Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Dalam tempo beberapa pekan, negeri ini kembali dipaksa
berduka karena banjir bandang menghantam Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera
Utara, lalu longsor menelan sejumlah desa, dan Gunung Semeru pun kembali
erupsi. Di berbagai wilayah muncul pula kabar bencana susulan. Semua terjadi
berlapis dan beruntun, seakan menjadi isyarat keras bahwa ada sesuatu yang
sangat tidak beres dalam cara kita memperlakukan bumi ini.
Di
banyak daerah Sumatera, banjir bukan hanya air yang meluap. Ia menyeret lumpur
tebal, batu besar, batang kayu berdiameter besar, bahkan potongan pohon yang
tak mungkin berasal dari ranting muda. Banyak desa seperti hilang dari peta,
rumah hanyut, jembatan runtuh, dan ladang lenyap disapu arus. Warga hanya bisa
menyelamatkan diri dengan apa pun yang tersisa termasuk seorang ibu yang
menjemput harapan terakhirnya dengan menjadikan batang pisang sebagai perahu
darurat untuk menyelamatkan anaknya.
Di
Aceh Tengah, akses terputus berhari-hari. Bantuan tertahan, hujan tak mereda,
listrik padam, anak-anak sakit, dan warga tidur berdesakan di tempat
pengungsian seadanya. Sementara di Jawa Timur, Semeru kembali memuntahkan
material vulkanik, memaksa warga yang belum reda traumanya untuk mengungsi
lagi, dan lagi. Dalam suasana genting seperti ini, firman Allah terdengar
sangat dekat dengan kenyataan:
“Tidak seorang pun mengetahui apa yang akan dikerjakannya
esok, dan tidak seorang pun mengetahui di bumi mana ia akan mati.”
(QS.
Luqman: 34)
Tetapi
pertanyaannya bukan hanya soal ketidaktahuan manusia terhadap takdir. Melainkan
pertanyaan yang jauh lebih tajam yaitu Apakah ini murni bencana
alam? Atau justru ada “pilihan-pilihan manusia” yang ikut memperparah semuanya?
Benarkah Tidak Ada Kerusakan Hutan?
Beberapa media telah mengonfirmasi kepada
aparat keamanan mengenai dugaan kerusakan hutan di wilayah bencana. Jawaban
sejumlah pihak keamanan adalah bahwa “Tidak tampak adanya kerusakan hutan yang
signifikan.”
Sebab fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, kayu
gelondongan besar terbawa arus, batang pohon patah berserakan, dan potongan
kayu yang tampak seperti hasil gergaji mesin muncul di antara lumpur dan batu.
Logika sederhana pun bekerja: jika hutan baik-baik saja, mengapa kayu sebesar
itu hadir di aliran banjir? Jika tidak ada aktivitas pembalakan, mengapa ada
potongan kayu bersih seperti bekas ditebang? Jika ekosistem tidak terganggu,
mengapa aliran air berubah menjadi amukan yang tak terbendung? Pertanyaan-pertanyaan
itu tidak dijawab secara tuntas, dan di situlah ironi terbesar dari tragedi ini
berdiri tegak. Indonesia ternyata masih gemar berdamai dengan ketidakjujuran
ekologisnya sendiri.
Kapitalisme yang Menggerogoti Hutan: Cuan Lebih
Penting dari Amanah
Inilah wajah kapitalisme paling telanjang, yang
menganggap hutan sebagai uang, bukan amanah, dan bumi sebagai komoditas, bukan
titipan Allah. Selama hutan dipandang sebagai “aset ekonomi” alih-alih “sistem
kehidupan,” kerusakan ekologis akan terus berjalan secara sistemik dan
tersembunyi. Alam tidak tiba-tiba mengamuk ia membalas lama setelah manusia
melupakan kejahatan ekologis yang bertahun-tahun dilakukan. Al-Qur’an telah
memperingatkan jauh sebelum konsep “krisis iklim” dikenal manusia, dengan
firman-Nya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah)
memperbaikinya.”
(QS.
Al-A’raf: 56)
Dan Allah menegaskan lagi:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia.”
(QS. Ar-Rum:
41)
Ayat-ayat ini bukan lagi sekadar teks normatif; dalam
konteks bencana yang kita saksikan, ia berubah menjadi indikator
sosial-ekologis, yang memperlihatkan hubungan antara perilaku manusia,
kerusakan alam, dan konsekuensi nyata yang menimpa masyarakat. Laporan bencana,
kayu gelondongan yang terbawa arus, longsoran, dan desa-desa yang hilang
menjadi bukti empiris bahwa peringatan Ilahi itu adalah refleksi atas realitas
sosial dan ekologis kita.
Akidah Amanah: Manusia Itu Penjaga, Bukan
Penguasa
Dalam perspektif etika Islam, manusia tidak memiliki hak absolut
atas alam. Bumi adalah amanah yang dititipkan, bukan properti yang dapat
diperlakukan sesuka hati. Alam merupakan āyāt kauniyyah, manifestasi
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan merusaknya sama saja dengan menodai
ayat-ayat-Nya. Akhlak ekologis Islam menuntut agar manusia:
·
menjunjung
keadilan antar generasi,
·
menjaga
keseimbangan ekosistem,
·
tidak
berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya,
·
menggunakan
alam sesuai prinsip maslahat.
Ketika bukit digunduli, sungai dipersempit, atau hutan ditebang
tanpa reboisasi, bencana yang mengikuti bukan sekadar “takdir,” melainkan
konsekuensi nyata dari perilaku manusia. Bencana alam sejatinya berbicara empat
hal penting:
1.
Kelemahan
manusia dan keterbatasan teknologi.
Meski ada drone, alat berat, atau bendungan, alam yang terganggu tetap bisa
menimbulkan kehancuran air bah dari bukit gundul menjadi bukti ketidakmampuan
manusia.
2.
Pilihan
masa lalu menagih harga.
Kerusakan ekologis adalah utang moral dan ekologis yang jatuh tempo pada
generasi sekarang, menuntut tanggung jawab kolektif.
3.
Kesadaran
akan kematian melembutkan hati.
Seperti ditulis Imam al-Ghazali, mengingat kematian memadamkan kesombongan,
menundukkan ego, dan mengembalikan fokus pada tujuan hidup yang sejati.
4.
Panggilan
untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dan alam.
Bencana menjadi dakwah tanpa mimbar dan teguran tanpa suara—pengingat bahwa
manusia harus kembali pada akhlak, amanah, dan kesadaran ekologis.
Kegagalan Regulasi dan Urgensi
Pendidikan Ekologis di Sekolah
Kita
memiliki undang-undang setebal ensiklopedia, tetapi pelaksanaannya sering
setipis kertas itu sendiri. Pengawasan lemah, Penegakan hukum selektif dan Kepentingan
ekonomi terlalu dominan. Bangga pada aturan, tetapi abai pada implementasi,
membuat kita hanya menjadi bangsa yang rajin membuat aturan tetapi malas
melaksanakannya. Undang-undang yang tidak
ditegakkan hanya menjadi hiasan lemari dan meja sidang bukan pelindung bumi.
Di
sisi lain, Selama generasi baru tidak dibekali kesadaran ekologis,
kerusakan lingkungan akan terus terulang. Pendidikan lingkungan harus masuk ke sekolah,
madrasah, pesantren, dan kurikulum nasional. Penguatan pendidikan ini mencakup memahamkan
bahwa merawat alam adalah ibadah, membentuk perilaku konservatif
sejak dini, membiasakan penghijauan dan konservasi air, mengenalkan risiko
bencana dan mitigasinya serta menumbuhkan kesadaran bahwa deforestasi dan
ekploitasi berlebihan adalah tindakan yang bertentangan dengan syariah. Generasi
inilah yang kelak memutus rantai keserakahan dan kebodohan ekologis.
Penutup: Saatnya Jujur Menatap Luka Bumi
Bencana
yang menghantam Aceh, Sumatera, Semeru, dan berbagai daerah bukan hanya tragedi
alam, tetapi refleksi moral kita sebagai bangsa. Sudah saatnya kita jujur bahwa
ada yang salah dalam cara kita memperlakukan bumi. Allah mengingatkan:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS.
Ar-Ra’d: 11)
Menjaga
bumi bukan sekadar urusan aktivis lingkungan. Ia adalah urusan iman, akhlak dan
generasi masa depan. Jika kita terus abai, jangan salahkan alam ketika ia
kembali berbicara dengan bahasa yang paling mematikan. Semoga musibah ini
menjadi titik balik, menjadi kesadaran kolektif, dan menjadi alasan untuk
berubah, bukan sekadar catatan duka.

Posting Komentar