Tinggal Kelas, Solusi Menjaga Mutu Pendidikan

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 218)



 

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan dihadapkan pada dilema besar: bagaimana menjaga kualitas pembelajaran di tengah semangat semua siswa harus naik kelas. Kebijakan ini memang lahir dari niat baik menghindari stigma, menjaga kepercayaan diri anak, dan menekan angka putus sekolah. Namun, di lapangan, muncul persoalan serius yang tidak bisa diabaikan. Banyak siswa melaju ke jenjang berikutnya tanpa benar-benar menguasai kompetensi dasar. Di sinilah wacana menghidupkan kembali sistem tinggal kelas menjadi relevan untuk dibicarakan secara jujur dan objektif.

 

 

Pertama, sistem tinggal kelas berperan penting dalam menjaga standar akademik. Pendidikan bukan sekadar proses administratif naik tingkat, melainkan proses penguasaan kompetensi. Membaca, menulis, dan berhitung adalah fondasi utama. Jika fondasi ini rapuh, maka materi yang lebih kompleks di kelas atas akan menjadi beban berat bagi siswa. Tinggal kelas bukan hukuman, melainkan pengakuan bahwa seorang anak membutuhkan waktu tambahan agar benar-benar siap melangkah.

 

 

Kedua, kebijakan ini mampu meningkatkan akuntabilitas dan motivasi belajar. Ketika siswa memahami bahwa ada konsekuensi nyata dari ketidakseriusan, tumbuh kesadaran untuk bertanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri. Selama ini, sebagian siswa terjebak pada pola pikir “pasti naik kelas”, apa pun hasil belajarnya. Sistem tinggal kelas mengembalikan makna usaha, disiplin, dan konsistensi sebagai bagian penting dari pendidikan karakter.

 

 

Ketiga, tinggal kelas justru membuka ruang remediasi yang lebih optimal. Satu tahun tambahan memungkinkan guru dan sekolah merancang pembelajaran yang lebih personal dan intensif. Tanpa tekanan materi baru, siswa dapat fokus menutup kesenjangan pengetahuan (gap knowledge) yang selama ini terabaikan. Ini jauh lebih manusiawi dibanding memaksakan siswa mengikuti kurikulum lanjutan yang belum siap mereka cerna.

 

 

Keempat, kebijakan ini berfungsi mencegah akumulasi masalah akademik. Fenomena siswa yang masih kesulitan membaca di jenjang SMP atau bahkan SMA adalah alarm keras bagi sistem pendidikan. Masalah dasar yang dibiarkan akan tumbuh menjadi persoalan besar di masa depan. Tinggal kelas menjadi “rem darurat” agar problem fundamental tidak terus terbawa dan semakin sulit diperbaiki.

 

 

Kelima, sistem tinggal kelas turut mendorong integritas penilaian. Guru didorong untuk menilai secara objektif dan profesional, bukan sekadar memenuhi target kelulusan. Sekolah pun ikut bertanggung jawab atas kualitas proses belajar, bukan hanya angka statistik kenaikan kelas. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan dapat kembali diperkuat.

 

 

Pada akhirnya, sistem tinggal kelas tidak boleh dipandang sebagai bentuk kegagalan siswa, guru, atau sekolah. Ia adalah mekanisme korektif demi menjaga mutu pendidikan dan masa depan anak-anak bangsa. Dengan pendampingan yang tepat, komunikasi yang sehat dengan orang tua, serta pendekatan yang empatik, tinggal kelas justru bisa menjadi jalan penyelamatan, bukan penghakiman. Pendidikan yang bermutu lahir dari keberanian menjaga standar, bukan dari kompromi tanpa batas.

 

Post a Comment

أحدث أقدم