Iman Bukan Sebuah Warisan (22)

 

                                                Oleh Muhamad Nasir Pariusamahu, M.Pd.

Sekjen PGM Indonesia Maluku dan Kabid III Asosiasi Gerakan Literasi Pendidik (Agerlip) PGM Indonesia

“Iman tak dapat diwarisi. Dari seorang ayah yang bertaqwa. Ia tak dapat dijual-beli. Ia tiada di tepian pantai.”

[Lirik lagu Raihan]

Iman adalah inti dari keberagamaan seorang hamba. Iman tidak hanya sekadar diucapkan, tetapi harus diyakini, dipahami, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada paradigm yang menganggap bahwa iman secara otomatis akan diwariskan dari orang tua kepada anaknya, sebagaimana warisan harta benda atau kedudukan sosial. Namun, dalam kenyataannya, iman bukanlah sesuatu yang dapat diwariskan secara genetik atau sekadar melalui hubungan darah. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual yang harus ditempuh secara individu, dengan kesadaran penuh dan usaha yang berkelanjutan.

Iman dalam Islam berarti percaya dan meyakini dengan sepenuh hati terhadap enam rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, serta takdir baik dan buruk dari Allah. Keimanan ini bukan sekadar hasil dari pengaruh keluarga atau lingkungan, melainkan sebuah keyakinan yang harus tumbuh dari dalam diri seseorang.

Al-Qur'an menegaskan bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam hal keimanan. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." (QS. Al-Baqarah: 256). Ayat ini menegaskan bahwa iman adalah pilihan sadar, yang harus diambil oleh individu, bukan sesuatu yang dapat dipaksakan atau diwariskan begitu saja. Iman adalah mutiara yang mesti kita berusaha dengan sungguh-sunguh untuk meraihnya.

Kesalahan Persepsi tentang Iman sebagai Warisan

Sebagian mempersepsikan bahwa seseorang yang lahir dalam keluarga muslim menganggap pula mereka berasal dari keluarga beriman, otomatis mereka pun memiliki iman yang kuat. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena iman bukan hanya soal identitas, melainkan tentang keyakinan yang hidup dalam hati, dan dibuktikan dalam perbuatan. Jika iman tidak dipelihara dengan ilmu, ibadah, dan pengalaman spiritual, maka ia bisa menjadi sekadar formalitas tanpa makna yang mendalam.

Bukti nyata dari kesalahan anggapan ini bisa ditemukan dalam banyak kisah di dalam Al-Qur'an. Salah satu contoh paling terkenal adalah kisah Nabi Nuh dan anaknya. Nabi Nuh adalah seorang nabi yang saleh, tetapi putranya menolak untuk beriman dan akhirnya binasa dalam banjir besar. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan anak seorang nabi pun tidak secara otomatis mewarisi keimanan ayahnya. Sebaliknya, ada juga contoh orang-orang yang berasal dari lingkungan yang tidak beriman, tetapi mereka mampu menemukan jalan menuju iman dengan usaha dan hidayah dari Allah. Salah satu contohnya adalah sahabat Nabi, Salman Al-Farisi, yang berasal dari keluarga Majusi (penyembah api) di Persia, tetapi akhirnya menemukan kebenaran Islam setelah perjalanan panjang mencari kebenaran.

Sebab iman bukanlah sesuatu yang diwariskan, maka setiap individu harus melalui proses pencarian dan penguatan iman. Ia harus mencari ilmu, Ilmu adalah kunci utama dalam memperkuat iman. Rasulullah SAW bersabda "Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim) Ketika kita memahami ajaran Islam secara mendalam melalui belajar Al-Qur'an, hadits, dan ilmu keislaman lainnya, seseorang akan semakin yakin terhadap kebenaran iman yang dipeluknya.

Iman bukan hanya soal mengetahui, tetapi juga tentang meresapi dan mengamalkan. Tadabur terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, tafakur terhadap kebesaran Allah, dan refleksi terhadap kehidupan akan membantu seseorang memperkuat imannya. Lingkungan pergaulan kita (circle) pastikan bersama dengan orang-orang saleg. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap keimanan seseorang. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki iman kuat, seseorang akan lebih mudah mempertahankan dan meningkatkan keimanannya. Namun, kesempurnaan iman tak akan sempurna bila tidak diuji oleh Allah swt. Ujian adalah sarana untuk mengukur dan memperkokoh iman hambaNya.

Dampak Iman yang Sejati dalam Kehidupan

Ketika seseorang memiliki iman yang bukan sekadar warisan, tetapi benar-benar diyakini dan diperjuangkan, maka kehidupannya akan mencerminkan nilai-nilai iman tersebut.  Orang yang benar-benar beriman akan memiliki keteguhan hati dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Mereka tidak mudah goyah oleh godaan dunia atau pengaruh negatif dari lingkungan. Iman yang kokoh membawa ketenangan jiwa karena seseorang menyandarkan seluruh hidupnya kepada Allah. Mereka tidak mudah cemas atau takut menghadapi masa depan karena yakin bahwa segala sesuatu berada dalam kendali Allah.

Iman yang sejati akan mendorong seseorang untuk selalu berbuat baik dan menjauhi larangan Allah. Mereka akan merasa bertanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan dan menjadi teladan bagi orang lain. Orang yang beriman dengan sadar bahwa setiap amal perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hal ini membuatnya lebih berhati-hati dalam bertindak dan selalu berusaha menjalani hidup dengan penuh integritas.

Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap individu menyadari bahwa iman adalah sesuatu yang harus dipelihara dan dikembangkan. Kekuatan iman yang sejati, kita akan mampu menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan, ketenangan, dan keberanian dalam menghadapi segala ujian yang datang. InsyaAllah, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." (QS. Ar-Ra'd: 29)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama