Menjaga Martabat Guru: Dari Kata-kata Menteri Hingga Amanah Negara

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha



Kadang-kadang yang paling melukai hati manusia itu bukan cambuk, bukan juga pukulan keras, melainkan kalimat. Kata-kata yang keluar dari mulut seorang pemimpin bisa menjadi doa, bisa menjadi penghiburan, tapi bisa juga menjadi luka. Itulah yang baru-baru ini dialami para guru ketika mendengar potongan pernyataan Menteri Agama, Bapak Nasaruddin Umar.


Saya percaya beliau tidak berniat merendahkan guru. Saya percaya beliau punya latar belakang akademik panjang, punya pengalaman hidup di dunia pendidikan. Tetapi, niat yang baik seringkali kehilangan cahaya kalau keluar dalam bentuk kata yang salah tempat, salah momentum, dan salah rasa. Kalimat seperti “kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadilah pedagang” mungkin di mata seorang pejabat adalah nasehat biasa, tapi di telinga seorang guru honorer yang gajinya hanya ratusan ribu sebulan, itu terdengar seperti pukulan telak yang membuat dadanya sesak.


Guru bukan malaikat. Guru tetap manusia. Mereka punya anak yang harus makan, punya rumah yang harus dibayar cicilannya, punya tubuh yang kadang sakit dan harus beli obat. Ketika seorang menteri menyebut profesi guru jangan mengejar uang, seolah-olah uang itu sesuatu yang rendah, padahal negara ini sendiri masih menunggak banyak hal terhadap kesejahteraan guru.


Allah sendiri mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu meremehkan manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong” (QS. Luqman:18). Kata-kata yang meremehkan profesi mulia sama artinya melukai marwah manusia yang Allah muliakan.



*Guru di Ruang Kelas, Menteri di Ruang Kata*


Mari kita bayangkan. Seorang guru honorer di pelosok Jawa Barat, misalnya, mengajar anak-anak dengan sepenuh hati. Ia bangun subuh, menyiapkan materi seadanya, kadang menulis soal di kertas karena sekolah tak mampu fotokopi. Gajinya? Tak sampai cukup untuk ongkos bolak-balik tiap bulan. Tapi ia bertahan, karena ada cinta pada murid-muridnya.


Lalu ia mendengar potongan video seorang menteri yang berkata, “kalau mau cari uang, jangan jadi guru.” Bagaimana perasaannya? Apakah ia tidak boleh berharap sedikit kesejahteraan? Apakah ia salah kalau sesekali ingin membelikan sepatu baru untuk anaknya dari hasil keringat mengajar?


Di sinilah luka itu muncul. Kata-kata yang mungkin diniatkan sebagai motivasi spiritual berubah menjadi stigma, seolah-olah guru yang menuntut kesejahteraan adalah guru yang salah niat. Padahal, kesejahteraan guru bukan soal niat pribadi, melainkan soal tanggung jawab negara.


Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak memberi hak kepada ulama (orang berilmu)” (HR. Ahmad). Bukankah guru itu pewaris para ulama dalam mendidik generasi? Kalau hak mereka tidak dipenuhi, di mana letak penghormatan itu?



*Dari Warung Kopi hingga Istana*


Kalau kita nongkrong sebentar di warung kopi dekat sekolah desa, kita akan mendengar obrolan sederhana para guru. Mereka bercanda, mereka tertawa, tapi di dalam hatinya ada kepahitan.


“Bu, bulan ini honor udah cair belum?”

“Belum, Pak. Katanya tunggu dana BOS turun dulu.”

“Ya Allah… padahal anak saya minta beli buku baru. Mau gimana lagi.”


Obrolan itu nyata, lebih nyata dari konferensi pers manapun.


Di sisi lain, di ruang-ruang istana atau kantor kementerian, angka-angka disajikan: “227.147 guru non-PNS dapat kenaikan tunjangan profesi,” “52 ribu tenaga pendidik diangkat PPPK.” Angka itu bagus, ya, tapi jangan lupa ada jutaan guru lain yang belum tersentuh.


Negara tidak bisa hanya sibuk dengan angka-angka pencapaian lalu lupa bahwa di balik setiap angka ada wajah, ada keluarga, ada kehidupan. Kata-kata seorang menteri yang mengabaikan rasa itu bisa menimbulkan jurang: antara bahasa pejabat dan bahasa rakyat.



*Guru Bukan Pengemis*


Saya sering teringat ucapan almarhum Gus Dur: “Guru itu tidak butuh dikasihani, guru itu butuh dihormati.” Hanya saja, hormat itu bukan sekadar salam atau pujian, melainkan keberpihakan nyata.


Kalau seorang guru harus menunggu tiga bulan untuk menerima honor Rp400 ribu, lalu dibilang jangan cari uang, itu jelas tidak adil. Guru bukan pengemis yang harus menerima apa adanya. Guru adalah tulang punggung peradaban. Kalau mereka dibiarkan lapar, peradaban ini akan ringkih.


