Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 150)
Pernah dengar kalimat ini?
“Kadang lebih baik diam, biar tidak
ikut ribut…”
Sepintas terdengar bijak. Kalimat
itu sering mampir di telinga, apalagi kalau sedang berada di tengah situasi
yang panas di kantor, organisasi, bahkan lingkungan pertemanan. Diam terasa
seperti strategi cerdas. Kita memilih mundur selangkah agar tidak terbakar,
tidak terseret konflik, dan tetap aman dalam bayang-bayang.
Tapi, apakah benar diam selalu
menjadi pilihan terbaik?
Pada awalnya, diam memang
menyelamatkan. Kita berpikir, lebih baik tidak bersuara daripada disalahpahami.
Lebih baik tidak terlibat daripada ikut diseret drama. Namun lama-lama, diam
itu menempel terlalu kuat. Bukan lagi sebagai tameng, tapi jadi identitas.
“Udah, nggak usah diajak, dia pasti
diam.”
“Dia mah nggak punya pendapat,
percuma.”
“Biasanya dia juga nggak respons.”
Dan di sanalah ironi itu tumbuh.
Kita yang awalnya memilih diam untuk
menjaga suasana, justru mulai kehilangan ruang. Suara kita tak lagi ditunggu.
Pendapat kita tak lagi dianggap. Kita menghilang perlahan bukan karena salah,
tapi karena tak bersuara.
Tanpa sadar, kita sedang membayar
harga mahal untuk "kedamaian". Kita kehilangan tempat dalam
percakapan. Kita tidak lagi menjadi bagian dari keputusan. Kita tidak lagi
diundang untuk berdiskusi.
Yang lebih menyakitkan, kadang orang
lupa kalau kita pernah ada.
Bukan karena mereka jahat. Tapi
karena terlalu sering kita bungkam diri sendiri. Terlalu sering menarik diri
dari meja pembicaraan. Terlalu sering berkata "nggak papa" padahal
dalam hati ingin bicara.
Padahal, semua orang punya hak untuk
bersuara. Punya hak untuk merasa penting. Termasuk kamu.
Jadi, kalau suatu hari kamu merasa
bahwa suara kamu tidak penting, coba tanya ke diri sendiri:
Apakah itu keputusan kamu sendiri...
Atau hasil dari terlalu sering
dibungkam?
Tidak semua konflik perlu dihindari
dengan diam. Kadang justru perubahan muncul dari keberanian untuk bicara. Bukan
bicara untuk menang, tapi untuk mengingatkan bahwa kamu ada. Bahwa kamu peduli.
Bahwa kamu layak didengar.
Diam memang bisa jadi pilihan. Tapi
jangan biarkan diam membuat orang lupa bahwa kamu pernah ada.
Jangan biarkan strategi perlindungan
diri berubah jadi penghapusan eksistensi.
Beranilah bicara, meski dengan suara yang gemetar.
Karena dunia tidak selalu butuh
suara paling lantang tapi suara yang jujur.
Tulisan ini hanyalah satir. Bukan untuk menyerang atau menyinggung pribadi.
Semua tokoh, pengalaman, dan emosi dalam tulisan ini adalah gambaran realitas
yang mungkin pernah kita alami bersama. Kalau kamu merasa relate, mungkin ini
saatnya belajar kembali untuk didengar mulai dari hal kecil, mulai dari
sekarang.
إرسال تعليق