Guru Bukan Beban, Guru Butuh Keadilan

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 177)



Setiap hari, di ruang kelas dari kota hingga pelosok, guru berdiri di depan murid dengan semangat yang tak pernah padam. Mereka mengajar, membimbing, dan menyalakan harapan, meski kesejahteraan yang diterima jauh dari kata layak. Ironisnya, profesi guru yang menjadi fondasi peradaban bangsa sering dipandang sebagai beban negara.

 

 

Mari kita jujur. Seorang guru honorer di daerah terpencil kerap hanya menerima Rp 500 ribu–Rp 1 juta per bulan. Bahkan di kota besar, banyak guru masih berjuang hidup dengan gaji yang tidak sebanding dengan kebutuhan. Bandingkan dengan para pejabat negara yang bisa dengan mudah memperoleh gaji pokok, tunjangan, bahkan fasilitas ratusan juta. Jurang ketidakadilan ini begitu lebar, seolah guru hanya dianggap pengeluaran, bukan investasi masa depan bangsa.

 

 

Yang lebih menyakitkan, perjuangan guru untuk sekadar diakui statusnya penuh lika-liku. Ada yang bertahun-tahun menunggu diangkat sebagai ASN atau PPPK, berkali-kali mengikuti seleksi dengan hasil yang mengecewakan, bukan karena tak kompeten, melainkan karena kuota terbatas. Sementara itu, para pengambil kebijakan bisa menetapkan besaran tunjangan mereka sendiri tanpa proses panjang.

 

 

Apakah guru hanya layak menerima janji? Apakah pengabdian di kelas, di tengah keterbatasan, tidak cukup untuk mendapatkan keadilan? Guru tidak menuntut kemewahan. Guru hanya meminta dihargai diberi hak yang pantas, diberi kepastian untuk hidup dengan tenang, agar bisa mendidik dengan sepenuh hati.

 

 

Inilah paradoks yang terus menghantui dunia pendidikan kita: guru diminta melahirkan generasi emas, tetapi kehidupannya sendiri jauh dari kata sejahtera. Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak bangsa tumbuh cerdas dan bermoral, bila pendidiknya selalu dihantui kegelisahan akan nasib esok hari?

 

 

Kita perlu mengubah cara pandang. Guru bukan beban anggaran negara. Guru adalah penopang peradaban, cahaya yang menerangi jalan bangsa menuju masa depan. Tanpa guru, tidak akan lahir dokter, insinyur, pejabat, atau bahkan anggota dewan. Maka, menghargai guru sejatinya berarti menghargai masa depan bangsa itu sendiri.

 

 

Bayangkan, jika guru mendapatkan keadilan yang layak, ia dapat mendidik dengan tenang tanpa harus memikirkan tambahan pekerjaan di luar sekolah. Ia dapat sepenuhnya mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membentuk karakter, ilmu, dan cita-cita anak didiknya. Dari ruang kelas sederhana itulah lahir pemimpin-pemimpin masa depan.



Guru tidak akan selamanya diam. Suara keadilan harus terus disuarakan, bukan dengan teriakan di jalanan, melainkan dengan pengabdian yang konsisten di ruang-ruang kelas. Namun, jika negara terus menutup mata, luka ini akan semakin dalam.

 

 

Keadilan bagi guru bukan sekadar soal gaji, melainkan pengakuan bahwa profesi ini adalah inti dari pembangunan bangsa. Saatnya pemerintah berhenti melihat guru sebagai beban dan mulai menempatkannya sebagai mitra sejati dalam membangun peradaban.


Karena tanpa guru, negeri ini akan kehilangan arah.

 

Post a Comment

أحدث أقدم