Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 226)
“Bu, kenapa nilai saya kalah sama yang
nyontek?”
Kalimat sederhana itu terdengar
pelan, tapi menghantam nurani seorang guru. Bukan karena pertanyaannya sulit
dijawab, melainkan karena di dalamnya ada luka kecil bernama ketidakadilan.
Luka yang sering dirasakan murid jujur di tengah sistem yang kerap menuhankan
angka.
Di ruang kelas, angka
sering menjadi raja. Ia menentukan peringkat, pujian, bahkan rasa percaya diri.
Namun, tidak semua angka lahir dari proses yang jujur. Ada yang diperoleh dari
kerja keras, ada pula yang datang dari cara instan: menyontek, menyalin, atau
sekadar “beruntung” karena melihat jawaban teman.
Murid yang bertanya itu
tidak sedang iri. Ia sedang bingung. Ia belajar sungguh-sungguh, mengerjakan
soal dengan kemampuannya sendiri, lalu mendapati hasilnya kalah dari mereka
yang tidak jujur. Wajar bila hatinya bertanya, “Untuk apa jujur kalau hasilnya
begini?”
Guru pun menarik napas
panjang, lalu menjawab pelan namun tegas, “Nak, ingatlah bahwa siswa yang tidak
jujur hanya mendapat angka, tapi dia tidak mendapat nilai. Kejujuranmu
adalah nilai berharga yang tidak dimiliki orang tersebut.”
Jawaban itu mungkin tidak
langsung menyembuhkan kecewa. Namun, di situlah pendidikan sejati bekerja—bukan
sekadar memindahkan pengetahuan, tetapi menanamkan makna. Angka rapor hanyalah
simbol. Ia bisa naik, bisa turun, bisa diperbaiki. Tapi kejujuran adalah
karakter, dan karakter tidak bisa dipalsukan.
Murid yang jujur sedang
membangun fondasi hidupnya. Ia belajar bertanggung jawab, berani menerima
hasil, dan percaya pada proses. Sementara yang menyontek mungkin menang hari ini,
tetapi ia sedang kalah dalam pelajaran paling penting: integritas.
Dalam jangka panjang, dunia
tidak hanya menanyakan “berapa nilaimu?”, tetapi “siapa dirimu?”. Dunia
membutuhkan orang-orang yang bisa dipercaya, bukan sekadar pintar di atas
kertas. Kejujuran itulah yang kelak membuat seseorang dihormati, diandalkan,
dan dipercaya.
Tugas guru memang tidak
mudah. Di satu sisi harus menilai secara objektif, di sisi lain harus menjaga
agar murid tidak kehilangan iman pada keadilan. Maka, tugas kita bukan hanya
memberi soal dan skor, tetapi juga menegaskan bahwa nilai sejati tidak selalu
tercetak di rapor.
Curhatan murid itu
seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa pendidikan bukan perlombaan
angka semata, melainkan perjalanan membentuk manusia. Dan dalam perjalanan itu,
kejujuran mungkin tampak kalah sesaat, tetapi sesungguhnya ia selalu menang
dalam jangka panjang.
Seragam bu guru ada di
keranjang ya. Sebuah kalimat ringan di akhir hari, namun pesan kejujuran hari
itu tetap tersimpan rapi di hati murid jauh
lebih rapi dari seragam yang dilipat.

إرسال تعليق