Belajar, Beradab, Bersih Hati: Pendidikan Islam Zaman Now

 



Sebuah refleksi untuk guru, calon guru, mahasiswa keguruan, dan orang tua.

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di MTs/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Perjalanan Menjadi Guru

Dorongan untuk menjadi guru datang dari orang tua, terutama ayah. Dulu, sempat diterima di salah satu kampus di Bogor, namun restu orang tua belum mengiringi langkah itu. Hingga akhirnya, perjalanan hidup menuntun ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Awalnya sempat ragu dengan pilihan jurusan, tapi hati akhirnya mantap memilih Pendidikan Agama Islam (PAI) dan di situlah kisah pengabdian ini dimulai.

Keinginan untuk terus belajar tidak berhenti di sana. Setelah menyelesaikan studi sarjana, langkah pun berlanjut ke jenjang magister di STAI Sukabumi. Bukan untuk mengejar gelar, melainkan karena masih ingin memperdalam ilmu dan memperbaiki diri agar bisa lebih bermanfaat dalam mendidik.

Menjadi guru ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Rasa ragu sering datang: takut salah bicara, takut murid meniru hal yang kurang tepat, atau khawatir penampilan dan sikap belum layak diteladani. Padahal ketika menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Daaruttaqwa, para guru telah membimbing dengan teladan dan latihan mengajar (amaliyah tadris).

Sering muncul tanya dalam hati, “Apakah aku cukup mampu membimbing anak-anak ini?”

Pertanyaan sederhana itu perlahan menuntun pada renungan yang lebih dalam: apa sebenarnya makna menjadi pendidik dalam pandangan Islam? Apakah cukup dengan menyampaikan pelajaran, atau ada nilai yang lebih luhur di balik profesi ini?

Dari sanalah kesadaran itu tumbuh bahwa menjadi guru bukan sekadar tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membersihkan hati, menumbuhkan adab, dan menuntun jiwa.

 

Persamaan Guru, Pendidik, dan Pengajar

Dalam pandangan Islam, istilah guru, pendidik, dan pengajar memiliki makna yang saling berdekatan. Ketiganya berperan menuntun manusia menuju kebaikan dan kebijaksanaan.

·         Guru adalah sosok yang mengajar sekaligus mendidik dengan keteladanan.

·         Pendidik membentuk karakter, akhlak, dan kepribadian agar murid beradab.

·         Pengajar fokus menyampaikan ilmu agar siswa memahami materi dengan baik.

Ketiganya saling melengkapi. Guru yang ideal adalah ia yang mengajar dengan ilmu, mendidik dengan hati, dan menuntun dengan kasih.

Allah Swt berfirman dalam QS. Ali Imran [3]:79:

Tidak wajar bagi seseorang yang diberi Kitab oleh Allah, diberi hikmah, dan diberi kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembahku, bukan penyembah Allah.’ Tetapi hendaklah ia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan kamu selalu mempelajarinya.’”

Ayat ini menegaskan bahwa pendidik sejati adalah sosok rabbani  yang menautkan ilmunya dengan keimanan. Ia tidak mendidik demi pujian, tapi karena kesadaran ilahi. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pusat ilmu, melainkan sebagai perantara cahaya dari Allah.

Maka, guru yang berjiwa rabbani akan terus memperbaiki niat, memperhalus cara mengajar, dan membersihkan hatinya dari keangkuhan. Sebab, ilmu yang disampaikan tanpa ketulusan hanyalah pengetahuan tanpa ruh.

 

Falsafah Pengajar dan Pendidik dalam Islam

Dalam Islam, pendidikan selalu menyentuh dua sisi: akal dan hati. Allah Swt berfirman:

Dialah Allah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah...” (QS. Al-Jumu‘ah [62]:2)

Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menyucikan hati umatnya. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang menyentuh ruhani menata akal sekaligus menenangkan jiwa.

Bagi guru masa kini, pesan ini terasa semakin relevan. Mengajar di era digital menuntut kreativitas, tapi kesucian niat tetap pondasi utama. Ilmu tidak akan menumbuhkan kebijaksanaan bila disampaikan dengan hati yang keruh.

Guru yang ikhlas akan memancarkan ketenangan, dan dari ketenangan itulah lahir keteladanan.

 

Kelompok Pendidik dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menunjukkan bahwa pendidikan adalah kerja bersama, melibatkan empat lapisan pendidik utama:

1.      Allah Swt – Pendidik Segala Makhluk
Dalam QS. Al-‘Alaq [96]:1–5, Allah memerintahkan manusia membaca dengan menyebut nama-Nya.
Artinya, pendidikan sejati dimulai dari kesadaran spiritual bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah.

2.      Para Nabi dan Rasul – Pendidik Umat
Dalam QS. Al-Ahzab [33]:21 disebutkan,

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Keteladanan (uswah hasanah) menjadi metode paling kuat dalam pendidikan.

3.      Orang Tua – Pendidik Pertama di Rumah
Dalam QS. Luqman [31]:13, Luqman memberi nasihat kepada anaknya agar tidak mempersekutukan Allah.
Artinya, pendidikan spiritual dan moral dimulai dari keluarga dari tutur lembut dan doa tulus orang tua.

