Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 188)
Menjadi guru bukan sekadar
profesi dengan status resmi dan gaji yang pasti. Ada pengabdian, pengorbanan,
bahkan pilihan hidup yang sering kali penuh dilema. Begitu pula kisah seorang
guru P3K yang harus menentukan: tetap jauh dari keluarga namun sesuai bidang
mengajar, atau dekat dengan rumah tetapi harus menghadapi murid-murid kecil
yang jauh lebih menantang.
Awalnya, ia ditempatkan di
sebuah SMP di pedalaman. Perjalanan menuju sekolah bisa memakan waktu hampir
lima jam dari rumahnya. Selama dua tahun ia mengajar remaja dengan penuh
dedikasi, meski jauh dari orang tua, pasangan, dan anak-anak yang ia cintai.
Kehidupan di rantau membuatnya kerap merasa tertekan. Bayangkan, setelah
seharian mengajar, ia hanya bisa melepas rindu lewat panggilan telepon.
Namun, keadaan berubah. Ia
dipindahkan ke sebuah SD yang hanya berjarak 30 menit dari rumah. Di satu sisi,
ini membawa kebahagiaan karena ia bisa pulang setiap hari. Keluarga menjadi
sumber energi baru. Tapi, di sisi lain, tantangan yang dihadapi justru lebih
berat. Dari murid SMP yang mulai logis dalam berpikir, ia harus kembali ke anak
usia tujuh tahun yang penuh energi, emosional, bahkan hiperaktif.
Mengajar anak-anak kecil
ternyata jauh berbeda. Dibutuhkan kesabaran ekstra, perhatian penuh, dan
kemampuan untuk menghadapi berbagai karakter unik. Ada anak yang sulit duduk
tenang, ada pula yang membutuhkan perhatian khusus. Awalnya, ia merasa kewalahan,
bahkan sempat ragu apakah bisa bertahan.
Meski demikian, kebersamaan
dengan keluarga memberikan kekuatan besar. Ia menyadari, pulang ke rumah setiap
hari dengan wajah-wajah penuh cinta adalah hadiah berharga yang tidak bisa
digantikan kenyamanan mengajar sesuai bidang. Refleksinya sederhana: lebih
baik dekat dengan keluarga meski tantangan lebih besar, daripada jauh dari
keluarga meski lebih nyaman.
Kisah ini membuka mata kita
bahwa penempatan guru seharusnya tidak hanya soal administrasi. Pemerintah
perlu lebih bijak dalam mempertimbangkan faktor domisili, kesejahteraan
psikologis, hingga keharmonisan keluarga. Guru yang bahagia akan lebih mampu mendidik
dengan tulus.
Selain itu, ada beberapa
solusi yang bisa ditempuh. Pertama, pemetaan penempatan berbasis domisili agar
guru tidak terpaksa hidup jauh dari keluarga. Kedua, pelatihan adaptasi lintas
jenjang supaya guru mampu mengajar baik di SMP maupun SD. Ketiga, dukungan
konseling psikologis agar guru lebih siap menghadapi anak-anak dengan kebutuhan
istimewa.
Pada akhirnya, guru adalah
garda depan pendidikan bangsa. Mereka layak mendapat dukungan, bukan hanya
dalam bentuk gaji, tetapi juga kebijakan yang menyeimbangkan antara tugas dan
kehidupan pribadi. Kisah nyata ini mengingatkan kita: mengajar bukan sekadar
rutinitas, melainkan pengabdian yang membutuhkan hati dan jiwa.
Posting Komentar