Santri dan Embrio Pemimpin Penjaga Akhlak




Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Praktisi pendidikan, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Santri di pondok pesantren Al Mahfudziyah Babakan Mageung Ciaul Kota Sukabumi (1992-1995); pondok pesantren Syamsul Ma'arif Sirna Galih Cileunyi Bandung (1995-1999); Ponpes Al-Ikhsan Beji Kedung banteng Purwokerto (1999-2000). Sampai saat ini menjadi santri Takhasus di beberapa pesantren di Sukabumi.

_______


Hari Santri Nasional tahun ini datang di tengah suasana bangsa yang masih mencari arah moral. Kita menyaksikan banyak tokoh publik berbicara tentang etika, tetapi lemah dalam teladan. Jabatan sering dijadikan alat untuk membangun citra, bukan untuk mengabdi. Di tengah kekecewaan masyarakat terhadap perilaku elite, kita kembali menengok ke pesantren. Ada harapan yang tumbuh dari sana, dari dunia yang membesarkan santri, tempat di mana akhlak tidak diajarkan lewat teori, tapi lewat laku hidup.


Santri memiliki kekhasan yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain. Mereka belajar ilmu agama sekaligus berlatih hidup disiplin, sederhana, dan bertanggung jawab. Di pesantren, kepemimpinan tidak dimulai dari kekuasaan, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri. Santri terbiasa bangun sebelum fajar, membersihkan lingkungan, menghormati guru, dan berbagi dengan sesama. Di balik kebiasaan itu tertanam nilai kesabaran, ketulusan, dan kerendahan hati, tiga pilar utama dalam kepemimpinan akhlak.


Islam memandang kepemimpinan sebagai amanah yang berat, bukan kehormatan untuk disombongkan. Rasulullah SAW bersabda, “Kepemimpinan itu amanah, dan pada hari kiamat akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang menunaikannya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang diembankan kepadanya.” (HR. Muslim).


Hadis ini menjadi pegangan moral di pesantren. Setiap amanah, sekecil apa pun, harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Dari sinilah muncul karakter kepemimpinan yang tidak haus jabatan. Seorang santri yang ditempa nilai-nilai itu paham bahwa memimpin bukan untuk dihormati, tetapi untuk menunaikan tanggung jawab kepada Allah dan sesama manusia.


Namun, tantangan di era ini jauh lebih kompleks. Dunia digital melahirkan banyak “pemimpin” instan yang populer di media sosial, tetapi dangkal secara moral. Kecepatan informasi sering mengalahkan kedalaman pemikiran. Budaya pamer menggantikan budaya khidmah. Dalam situasi ini, nilai-nilai kepemimpinan akhlak yang diajarkan pesantren justru makin dibutuhkan.


Santri yang berjiwa pemimpin tahu kapan berbicara dan kapan diam. Ia paham bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan akan menjerumuskan. Dalam tradisi pesantren, santri dididik untuk mendengar lebih banyak sebelum berpendapat. Karena mendengar adalah bagian dari adab, dan adab adalah pintu ilmu.


Prof. Quraish Shihab pernah menegaskan bahwa akhlak adalah inti dari seluruh ajaran Islam. Tanpa akhlak, ilmu menjadi kering, dan ibadah kehilangan makna. Prinsip ini juga berlaku dalam kepemimpinan. Pemimpin yang berilmu tanpa akhlak akan mudah tergelincir. Sebaliknya, pemimpin yang berakhlak akan menggunakan ilmunya untuk melayani dan menebar manfaat.


Sejarah bangsa ini mencatat peran besar santri dalam perjuangan kemerdekaan. KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan KH Wahid Hasyim tidak hanya memimpin umat, tetapi juga memberi arah bagi bangsa. Mereka tidak mengejar kekuasaan, tetapi justru dipanggil untuk memimpin karena keteladanannya. Dari mereka, kita belajar bahwa kekuatan moral jauh lebih tahan lama daripada kekuatan politik.


Krisis kepemimpinan yang kita alami hari ini sejatinya adalah krisis spiritual. Banyak pemimpin kehilangan kompas moral karena terlalu sibuk menjaga citra. Padahal, dalam Al-Qur’an Allah menegaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).


Ayat ini adalah pengingat bahwa kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan menegakkan keadilan dan menjaga amanah. Dua hal yang menjadi inti dari pendidikan pesantren. Seorang kiai tidak mengajarkan kepemimpinan lewat teori politik, tapi lewat keteladanan. Ia menuntun santrinya untuk berani berkata benar meski tak populer, dan tetap rendah hati meski memiliki ilmu tinggi.


Di sinilah santri memiliki potensi besar untuk menjawab krisis moral bangsa. Mereka bisa hadir di ruang publik sebagai penyejuk, bukan penghasut. Mereka bisa menjadi jembatan di tengah perbedaan, karena terbiasa hidup dalam keberagaman. Pesantren mengajarkan bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang untuk belajar saling menghormati.


Kepemimpinan akhlak tidak lahir dari ambisi, tapi dari pengabdian. Pemimpin berakhlak tidak membangun pengaruh dengan propaganda, tapi dengan kejujuran. Ia tidak menindas bawahan, tidak menipu rakyat, dan tidak mengkhianati kepercayaan. Ia sadar bahwa kekuasaan hanyalah titipan.


Kepemimpinan model ini memang tidak mudah dijalankan di tengah dunia yang menuntut kecepatan dan hasil instan. Tapi pesantren telah membuktikan bahwa ketulusan adalah kekuatan. Di tengah arus pragmatisme, santri harus menjadi contoh bahwa nilai tidak bisa ditukar dengan posisi, dan akhlak tidak bisa digadaikan demi kekuasaan.


Kini banyak santri muda terjun ke dunia politik, pendidikan, ekonomi, hingga teknologi. Mereka membawa semangat baru tanpa meninggalkan akar tradisi. Gerakan santri literasi, santri digital, dan santripreneur adalah bukti bahwa nilai-nilai pesantren bisa bersinergi dengan kemajuan zaman. Tantangan mereka bukan lagi soal kemampuan, tapi soal menjaga keikhlasan di tengah ambisi.


Pemimpin yang berjiwa santri bukan yang paling keras suaranya, tetapi yang paling lembut hatinya. Ia menundukkan kepala saat dipuji, dan menegakkan prinsip ketika diuji. Ia sadar bahwa yang membuat kepemimpinan bermakna bukan besarnya jabatan, tapi sejauh mana ia membawa kebaikan.


Sebagaimana doa yang selalu dibaca para santri, “Allahumma ja‘alna min al-ladzina yastami‘una al-qaula fayattabi‘una ahsanah.” Ya Allah, jadikan kami di antara orang-orang yang mau mendengar nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya. Doa sederhana ini sesungguhnya menggambarkan inti dari kepemimpinan akhlak: rendah hati untuk mendengar, dan berani berbuat baik.


Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi sangat membutuhkan pemimpin yang berakhlak. Santri punya modal untuk itu. Mereka dibentuk oleh kesederhanaan, kejujuran, dan disiplin spiritual. Jika nilai-nilai itu terus dijaga, maka santri bukan hanya penjaga iman, tapi juga penuntun peradaban. Santri adalah embrio pemimpin dengan Gen Penjaga Akhlak. Kita harus menjaga dan mesupportnya. 


Beruntung bangsa ini, dikaruniai bekal kepemimpinan dari kalangan santri.


Selamat Hari Santri Nasional Tahun 2025

Wallahu 'alamu

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama