Sebuah
refleksi untuk guru, calon guru, mahasiswa keguruan, dan orang tua.
Perjalanan Menjadi Guru
Dorongan untuk menjadi guru datang dari orang
tua, terutama ayah. Dulu, sempat diterima di salah satu kampus di Bogor, namun
restu orang tua belum mengiringi langkah itu. Hingga akhirnya, perjalanan hidup
menuntun ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Awalnya sempat ragu dengan pilihan
jurusan, tapi hati akhirnya mantap memilih Pendidikan Agama Islam (PAI) dan
di situlah kisah pengabdian ini dimulai.
Keinginan untuk terus belajar tidak berhenti di
sana. Setelah menyelesaikan studi sarjana, langkah pun berlanjut ke jenjang
magister di STAI Sukabumi. Bukan untuk
mengejar gelar, melainkan karena masih ingin memperdalam ilmu dan memperbaiki
diri agar bisa lebih bermanfaat dalam mendidik.
Menjadi guru ternyata tidak semudah yang
dibayangkan. Rasa ragu sering datang: takut salah bicara, takut murid meniru
hal yang kurang tepat, atau khawatir penampilan dan sikap belum layak
diteladani. Padahal ketika menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Daaruttaqwa,
para guru telah membimbing dengan teladan dan latihan mengajar (amaliyah
tadris).
Sering muncul tanya dalam hati, “Apakah aku
cukup mampu membimbing anak-anak ini?”
Pertanyaan sederhana itu perlahan menuntun pada
renungan yang lebih dalam: apa sebenarnya makna menjadi pendidik dalam
pandangan Islam? Apakah cukup dengan menyampaikan pelajaran, atau ada nilai
yang lebih luhur di balik profesi ini?
Dari sanalah kesadaran itu tumbuh bahwa menjadi
guru bukan sekadar tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membersihkan
hati, menumbuhkan adab, dan menuntun jiwa.
Persamaan Guru, Pendidik, dan Pengajar
Dalam pandangan Islam, istilah guru,
pendidik,
dan pengajar
memiliki makna yang saling berdekatan. Ketiganya berperan menuntun manusia
menuju kebaikan dan kebijaksanaan.
·
Guru adalah
sosok yang mengajar sekaligus mendidik dengan keteladanan.
·
Pendidik
membentuk karakter, akhlak, dan kepribadian agar murid beradab.
·
Pengajar fokus
menyampaikan ilmu agar siswa memahami materi dengan baik.
Ketiganya saling melengkapi. Guru yang ideal
adalah ia yang mengajar dengan ilmu, mendidik dengan hati, dan
menuntun dengan kasih.
Allah Swt berfirman dalam QS. Ali
Imran [3]:79:
“Tidak wajar bagi seseorang yang diberi
Kitab oleh Allah, diberi hikmah, dan diberi kenabian, lalu ia berkata kepada
manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembahku, bukan penyembah Allah.’ Tetapi
hendaklah ia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Kitab dan kamu selalu mempelajarinya.’”
Ayat ini menegaskan bahwa pendidik sejati
adalah sosok
rabbani yang menautkan
ilmunya dengan keimanan. Ia tidak mendidik demi pujian, tapi karena kesadaran
ilahi. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pusat ilmu, melainkan sebagai
perantara cahaya dari Allah.
Maka, guru yang berjiwa rabbani akan terus
memperbaiki niat, memperhalus cara mengajar, dan membersihkan hatinya dari
keangkuhan. Sebab, ilmu yang disampaikan tanpa ketulusan hanyalah pengetahuan
tanpa ruh.
Falsafah Pengajar dan
Pendidik dalam Islam
Dalam Islam, pendidikan selalu menyentuh dua
sisi: akal dan
hati. Allah Swt berfirman:
“Dialah
Allah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah...” (QS. Al-Jumu‘ah
[62]:2)
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw tidak
hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menyucikan
hati umatnya. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang
menyentuh ruhani menata akal sekaligus menenangkan jiwa.
Bagi guru masa kini, pesan ini terasa semakin
relevan. Mengajar di era digital menuntut kreativitas, tapi kesucian niat tetap
pondasi utama. Ilmu tidak akan menumbuhkan kebijaksanaan bila disampaikan
dengan hati yang keruh.
Guru yang ikhlas akan memancarkan ketenangan,
dan dari ketenangan itulah lahir keteladanan.
Kelompok Pendidik dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menunjukkan bahwa pendidikan adalah
kerja bersama, melibatkan empat lapisan pendidik utama:
1.
Allah Swt – Pendidik Segala Makhluk
Dalam QS. Al-‘Alaq
[96]:1–5, Allah memerintahkan manusia membaca dengan menyebut nama-Nya.
Artinya, pendidikan sejati dimulai dari kesadaran spiritual bahwa ilmu adalah
cahaya dari Allah.
2. Para
Nabi dan Rasul – Pendidik Umat
Dalam QS. Al-Ahzab
[33]:21 disebutkan,
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu.”
Keteladanan (uswah hasanah) menjadi metode
paling kuat dalam pendidikan.
3.
Orang Tua – Pendidik Pertama di Rumah
Dalam QS. Luqman
[31]:13, Luqman memberi nasihat kepada anaknya agar tidak mempersekutukan
Allah.
Artinya, pendidikan spiritual dan moral dimulai dari keluarga dari tutur lembut
dan doa tulus orang tua.
4.
Guru dan Lingkungan Sosial – Pendidik
Masyarakat
Dalam QS. Al-Kahfi
[18]:66, Nabi Musa berguru kepada Khidir.
Ini menegaskan pentingnya kerendahan hati dalam belajar. Bahkan seorang nabi
pun belajar dari orang lain maka guru sejati adalah mereka yang tidak
pernah berhenti menjadi murid.
Makna Pendidik: Penuntun Ilmu dan Pembentuk Budi
Sebelum membahas bagaimana guru menghadapi perubahan perilaku anak-anak di
zaman sekarang, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: siapa
sebenarnya sosok pendidik itu?
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang berarti
memelihara, merawat, dan melatih agar seseorang tumbuh dengan ilmu, sopan
santun, akal budi, dan akhlak yang baik.
Menurut Ahmad Tafsir, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab atas pertumbuhan
potensi peserta didik baik dari sisi pengetahuan, sikap, maupun keterampilannya
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2), yang menegaskan bahwa pendidik adalah
tenaga profesional yang merencanakan, melaksanakan, menilai, membimbing, serta
mengabdi kepada masyarakat.
Ki Hajar Dewantara menyebut guru sebagai penuntun bukan sekadar
pengajar, tetapi sosok yang menumbuhkan potensi anak agar berkembang sesuai
kodrat dan zamannya
Sementara Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasil, mengingatkan bahwa
pendidikan sejati harus membebaskan, bukan menindas. Guru bukan penguasa
kelas, melainkan mitra dialog yang memanusiakan
Bayangkan seorang guru yang mengenakan dua “topi”: satu sebagai pengajar
yang menjelaskan teori, dan satu lagi sebagai pendidik yang menuntun
hati serta menanamkan nilai. Keduanya tak bisa dipisahkan mengajar tanpa
mendidik membuat ilmu terasa kering, sedangkan mendidik tanpa mengajar membuat
arah jadi kabur.
Guru ideal adalah perpaduan keduanya: cerdas dalam ilmu, lembut dalam
budi, dan tulus dalam niat.
Seperti firman Allah SWT:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]:
11)
Menjadi pendidik sejati bukan sekadar profesi, tapi amanah dan ibadah.
Sebab masa depan bangsa tidak hanya dibentuk lewat pelajaran di papan tulis,
melainkan lewat keteladanan, kejujuran, dan kasih sayang yang dengan sabar
ditanamkan di hati anak-anaknya.
Menjadi Guru yang Terus
Belajar dan Membersihkan Hati
Menjadi guru sejati adalah perjalanan tanpa
akhir. Ia menuntut kita untuk terus belajar, memperbaiki niat, dan membersihkan
hati.
Setiap hari di kelas adalah ruang muhasabah
bukan hanya bagi murid, tapi juga bagi guru. Sebab, bagaimana mungkin kita
menuntun jika hati kita sendiri belum tertuntun?
Imam Al-Ghazali menyebut guru sebagai orang
tua rohani bagi murid-muridnya sosok yang menumbuhkan ilmu
sekaligus menyucikan akhlak
Allah
SWT berfirman:
“Katakanlah:
Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]:9)
Ilmu akan kehilangan cahayanya jika tidak
diiringi keteladanan. Sebab guru bukan hanya pemberi nilai, tetapi penanam
nilai. Ilmu bisa dilupakan, tetapi akhlak yang diajarkan dengan
hati akan membekas sepanjang hayat.
Dan di tengah dunia yang serba cepat seperti
hari ini, mungkin yang paling dibutuhkan bukan guru yang paling pintar, tetapi guru
yang paling tulus yang mau mendengar sebelum menasihati, yang
mau belajar sebelum mengajar, dan yang menuntun dengan kasih, bukan dengan
marah.
Menjadi guru adalah jalan belajar seumur hidup
belajar tentang ilmu, tentang manusia, dan tentang bagaimana menjaga hati agar
tetap bersih dalam setiap langkah pengabdian.
Sebab ketika hati guru bersih, maka cahaya ilmunya akan menuntun banyak jiwa
menuju kebaikan.
Penutup
Zaman boleh melaju cepat, teknologi mungkin
menggantikan banyak peran manusia, tetapi satu hal tak akan pernah tergantikan:
sentuhan
hati seorang guru.
Ia bukan sekadar pengajar, tapi penjaga
nurani zaman. Menjadi guru adalah perjalanan sunyi namun mulia
menyemai kebaikan tanpa pamrih, menuntun generasi agar tidak kehilangan arah. Dan
di tengah dunia yang semakin canggih, keikhlasan seorang pendidik tetaplah teknologi
paling hebat yang pernah dimiliki manusia.
Wallāhu
a‘lamu bissawāb

إرسال تعليق