Oleh: Dr. Aty
Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd
Ketua Umum PGM
Ind Wil. Jambi
Pengawas MA Kab.
Muaro Jambi
Ketua III Forkom
Ormas Jambi
1.
Pendahuluan
Kekerasan
di satuan pendidikan menjadi isu serius yang mengancam keselamatan dan masa
depan generasi muda. Peristiwa peledakan di SMAN 72 Jakarta pada Jumat,
7 November 2025, yang melukai puluhan siswa dan guru, menjadi bukti nyata bahwa
kekerasan dapat muncul bahkan di lingkungan pendidikan yang seharusnya aman dan
mendidik. Berdasarkan fenomena yang terjadi, pelaku merupakan siswa yang diduga
mengalami bullying dan tekanan sosial yang berkepanjangan.
Fenomena ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menciptakan sekolah yang
benar-benar ramah, aman, dan suportif terhadap seluruh warganya.
2.
Kekerasan di Satuan Pendidikan: Akar dan Dampaknya
Kekerasan di
sekolah dapat muncul dalam berbagai bentuk:
a.
Fisik
(pemukulan, perundungan, peledakan, ancaman senjata);
- Verbal dan
emosional (ejekan, hinaan, isolasi
sosial);
- Sosial dan digital
(cyberbullying, penyebaran kebencian melalui media sosial);
- Struktural
(ketidakadilan, diskriminasi, minimnya ruang aman bagi siswa).
Dampak kekerasan
di sekolah tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh seluruh
ekosistem pendidikan:
a.
Bagi siswa:
trauma, rasa takut, perilaku agresif, atau kecenderungan menarik diri.
- Bagi lingkungan
sekolah: hilangnya rasa aman,
turunnya motivasi belajar, dan rusaknya citra lembaga pendidikan.
- Bagi masyarakat
luas: menurunnya kepercayaan terhadap
sekolah sebagai lembaga pembentuk karakter.
3.
Analisis Berdasarkan Indikator Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA)
Konsep Satuan
Pendidikan Ramah Anak (SRA) menekankan pentingnya perlindungan,
partisipasi, dan kesejahteraan siswa dalam seluruh aspek kehidupan sekolah.
Berdasarkan Permen PPPA No. 8 Tahun 2014, terdapat beberapa indikator utama
yang jika diabaikan dapat memunculkan kekerasan di satuan Pendidikan, yaitu:
|
Indikator
SRA |
Kondisi
Ideal |
Potensi
Pelanggaran (di satuan Pendidikan) |
|
1.
Kebijakan anti kekerasan di sekolah |
Sekolah
memiliki aturan tegas dan prosedur pencegahan serta pelaporan kekerasan. |
Diduga
belum ada sistem pelaporan atau penanganan bullying yang efektif. |
|
2.
Lingkungan fisik dan psikologis yang aman |
Siswa
merasa diterima, bebas berekspresi, dan tidak takut. |
Pelaku
merasa terisolasi, ditekan, dan tidak memiliki tempat curhat. |
|
3.
Partisipasi siswa dalam pengambilan keputusan |
Siswa
dilibatkan dalam OSIS, forum aspirasi, atau kegiatan positif. |
Kurangnya
wadah dialog antara siswa dan pihak sekolah. |
|
4.
Dukungan guru dan tenaga kependidikan yang empatik |
Guru
memiliki pelatihan untuk mendeteksi gejala stres dan bullying. |
Minimnya
intervensi dini terhadap konflik antar siswa. |
|
5.
Keterlibatan orang tua dan masyarakat |
Ada
kerja sama dengan komite sekolah, psikolog, dan aparat setempat. |
Orang
tua tidak menyadari tekanan sosial yang dialami anaknya. |
Kegagalan
memenuhi indikator di atas berpotensi menciptakan lingkungan sekolah yang
berisiko terhadap kekerasan dan perilaku destruktif.
4.
Strategi Pencegahan Kekerasan di Sekolah
Untuk
menghindari terulangnya kasus serupa, sekolah perlu memperkuat sistem
perlindungan siswa melalui langkah strategis berikut:
a.
Penguatan Kebijakan Anti Kekerasan
Sekolah
wajib menyusun kode etik anti bullying dan sistem pelaporan
rahasia (confidential reporting system). Semua warga sekolah harus
memahami sanksi dan prosedur yang berlaku.
b.
Deteksi Dini dan Pendampingan Psikologis
Guru
BK, wali kelas, dan tenaga kependidikan perlu dilatih untuk mengenali
tanda-tanda depresi, tekanan, atau potensi tindakan ekstrem. Kolaborasi dengan
psikolog dan lembaga kesehatan mental sangat penting.
c.
Penguatan Budaya Positif Sekolah
Budaya
saling menghargai, kerja sama, dan kepedulian sosial perlu ditumbuhkan melalui
kegiatan student support group, peer counseling, dan circle
time discussion yang rutin.
d.
Kolaborasi Satuan Pendidikan dan Orang Tua
Sekolah
dan keluarga harus membangun komunikasi terbuka. Orang tua perlu dilibatkan
dalam kegiatan sosialisasi anti kekerasan dan pengawasan perilaku anak di rumah
maupun di dunia maya.
e.
Implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) secara Konsisten
Melalui
SRA, sekolah wajib menjamin keamanan fisik, psikis, sosial, dan spiritual
siswa. Sekolah harus menjadi tempat yang menumbuhkan empati, bukan menekan.
5.
Penutup
Peristiwa
di SMAN 72 Jakarta menjadi refleksi bahwa kekerasan di satuan pendidikan bukan
hanya tanggung jawab individu, tetapi merupakan kelemahan sistemik dalam
membangun budaya aman dan suportif. Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua
yang menumbuhkan rasa aman, kasih sayang, dan penghargaan. Melalui implementasi
yang kuat atas prinsip Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA), kekerasan di
sekolah dapat dicegah, dan pendidikan kembali pada hakikatnya - yaitu membentuk
manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
|
Bionarasi : Dr. Aty Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd. adalah seorang
pendidik yang berdedikasi dalam pengembangan pendidikan di madrasah. Sebagai
guru Biologi di MAN Insan Cendekia Jambi dan bertransformasi ke pendamping
madrasah, ia aktif membimbing guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Selain itu, ia juga merupakan aktivis organisasi profesional PGM IND, PPMN,
IGI, APSI, APMI, Forkom Ormas Jambi, yang berkontribusi dalam berbagai forum
pendidikan. Sebagai penulis, Dr. Aty telah menghasilkan berbagai karya di
bidang pendidikan dan manajemen pendidikan, yang menjadi referensi bagi
pendidik dan praktisi pendidikan di Indonesia. |


Posting Komentar