Kurikulum Cinta: Revolusi Lembut dari Garut

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Wakil Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 150)

 

Di tengah dunia pendidikan yang makin kompleks, muncul angin segar dari Garut. Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, melontarkan gagasan menggugah dalam sebuah forum silaturahmi tokoh agama di Pondok Pesantren Al Musaddadiyah: “Kurikulum Cinta”. Sebuah frasa sederhana, tapi sarat makna dan sangat relevan dengan kondisi sosial keagamaan saat ini.

 

Acara yang berlangsung pada 16 Juli 2025 itu tidak sekadar seremoni. Di hadapan para ulama, kiai, dan pimpinan lembaga pendidikan Islam, Menag menyampaikan keresahan mendalam: pendidikan agama kita tidak boleh mengajarkan perbedaan yang berujung pada kebencian. Justru sebaliknya, ia harus menjadi kendaraan bagi cinta kasih, welas asih, dan perdamaian.

 

“Apa jadinya bangsa ini kalau anak-anak diajarkan membenci atas nama agama?” ujar Menag dengan nada retoris yang menggugah. Menurutnya, kurikulum agama harus bertransformasi, dari yang sekadar menyampaikan dogma menjadi ruang yang menyemai nilai kemanusiaan dan cinta universal.

 

Menariknya, Menag mengaitkan gagasannya ini langsung dengan inti dari Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa jika seluruh Al-Qur’an dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah cinta. “Bismillahirrahmanirrahim di dalamnya ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya berasal dari akar kata rahima, yang artinya cinta,” ucapnya.

 

Dengan dasar tersebut, Kementerian Agama mulai mengkaji serius penyusunan bahan ajar dan pelatihan guru yang berbasis nilai-nilai kasih sayang dan moderasi. Pendekatan ini bukan berarti melemahkan identitas keagamaan, tetapi justru memperkuat fondasi keberagaman Indonesia.

 

Kegiatan ini juga dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Bupati Garut H. Abdusy Syakur, Kepala BMBPSDM Prof. Ali Ramdhani, dan Plt. Kakanwil Kemenag Jabar H. Ali Abdul Latif. Mereka menyatakan dukungan penuh terhadap pendekatan baru ini. Garut bahkan digadang-gadang siap menjadi pilot project nasional untuk Kurikulum Cinta.

 

Dalam era di mana ujaran kebencian mudah menyebar lewat media sosial, Kurikulum Cinta menjadi oase. Ia bukan sekadar gagasan indah di atas kertas, tapi bisa menjadi alat transformasi sosial dari bawah dimulai dari madrasah, pondok pesantren, sampai sekolah-sekolah umum.

 

Pesan Menag menutup acara itu pun menyentuh dan membekas:

 

“Semakin dekat seseorang dengan agamanya, maka akan semakin damai hidupnya. Semakin jauh, semakin banyak pula kejahatan terjadi. Agama itu harus memeluk, bukan memukul.”

 

Kurikulum Cinta bukan hanya soal metode, tapi tentang misi: menjadikan agama sumber damai, bukan bara api. Dan dari Garut, cinta itu mulai tumbuh.

Post a Comment

أحدث أقدم