Dalam salah satu hikmah Imam Ali bin Abi Thalib disebutkan: “Barangsiapa mengajarkan satu huruf kepadaku, maka ia telah menjadikan aku sebagai hambanya.” Itu cara sahabat Nabi menghormati guru. Sementara kita hari ini? Kita justru sering memaksa guru menunduk pada birokrasi, sementara haknya sendiri terabaikan.



*Membela Guru, Membela Bangsa*


Kritik terhadap pernyataan Menag ini bukan sekadar soal harga diri guru, tapi soal arah bangsa. Kalau negara gagal menjaga guru, maka negara gagal menjaga masa depan.


Saya ingin mengingatkan: Jepang bisa bangkit setelah hancur oleh bom atom karena satu hal—mereka tidak pernah meninggalkan guru. Kaisar Hirohito pernah ditanya, siapa yang pertama kali harus diselamatkan pascaperang? Ia menjawab: guru. Karena dari guru, lahir generasi baru yang bisa membangun kembali negeri.


Indonesia mestinya belajar dari situ. Kalau pemimpin kita benar-benar ingin bangsa ini maju, mulai dari guru. Mulai dari memastikan gajinya layak, hak-haknya terpenuhi, dan perasaannya dihormati.




*Bahasa Pemimpin adalah Cermin*


Kata-kata seorang pemimpin tidak boleh main-main. Ia bukan sekadar getaran pita suara, melainkan cermin bagaimana negara memandang rakyatnya.


Kalau seorang menteri berbicara bahwa guru jangan cari uang, pesan yang terbaca adalah: guru tidak perlu menuntut kesejahteraan. Padahal, itu bertentangan dengan konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan negara wajib memajukan pendidikan nasional. Dan siapa pelaksana pendidikan kalau bukan guru? Kalau guru dibiarkan tanpa kesejahteraan, berarti negara abai pada amanah konstitusi.



*Cerita dari Masa Kecil*


Saya masih ingat guru saya waktu SD di kampung. Namanya Bu Aminah. Beliau datang ke sekolah dengan sepeda butut, pakai baju sederhana, kadang bolong di ujung lengannya. Tapi dari mulut beliau keluar kalimat-kalimat yang membuat saya percaya diri.


“Mul, kamu bisa jadi apa saja kalau rajin belajar.”


Kalimat itu sederhana, tapi efeknya besar.


Sekarang saya membayangkan, kalau Bu Aminah masih hidup, lalu beliau mendengar seorang menteri berkata guru jangan cari uang, apa beliau akan tersenyum? Saya rasa tidak. Mungkin beliau akan terdiam, lalu menunduk, menyembunyikan rasa sedih. Karena memang sepanjang hidupnya beliau tidak pernah mencari uang lewat mengajar, tapi negara pun tidak pernah memberi cukup penghargaan.




*Saatnya Berpihak Nyata*


Maka, kritik ini bukan sekadar untuk Menag Nasaruddin Umar secara pribadi, melainkan untuk seluruh pejabat negara. Berhentilah menasehati guru dengan kalimat indah yang menyakitkan. Berhentilah menuntut guru untuk ikhlas, sementara negara pelit pada mereka.


Kalau benar pemerintah ingin guru fokus pada tugas mulianya, maka bebaskan mereka dari keresahan finansial. Naikkan gajinya, tepatkan pencairan honornya, perluas rekrutmen PPPK atau PNS, perbaiki skema tunjangan. Dengan begitu, guru tidak perlu lagi dihantui pikiran: “uang belanja cukup atau tidak.”


Barulah kemudian, kita bisa bicara tentang niat tulus, tentang pengabdian, tentang amal jariyah. Karena orang yang lapar tidak bisa diajak bicara tentang keikhlasan.



*Kata Maaf, Kata Hati*


Saya menghargai permintaan maaf Menag. Itu langkah baik. Tetapi kata maaf saja tidak cukup. Maaf harus diikuti perubahan sikap dan kebijakan. Jangan sampai maaf hanya menjadi basa-basi politik.


Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Bukankah guru adalah saudara kita juga? Maka memenuhi kebutuhannya bukan sekadar amal sosial, melainkan kewajiban iman.



*Penutup: Dari Tangan Guru, Masa Depan Bangsa*


Mari kita akhiri renungan ini dengan kesadaran sederhana: guru bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Tapi itu tidak berarti negara boleh abai terhadap kebutuhan mereka.


Kalau pemimpin kita ingin guru bekerja sepenuh hati, maka beri mereka alasan untuk tetap percaya bahwa negara ini adil. Jangan biarkan mereka mendengar kalimat yang menyakitkan dari mulut pejabat.


Karena, pada akhirnya, dari tangan guru lahir masa depan bangsa. Dan kalau guru kita tersakiti, masa depan itu bisa hancur sebelum sempat dirajut.


Allah berfirman: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11). Ayat ini menegaskan bahwa guru yang mengajarkan ilmu adalah orang yang Allah muliakan. Maka negara pun tidak boleh berlaku sebaliknya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama