Yuli Nurhati, M.Pd
Guru Bahasa Indonesia di MTsN 2 Garut
“Sebenarnya siapa
yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia
menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas
tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah
pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.
“Aku kira abang
tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang
tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian.
“Kau selalu
begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan
tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk
beberapa waktu.”
“Tapi mengapa?”
Rania menatap Bagas dengan bingung.
“Seperti yang kau
bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk
beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang
kebingungan.
Setelah Bagas
pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari
manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi
liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania
ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya.
Sudah hampir dua
tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi
dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.
***
Fairuz Rania
adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA
dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga.
Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di
sebuah SMA di daerah Majalengka.
“Nia, kau yakin
akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.
“Tentu saja.
Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti
kakak-kakakku.”
“Ambil saja Nia,
nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya
semangat.
Rania memang
ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau
teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya.
Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah
memiliki keluarga masing-masing.
Ketika lapor diri
ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata
memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah
itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat
itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.
“Ini yang namanya
Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia
berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.
“Iya, salam
kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.
“Semoga betah
ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.
Kepala sekolah
dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat
orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa
betah.
“Ibu senang
sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania
menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah
milik Bu Rasti.
“Memang biasanya
ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di
dahinya.
“Dulu biasanya
pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang
pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer
pemasaran di Bandung.
“Mungkin abang
sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.
“Sepertinya
begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.”
Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang
karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.
Rania tidak
menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang
karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan
menjawab pertanyaan mereka.
“Nia liburan ini
mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.
“Liburan ini
rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”
“Kita pergi
bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti
tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu
Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.
“Baiklah.” Rania
tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.
Rania tahu semua
orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian
mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang
menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan
Fariz.
Hubungan Rania
dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz
dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara
Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal
kedekatan Fariz dan Tasya.
Rania tak pernah
menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk
menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka
berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak
pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz.
***
“Nah ini
yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.
“Oh jadi ini yang
namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum
misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”
“Fairuz Rania.”
Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.
“Gantengan mana
sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di
samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.
Rania tidak
menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda.
Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah
bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.
“Tentu saja lebih
ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum
geli.
Hari itu adalah
pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan
Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin
tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia
menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.
“Nia, boleh kan aku
panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant.
Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut
remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan
selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah
beberapa kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi
belanja atau berlibur.
“Nia senang bisa
menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu.
Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”
“Memangnya kamu
tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan
semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar.
“Saat ini Nia
memang tidak punya pacar.”
Bagas tersenyum
mendengar jawaban Rania.
Sejak hari itu
mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan
mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi
liburan bersama papa dan ibu.
Awalnya Rania
agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman
dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan
abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan
panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.
“Sedang apa,
Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania.
Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering
memanggilnya dengan sebutan Non.
“Sedang mengolah
nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.
“Rajinnya calon
menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan
papanya.
“Nanti keburu ditagih
wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.
“Laporkan saja
pada papa.”
“Idih ngapain.
Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun
tertawa. “Oh ya, Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”
“Iya. Ibu sudah
cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya
Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung.
“Ya di rumah Teh
Dina seperti biasa.”
“Kenapa tidak di
tempatku saja.”
“Rumah abang
kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”
“Di kamar abang
lah. Biar abang tidur di sofa.”
“Mana bisa
begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”
“Harus ya ditambahin kata
atletis.” Bagas memicingkan matanya.
“Emang iya sih
badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau
numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”
“Iya makanya kita
harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah
menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.
“Memangnya abang
sudah yakin mau nikahin aku?”
“Lihat saja
nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil
memutuskan panggilan video.
Selama ini Bagas
tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania
berpikir bahwa Bagas mengganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang
tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai
menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania
bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri
bukan atas desakan orang tuanya.
***
Sabtu siang Bagas
mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang
dimaksud dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat.
“Toko perhiasan?”
Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini.
Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.
“Cincin mana yang
kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.
“Cincin?” Rania
mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania
memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia
jadi bingung sendiri.
Karena Rania
hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin
yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis
Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan
Rania.
“Saya pilih yang
ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.
“Mau langsung
dipakai, Pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.
“Iya.” Sahut Bagas.
“Ini maksudnya
apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.
“Ini tanda kalau
kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu
yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran.
“Akhirnya!” Ibu
tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus
melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu
menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.
“Ke Garut saja.
Ke rumah Teh Alma.”
Satu minggu
kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah
pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua
bulan kemudian.
Hubungan Bagas
dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin
mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya
dengan penuh kasih.
***
“Nia, kamu
baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya.
“Baik bu.
Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?”
Tawarnya.
“Ibu sudah minum
tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry.
“Nia, abang kok enggak kelihatan?”
Ibu larak-lirik mencari.
“Abang sudah
kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”
“Oh begitu ya.
Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.
“Rapatnya
mendadak.”
“Oh begitu. Ibu
kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan
ibu.”
“Enggak kok.”
“Nia kalau ada
masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada
apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”
“Iya bu, terima
kasih.”
Hari itu setelah
ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang
dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar
marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.
Sesibuk apapun jangan lupa
makan ya!
Nia minta maaf kalau buat
abang kecewa.
Nia sayang abang, dulu,
sekarang dan selamanya.
Rania mengirimkan
beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania
menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi
Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.
YN, 02062025
Posting Komentar