4.      Guru dan Lingkungan Sosial – Pendidik Masyarakat
Dalam QS. Al-Kahfi [18]:66, Nabi Musa berguru kepada Khidir.
Ini menegaskan pentingnya kerendahan hati dalam belajar. Bahkan seorang nabi pun belajar dari orang lain maka guru sejati adalah mereka yang tidak pernah berhenti menjadi murid.

 

Makna Pendidik: Penuntun Ilmu dan Pembentuk Budi

Sebelum membahas bagaimana guru menghadapi perubahan perilaku anak-anak di zaman sekarang, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: siapa sebenarnya sosok pendidik itu?

Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang berarti memelihara, merawat, dan melatih agar seseorang tumbuh dengan ilmu, sopan santun, akal budi, dan akhlak yang baik.

Menurut Ahmad Tafsir, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab atas pertumbuhan potensi peserta didik baik dari sisi pengetahuan, sikap, maupun keterampilannya (Tafsir 2017). Artinya, mendidik bukan hanya soal mengajar, tetapi juga menumbuhkan karakter, membangun empati, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2), yang menegaskan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang merencanakan, melaksanakan, menilai, membimbing, serta mengabdi kepada masyarakat.

Ki Hajar Dewantara menyebut guru sebagai penuntun bukan sekadar pengajar, tetapi sosok yang menumbuhkan potensi anak agar berkembang sesuai kodrat dan zamannya (Dewantara 2013).

Sementara Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasil, mengingatkan bahwa pendidikan sejati harus membebaskan, bukan menindas. Guru bukan penguasa kelas, melainkan mitra dialog yang memanusiakan (Freire 2005).

Bayangkan seorang guru yang mengenakan dua “topi”: satu sebagai pengajar yang menjelaskan teori, dan satu lagi sebagai pendidik yang menuntun hati serta menanamkan nilai. Keduanya tak bisa dipisahkan mengajar tanpa mendidik membuat ilmu terasa kering, sedangkan mendidik tanpa mengajar membuat arah jadi kabur.

Guru ideal adalah perpaduan keduanya: cerdas dalam ilmu, lembut dalam budi, dan tulus dalam niat.

Seperti firman Allah SWT:

Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Menjadi pendidik sejati bukan sekadar profesi, tapi amanah dan ibadah.
Sebab masa depan bangsa tidak hanya dibentuk lewat pelajaran di papan tulis, melainkan lewat keteladanan, kejujuran, dan kasih sayang yang dengan sabar ditanamkan di hati anak-anaknya.

 

Menjadi Guru yang Terus Belajar dan Membersihkan Hati

Menjadi guru sejati adalah perjalanan tanpa akhir. Ia menuntut kita untuk terus belajar, memperbaiki niat, dan membersihkan hati.

Setiap hari di kelas adalah ruang muhasabah bukan hanya bagi murid, tapi juga bagi guru. Sebab, bagaimana mungkin kita menuntun jika hati kita sendiri belum tertuntun?

Imam Al-Ghazali menyebut guru sebagai orang tua rohani bagi murid-muridnya sosok yang menumbuhkan ilmu sekaligus menyucikan akhlak (Al-Ghazali 2003). Dalam pandangannya, tugas guru bukan sekadar menjadikan murid pintar, tetapi menjadikan mereka berakhlak dan beradab.

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]:9)

Ilmu akan kehilangan cahayanya jika tidak diiringi keteladanan. Sebab guru bukan hanya pemberi nilai, tetapi penanam nilai. Ilmu bisa dilupakan, tetapi akhlak yang diajarkan dengan hati akan membekas sepanjang hayat.

Dan di tengah dunia yang serba cepat seperti hari ini, mungkin yang paling dibutuhkan bukan guru yang paling pintar, tetapi guru yang paling tulus yang mau mendengar sebelum menasihati, yang mau belajar sebelum mengajar, dan yang menuntun dengan kasih, bukan dengan marah.

Menjadi guru adalah jalan belajar seumur hidup belajar tentang ilmu, tentang manusia, dan tentang bagaimana menjaga hati agar tetap bersih dalam setiap langkah pengabdian.
Sebab ketika hati guru bersih, maka cahaya ilmunya akan menuntun banyak jiwa menuju kebaikan.

 

Penutup

Zaman boleh melaju cepat, teknologi mungkin menggantikan banyak peran manusia, tetapi satu hal tak akan pernah tergantikan: sentuhan hati seorang guru.

Ia bukan sekadar pengajar, tapi penjaga nurani zaman. Menjadi guru adalah perjalanan sunyi namun mulia menyemai kebaikan tanpa pamrih, menuntun generasi agar tidak kehilangan arah. Dan di tengah dunia yang semakin canggih, keikhlasan seorang pendidik tetaplah teknologi paling hebat yang pernah dimiliki manusia.

Wallāhu a‘lamu bissawāb

Post a Comment

أحدث أقدم