Oleh: Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Alumni SDN 1 Kebonpedes//Alumni Pondok Pesantren Terpadu Daaruttaqwa –
Integrated Boarding School Cibinong Bogor//Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta//Alumni
Pascasarjana STAI Sukabumi
Masih melekat
dalam ingatan masa-masa sekolah dasar, dari kelas 1 hingga kelas 6, tahun-tahun
ketika menulis halus, menyalin abjad, menghitung angka demi angka, hingga
menghafal pengetahuan sosial menjadi rutinitas harian. Bahkan sesi tanya jawab menjelang
pulang sekolah di mana siapa pun yang paling cepat menjawab boleh keluar lebih
dahulu kini menjadi kenangan yang hangat sekaligus menggelitik. ketika kelas 6,
lagu-lagu kebangsaan diajarkan dengan bimbingan teknik bernyanyi sederhana
seperti mengatur napas, menjaga intonasi, dan melafazkan lirik dengan jelas.
Latihan kecil itu ternyata menumbuhkan rasa cinta tanah air secara lembut namun
mengakar. Dari tidak memahami apa-apa hingga mulai menangkap banyak hal, semuanya
tumbuh dari kesabaran dan ketulusan para guru.
Kenangan di
luar kelas pun tak kalah hidup. Ada loncat tali, sondah, boy-boy-an dengan bola
kasti, hingga benteng-bentengan yang membuat halaman sekolah selalu riuh.
Memasuki jenjang SMP dan tinggal di boarding school, alur kehidupan berubah,
tapi justru membuat wawasan semakin luas. Di lingkungan pesantren Daaruttaqwa,
pembelajaran diramu dari perpaduan antara kurikulum tradisional, kurikulum
nasional, dan pendekatan pendidikan luar sekolah. Semua itu dipadukan dengan
visi pesantren: membentuk pribadi berpengetahuan, berbahasa internasional,
memiliki keterampilan, dan tetap berpegang pada nilai agama.
Belajar tidak
berhenti di ruang kelas. Ada latihan silat, Pramuka, muhadharah, pembiasaan
bahasa Arab dan Inggris secara intens, hingga kehadiran native speaker
yang membiasakan santri berbicara dengan alami. Ruang organisasi menjadi
laboratorium kepemimpinan: melalui OPPD (Organisasi Pelajar Pondok Pesantren
Daaruttaqwa), para santri belajar menyusun program, mengelola kegiatan, dan
menyiapkan laporan pertanggungjawaban secara matang dan tertib.
Saat memasuki
kelas 5setara dengan kelas 2 SMA tanggung jawab mulai meningkat secara
signifikan. Para santri dilatih mengelola hampir seluruh urusan pondok, mulai dari
bangun tidur hingga kembali beristirahat. Struktur organisasi yang lengkap nmulai
dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, hingga bagian keamanan,
kebersihan, kesehatan, bahasa, pengajaran, dan koperasi menjadi arena belajar
yang sangat nyata. Pada masa itu, penulis berkesempatan mengemban amanah
sebagai Sekretaris Gudep 3118, sebuah pengalaman yang mengajarkan manajemen
administratif, ketelitian, serta kepemimpinan yang tidak dapat diperoleh dalam
waktu singkat.
Perjalanan
berlanjut ke dunia perkuliahan, mulai dari strata 1 hingga strata 2. Ritme
pembelajaran berubah, namun nilai dasarnya tetap sama yaitu menghargai ilmu dan
pengampunya. Penjadwalan presentasi kelompok, diskusi kelas, berbagi hasil
bacaan, hingga menyusun kesepakatan bersama atas suatu pertanyaan akademik
menjadi dinamika yang memperkaya kemampuan berpikir. Dosen dengan gaya,
karakter, dan pendekatan yang berbeda menjadi cermin untuk memahami makna
kehidupan, kedisiplinan, ketekunan, serta keluasan berpikir. Forum diskusi
membuka kesempatan untuk menyampaikan pendapat secara bebas namun tetap
beretika; sedangkan tahap penelitian, sidang, dan presentasi akhir menjadi
pengalaman berharga yang membentuk ketegasan nalar, ketajaman logika, sekaligus
kerendahan hati. Semua proses itu menjadi bekal penting menghadapi berbagai
persoalan hidup, memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta, sekaligus
menumbuhkan etika dalam pergaulan dengan sesama dan para guru.
Guru
di Tengah Arus Zaman
Memasuki Hari
Guru Nasional 2025, perayaan ini terasa jauh dari sekadar seremoni. Ia menjadi
pengingat bahwa guru adalah fondasi peradaban. Di tengah perubahan teknologi,
kurikulum, dan dinamika sosial yang serba cepat, guru tetap menjadi kompas
nilai yang menjaga arah masa depan. Mereka tidak hanya menyampaikan ilmu,
tetapi membentuk karakter sebuah peran yang tidak dapat digantikan algoritma
maupun mesin.
Namun realitas
zaman menghadirkan tantangan baru. Rasa hormat sebagian siswa kepada gurunya
mulai menipis. Ruang digital sering membuat batas etika mengabur; apa yang dulu
dianggap tidak pantas kini tampak lumrah dan cenderung di normalisasi. Relasi
guru dan murid yang dulu berlapis adab kini kadang dipersepsikan setara tanpa
memahami konteksnya. Muncul budaya “berkomentar dulu, berpikir belakangan”,
atau “membantah sebelum mendengar”, seolah kritik tanpa etika adalah bentuk
keberanian. Fenomena ini menunjukkan perlunya mengembalikan budaya hormat
sebagai fondasi pendidikan yang sehat.
Menjaga marwah
guru bukan semata tugas sekolah, tetapi menjadi kewajiban negara, masyarakat,
orang tua, dan murid. Wibawa guru bukan hadiah, melainkan kultur yang harus
dirawat.
Analisis:
Menyatukan Jejak Pengalaman, Nilai, dan Tantangan
Dalam membaca
perjalanan pendidikan, terlihat bagaimana bahwa pengalaman pribadi, nilai-nilai
yang ditanamkan sejak kecil, serta tantangan sosial yang terus berkembang tidak
pernah berdiri sendiri. Ketiganya membentuk sebuah anyaman yang saling
menguatkan, saling menguji, dan pada saat yang sama menghadirkan pelajaran yang
mendalam. Melalui lensa reflektif inilah, tulisan ini mencoba memadukan
berbagai pengalaman dan pemahaman untuk melihat kembali bagaimana pendidikan khususnya
peran guru dan ekosistem sekolah menjadi fondasi pembentukan karakter sekaligus
benteng bagi masa depan generasi muda.
Jika dicermati
lebih jauh, pengalaman belajar di pesantren dan perguruan tinggi menghadirkan
model pendidikan yang sejatinya saling melengkapi. Pesantren menanamkan
kedisiplinan, ketahanan mental, kejujuran, serta prinsip adab sebelum ilmu yang
membentuk pondasi moral yang kokoh. Sementara itu, perguruan tinggi memperluas
cakrawala berpikir melalui dialog kritis, penelitian, dan penyusunan argumen
ilmiah. Kedua dunia pendidikan tersebut bertemu dalam satu titik yaitu
melahirkan manusia yang matang secara intelektual sekaligus bermartabat secara
moral.
Di era
teknologis saat ini, keseimbangan tersebut menjadi semakin penting. Peserta
didik tidak hanya membutuhkan penguasaan pengetahuan akademis, tetapi juga
kecakapan mengelola emosi, menjaga etika, serta mempertahankan integritas di
tengah derasnya arus budaya digital yang sering kali menggoyahkan batas nilai.
Maka, proses belajar ideal bukan sekadar transfer ilmu, melainkan dialog yang
memanusiakan ruang yang memberi tempat bagi nalar dan adab untuk tumbuh berdampingan.
Pengalaman
belajar menunjukkan bahwa ilmu berkembang melalui interaksi seperti percakapan
hangat antara guru dan murid, diskusi antar rekan, bimbingan bijak dari dosen,
hingga dinamika presentasi kelompok yang membangun keberanian dan kolaborasi. Semua
proses itu memperkaya sudut pandang dan memperhalus kepekaan sosial. Pada
akhirnya, pendidikan menjelma menjadi perjalanan menemukan diri, memperdalam
hubungan dengan Tuhan, serta memperluas kepedulian kepada sesama.
Penghormatan
Guru dalam Islam
Dalam tradisi
keilmuan Islam, posisi guru selalu ditempatkan pada derajat yang mulia. Para
ulama sejak dahulu menekankan bahwa ilmu tidak akan tumbuh tanpa penghormatan
kepada orang yang mengajarkannya. Prinsip ini bukan hanya bersumber dari
khazanah tradisi, tetapi memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an. Allah SWT
menegaskan kemuliaan orang-orang berilmu dalam firman-Nya:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini
menegaskan bahwa keberadaan orang berilmu termasuk para guru yang mengajarkan
ilmu, memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah. Kemuliaan itu lahir bukan
semata karena pengetahuan yang mereka miliki, tetapi karena tanggung jawab
besar dalam membimbing, mencerdaskan, dan menuntun manusia menuju jalan
kebenaran. Dengan demikian, penghormatan kepada guru bukan hanya tuntunan
moral, tetapi juga ajaran teologis yang menjadi bagian penting dari etika
pendidikan dalam Islam.
Penutup
Hari Guru
Nasional 2025 mengajak seluruh bangsa untuk tidak sekadar mengenang jasa para
guru, tetapi juga meneguhkan komitmen menjaga martabat mereka di tengah dunia
yang terus berubah. Guru adalah pelita yang tidak meminta balasan, namun terus
menerangi jalan banyak manusia. Merayakan mereka berarti memastikan cahaya itu
tetap menyala di sekolah, di masyarakat, dan dalam diri kita sendiri.
Pada akhirnya,
hanya ada satu kalimat yang terasa paling tulus untuk disampaikan: TERIMA
KASIH.
Terima kasih kepada para guru yang telah mengajarkan makna kesabaran,
membimbing dengan keteduhan, menegur dengan kasih, dan menuntun tanpa pamrih.
Terima kasih atas ilmu yang diberikan, atas adab yang diwariskan, dan atas
doa-doa yang disampaikan tanpa pernah diminta. Semoga segala kebaikan itu
kembali sebagai pahala yang tidak pernah putus.

Posting Komentar