Anak Introvert di Sekolah: Tantangan Guru dan Orang Tua dalam Membangun Karakter Sosial dan Spiritual Peserta Didik

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Pernah nggak sih, kita sebagai pendidik, menghadapi anak yang sangat pendiam di kelas, susah berbaur, bahkan sampai menolak masuk sekolah karena merasa nggak punya teman? Atau mungkin pernah juga berhadapan dengan orang tua yang terlalu melindungi anaknya, sampai guru jadi bingung mencari cara terbaik untuk menyelesaikan masalah?


Fenomena seperti ini sering banget muncul di dunia pendidikan, dan ini jadi salah satu bahasan penting dalam mata kuliah Perkembangan Peserta Didik, terutama saat kita membicarakan perkembangan sosial dan emosional anak usia sekolah dasar.


Dalam salah satu sesi perkuliahan di Universitas Terbuka (UT) SALUT Badak Putih Alfaida, ada seorang mahasiswi PGSD yang berbagi cerita tentang siswanya yang menolak masuk sekolah selama dua minggu karena merasa dikucilkan teman. Anak itu dikenal pendiam dan cenderung introvert. Kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kita sebagai pendidik memahami karakter anak secara menyeluruh bukan cuma dari sisi akademik, tapi juga dari sisi sosial dan emosional.


Setiap anak punya dunianya sendiri. Tugas kita bukan mengubah mereka jadi sama, tapi menuntun mereka supaya berani bersinar dengan caranya masing-masing.

 


Anak Introvert dan Tantangan Sosial di Sekolah

Kalau kita lihat dari teori Perkembangan Peserta Didik, usia 6 - 12 tahun itu adalah masa anak membentuk identitas sosialnya. Menurut (Erikson 1968), masa ini disebut fase industry vs inferiority (rajin vs rendah diri). Di tahap ini, anak belajar menilai dirinya lewat penerimaan dari lingkungan sekitar. Kalau ia diterima, ia merasa berharga; tapi kalau ditolak, bisa timbul rasa minder atau rendah diri.


Anak dengan kepribadian introvert biasanya tenang, suka berpikir dulu sebelum bicara, dan butuh waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri. Sayangnya, di lingkungan sekolah yang sering menilai “keaktifan” sebagai tanda percaya diri, anak introvert kadang dianggap “tidak mau bergaul”. Padahal, mereka hanya butuh ruang dan waktu untuk merasa aman. Kalau tidak disadari, hal ini bisa memicu penolakan sosial bahkan bullying secara halus.


Menurut Santrock dalam Child Development, dukungan sosial dari guru dan teman sebaya punya pengaruh besar terhadap kesejahteraan emosional anak (Santrock 2018). Karena itu, kita sebagai pendidik perlu menciptakan suasana belajar yang nyaman untuk semua tipe anak, termasuk mereka yang lebih introvert.


Peran Orang Tua dan Pola Asuh


Masalah di sekolah kadang jadi makin rumit karena respons orang tua yang kurang tepat. Misalnya, saat anak menolak masuk sekolah, orang tua langsung mengizinkan tanpa tahu penyebabnya. Niatnya melindungi, tapi efeknya bisa membuat anak makin sulit menghadapi masalah sosialnya.


Kalau kita lihat dari teori ekologi Bronfenbrenner, anak tumbuh di tengah berbagai sistem keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar (Bronfenbrenner 1979). Kalau salah satu sistem nggak seimbang, perkembangan anak juga bisa terganggu. Karena itu, komunikasi antara guru dan orang tua penting banget supaya anak dapat dukungan yang selaras di rumah maupun di sekolah.

 

Pandangan Islam tentang Anak Introvert dan Pendidikan Karakter

Dalam Islam, setiap anak diciptakan dengan fitrah yang berbeda. Rasulullah SAW sendiri memberi teladan dalam mendidik: beliau memperlakukan setiap sahabat dan anak-anak dengan cara yang berbeda sesuai kepribadiannya. Anak yang pendiam pun punya tempat istimewa dan butuh pendekatan lembut, bukan paksaan untuk tampil seperti orang lain.


Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
(QS. At-Tahrim [66]: 6)⁵


Ayat ini mengingatkan bahwa pendidikan bukan cuma soal kecerdasan intelektual, tapi juga pembinaan akhlak dan spiritual. Menjaga anak berarti membantu mereka tumbuh dengan seimbang antara akal, hati, dan perilaku (tarbiyah ‘aqliyah, nafsiyah, dan khuluqiyah).


Rasulullah SAW juga bersabda:


“Seorang mukmin itu cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)


Sebagai pendidik, kita harus mampu menjadi cermin yang jernih bagi anak-anak menampilkan keteladanan, kesabaran, dan kasih sayang dalam setiap tindakan. Saat kita menebar empati, anak-anak pun belajar berempati. Ketika kita memilih sabar daripada marah, lembut daripada memaksa, di situlah nilai-nilai Islam hidup dalam ruang kelas kita. Tugas kita bukan sekadar mengajar mereka mengenal huruf dan angka, tetapi menuntun mereka mengenal dirinya, menghargai perbedaan, dan tumbuh menjadi manusia yang berakhlak..


Langkah Praktis untuk Guru dan Orang Tua

  1. Pendekatan Personal dan Empatik
    Ajak anak bicara dengan tenang dan tulus. Anak introvert lebih nyaman kalau diberi waktu dan ruang untuk bercerita.
  2. Melatih Resiliensi Sosial
    Ajak anak belajar menerima bahwa nggak semua orang akan selalu mau bermain dengannya. Gunakan permainan peran atau diskusi ringan untuk menumbuhkan ketahanan sosial.
  3. Mediasi Sosial di Kelas
    Libatkan anak dalam kelompok kecil dengan teman-teman berbeda karakter supaya mereka belajar kerja sama dan saling memahami.
  4. Kolaborasi Edukatif dengan Orang Tua
    Bantu orang tua memahami pentingnya memberi kesempatan anak menyelesaikan masalah sosialnya sendiri, dengan bimbingan, bukan perlindungan berlebihan.
  5. Integrasi Nilai Islam dalam Pembelajaran Sosial-Emosional
    Tanamkan nilai ta’awun (tolong-menolong), ukhuwah (persaudaraan), dan husnuzan (berprasangka baik).⁷ Dengan begitu, anak terbiasa berinteraksi secara Islami, santun, dan empatik.

 

Penutup Spiritual

Anak introvert bukan anak bermasalah; mereka hanya punya cara berbeda untuk mengekspresikan diri. Kita sebagai pendidik dan orang tua punya peran penting untuk membantu mereka menemukan keberanian dalam diamnya, dan kekuatan dalam kelembutannya.

 

Pendidikan Islam melihat setiap anak sebagai amanah yang harus dijaga dengan kasih sayang, kesabaran, dan kebijaksanaan. Rasulullah SAW bersabda:


“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

 

Refleksi Pendidik: Menyalakan Cahaya di Setiap Jiwa

Menjadi pendidik itu bukan cuma pekerjaan, tapi panggilan hati. Di balik setiap anak baik yang aktif, pendiam, ceria, atau pemalu ada potensi luar biasa yang menunggu untuk kita bantu tumbuh. Seperti lilin yang menyalakan cahaya tanpa kehilangan sinarnya, semangat kita sebagai guru tidak akan padam saat membimbing anak-anak menuju versi terbaik dirinya. Setiap tantangan di kelas adalah ladang pahala, setiap perbedaan karakter adalah pelajaran hidup, dan setiap senyum kecil dari siswa adalah bukti bahwa tugas kita berarti. Jadi, yuk terus semangat mendidik dengan hati yang tulus, karena satu anak yang kita bimbing hari ini bisa jadi cahaya bagi masa depan umat dan bangsa.


 #TERIMAKASIHGURU-GURUKU


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama