Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 197)
Pagi itu, 1 November terasa
begitu cerah. Langit Bandung seolah ikut tersenyum, menyambut langkah-langkah
kecil menuju halaman SD Islam Al Azhar
36 Bandung. Di sanalah saya diundang sebagai narasumber Workshop
Menulis Kisah Inspiratif sebuah kegiatan sederhana
yang penuh makna dan kehangatan.
Sejak tiba di gerbang,
sambutan yang saya terima begitu hangat. Senyum ramah para guru, sapaan sopan
para siswa, dan kehadiran tim panitia yang penuh semangat membuat suasana
terasa bersahabat sejak awal. Di setiap ruang Al Azhar, ada aura cinta dan
ketulusan yang terasa begitu nyata.
Ketika acara dimulai, para
guru duduk dengan penuh antusias, pena di tangan dan cahaya di mata. Saya
mengajak mereka menulis bukan dengan aturan, tapi dengan perasaan. “Tulislah
kisah dari hati, bukan dari teori,” begitu saya katakan di awal sesi.
Karena saya percaya, tulisan yang paling menginspirasi lahir bukan dari kata
yang indah, tapi dari pengalaman yang jujur.
Dan benar saja, tak butuh
waktu lama sampai saya terharu membaca kisah-kisah yang mereka tulis. Ada yang
menulis tentang murid yang berubah karena nasihat sederhana, ada yang menulis
tentang perjuangan menjadi guru di masa pandemi, dan ada pula yang menulis
tentang makna ikhlas dalam mendidik. Semua kisah terasa hidup, tulus, dan
menyentuh.
Untuk memeriahkan suasana,
saya menantang peserta menulis kisah inspiratif tercepat dalam waktu singkat.
Tak disangka, dalam waktu hanya 1,5 jam, tiga
guru berhasil menulis dengan gaya yang mengalir dan ide yang kuat. Sebagai
bentuk apresiasi, saya memberikan hadiah
lima buku antologi karya saya tiga untuk para penulis cepat, satu untuk koordinator kegiatan, dan satu lagi
untuk Ibu Kepala Sekolah tercinta
yang begitu hangat menyambut saya.
Momen itu terasa istimewa.
Saat saya menyerahkan buku-buku tersebut, tepuk tangan peserta menggema di
ruang aula. Bukan karena hadiahnya, tapi karena maknanya: bahwa menulis bisa
menjadi jembatan cinta antara guru dan kehidupan.
Waktu berjalan cepat. Tak terasa,
kegiatan selesai tepat waktu, tanpa kendala sedikit pun. Alhamdulillah, semua
berjalan lancar dan penuh keberkahan. Di akhir sesi, kami berfoto bersama
dengan senyum yang tak dibuat-buat. Saya bisa merasakan getar kebahagiaan yang
tulus bahwa di balik setiap pena yang menari, ada jiwa-jiwa yang sedang tumbuh
menjadi inspirasi.
Sebelum pulang, saya
menatap halaman sekolah itu sekali lagi. Hati saya berbisik pelan: “Inilah
bukti bahwa guru bukan hanya pendidik, tapi juga penulis kehidupan.”
Saya pulang dengan hati yang penuh syukur. Semoga dari kegiatan kecil ini, akan
lahir lebih banyak guru yang berani menulis kisahnya sendiri kisah
tentang cinta, ketulusan, dan cahaya yang tak pernah padam.
Alhamdulillah, 1 November
bukan hanya tanggal kegiatan, tapi hari di mana saya belajar kembali, bahwa
menulis dari hati selalu membawa pulang berkah yang tak ternilai.

Posting Komentar