,” tapi kita sendiri sibuk menyelamatkan diri. Bagaimana mereka tidak kehilangan arah kalau kita sendiri tak tahu arah moral bangsa ini?


Saya jadi merenung lama malam itu. Mungkin kehilangan arah bukan tanda akhir, tapi justru awal. Karena setiap yang tersesat masih punya peluang untuk menemukan cahaya. Bukankah Nabi Yunus pun pernah kehilangan arah di dalam perut ikan, sebelum akhirnya menemukan Tuhan dengan sebenar-benarnya? Bukankah setiap perjalanan manusia selalu dimulai dari kebingungan?



---


Ada satu anak muda yang saya kenal, namanya Rafi. Ia mahasiswa di Bandung, rajin tapi pendiam. Dulu ia sempat hampir putus kuliah karena merasa “nggak tahu buat apa semua ini.” Saya menemuinya beberapa kali, mendengarkan keluhannya, dan akhirnya suatu hari ia bilang, “Saya cuma ingin hidup punya arti, Pak. Tapi saya nggak tahu harus mulai dari mana.”


Saya tak memberi nasihat panjang. Hanya bilang: “Mulailah dari satu hal kecil yang kamu cintai, lalu berikan manfaat darinya.” Sekarang, Rafi jadi relawan literasi di desanya. Ia tak viral, tak terkenal, tapi ia hidup dengan arah. Dan di wajahnya saya lihat ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang atau likes.


Kehilangan arah kadang adalah panggilan untuk pulang. Pulang ke nilai, ke iman, ke kesadaran bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling berarti.



---


Sumpah Pemuda yang kita peringati tiap 28 Oktober itu bukan sekadar sejarah yang dibacakan di upacara. Ia adalah reminder tentang arah kolektif bangsa ini. Para pemuda 1928 tidak punya teknologi canggih, tapi mereka punya jiwa besar. Mereka tidak punya media sosial, tapi mereka punya visi sosial. Mereka tidak trending topic, tapi mereka menulis arah bangsa dengan darah dan air mata.


Bandingkan dengan banyak pemuda hari ini yang kadang mudah menyerah hanya karena engagement turun. Saya sering berpikir: seandainya semangat Sumpah Pemuda itu ditulis ulang hari ini, mungkin bunyinya bukan lagi “Bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu,” tapi “Bermain game online satu, bergaya hidup satu, berbicara dengan slang yang sama.” Lucu, tapi juga menyedihkan.



---


Namun saya tak ingin pesimis. Karena di tengah kebingungan itu, saya juga melihat banyak anak muda yang mencari arah dengan cara mereka sendiri. Ada yang membuat komunitas kecil di gang sempit untuk mengajar anak-anak. Ada yang mengubah ruang digital menjadi wadah berbagi ilmu. Ada pula yang menolak godaan viral, dan memilih tenang menanam pohon, menulis buku, atau merawat ibunya di rumah. Mereka tidak kehilangan arah, mereka hanya berjalan pelan, tidak di panggung utama, tapi di jalan yang benar.


Itulah harapan saya pada pemuda hari ini. Bahwa arah tidak perlu selalu spektakuler. Ia bisa sederhana, tapi bermakna. Karena arah sejati tidak ditentukan oleh sorotan, melainkan oleh komitmen.



---


Sore ini, menjelang Sumpah Pemuda, saya menulis ini sambil memandangi langit Sukabumi yang mulai temaram. Ada rasa haru ketika teringat wajah-wajah muda yang masih mencari makna hidupnya. Saya ingin mengatakan pada mereka: Kalian tidak salah arah jika masih mencari. Yang berbahaya justru mereka yang berhenti mencari dan merasa sudah tahu segalanya.


Kehidupan memang tak selalu memberi peta yang jelas, tapi ia selalu memberi tanda-tanda. Kadang berupa kegagalan, kadang kehilangan, kadang sekadar perasaan hampa. Semua itu bukan hukuman, tapi ajakan: untuk berhenti sejenak, menatap ke dalam, dan bertanya: “Apa arah hidupku sebenarnya?”


Karena jika arahmu sudah kau temukan, maka langkahmu, sekecil apapun, akan selalu berarti bagi dunia. Dan di situlah, mungkin, arti sejati menjadi pemuda: bukan mereka yang paling bising bersuara, tapi yang paling jujur melangkah.



---


Sukabumi, Oktober 2025

Post a Comment

أحدث أقدم