Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 151)
Di sebuah madrasah yang tenang, perempuan itu berdiri
tegak. Namanya Rahma. Langkahnya tidak keras, tapi setiap jejaknya menciptakan
riak panjang di hati banyak orang. Selama lebih dari satu dasawarsa, ia menjadi
nafas kurikulum. Ia menyusun program, mencatat perubahan, merekam cerita di
balik layar, dan membagikannya dalam diam tanpa bayaran, tanpa panggung, tanpa
pengakuan. Kamera di tangannya adalah saksi bisu bagaimana ia menjadikan setiap
kegiatan madrasah sebagai cahaya, walau tak jarang dirinya sendiri terbenam
dalam bayangan.
Suatu hari, kabar datang seperti petir di siang
bolong. Namanya ditenggelamkan kemudian dicantumkan kembali ke dalam daftar
calon wakil kepala madrasah... tanpa konfirmasi, tanpa musyawarah. Seakan-akan
ia hanya nama, bukan manusia yang punya hati. Dan yang lebih perih, pemilihan
itu dilakukan di saat program yang ia dan timnya susun baru saja akan
dijalankan. Semua terasa seperti sandiwara yang naskahnya ditulis tanpa
memberinya satu halaman pun untuk bicara.
Rahma tidak marah. Ia hanya terdiam lama, lalu
menuliskan surat yang bukan sekadar serah terima jabatan melainkan catatan hati
seorang perempuan petarung.
“Keputusan yang baik,” tulisnya, “tidak lahir dari
hati yang panas.”
Ia tahu, kemarahan adalah hak semua manusia. Tapi jika
amarah menjadi dasar keputusan, maka yang lahir adalah kekacauan, bukan
keadilan. Ia mengutip sabda Rasulullah: “Janganlah engkau menjatuhkan
keputusan ketika sedang marah.” Dan di antara baris-barisnya, ada luka yang
dalam namun disampaikan dengan tenang, nyaris lembut.
Ia menulis tentang empat ponsel yang rusak karena
dokumentasi, tongsis yang hilang, semua kerja yang dilakukannya dalam senyap.
Tidak pernah meminta bayaran, hanya meminta dihargai. “Karena penghargaan bukan
soal materi, tapi pengakuan dan keadilan.”
Lalu, dengan hati yang tak kalah kuat dari logikanya,
Rahma mengambil keputusan. Ia memilih menjauh, bukan karena ingin lari, tapi
karena ingin waras. Ia pindah ke ruang eskul, membina siswa di Klub Karya
Ilmiah Remaja, membiarkan ruang guru menjadi tempat bagi mereka yang ingin
tampil. Bukan karena ia tak ingin kompak, tapi karena ia tak ingin retak.
Madrasah itu tetap berjalan, program baru dijalankan.
Tapi cahaya Rahma tetap menyinari ruang-ruang kecil yang tak pernah tersentuh
spotlight. Ia bukan cahaya yang mencolok, tapi terlalu terang bagi hati yang
tak siap menerima kejujuran.
Dan mungkin itulah mengapa ia tidak pernah benar-benar
pergi. Karena cahaya perempuan petarung tak bisa dipadamkan hanya oleh
keputusan yang tergesa.
إرسال تعليق