Mengapa Nilai TKA Nasional Bisa Rendah?

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 220)



Rilis terbaru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah tentang nilai rata-rata nasional Tes Kemampuan Akademik (TKA) SMA sontak membuat banyak orang terdiam. Bagaimana tidak, dari skala 0–100, nilai Bahasa Inggris hanya 24,93. Matematika berada di angka 36,10. Bahkan Bahasa Indonesia, yang selama ini dianggap paling “aman”, hanya mencapai 55,38. Angka-angka ini mengejutkan, sekaligus memantik satu pertanyaan besar: apa sebenarnya penyebab nilai TKA begitu rendah?

 

 

Pertama, kita perlu jujur bahwa TKA adalah wajah dari banyak persoalan pendidikan yang saling bertaut. Tes ini bukan sekadar soal benar dan salah, melainkan cermin dari proses belajar yang panjang. Ketika hasilnya rendah secara nasional, kecil kemungkinan penyebabnya hanya terletak pada kemampuan siswa semata.

 

 

Salah satu sorotan paling keras datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Kepala Bidang Advokasi Guru P2G menyampaikan bahwa dalam berbagai temuan dan wawancara bersama guru dan murid, banyak soal TKA yang tidak ada dalam kurikulum. Ini tentu problem serius. Bayangkan siswa belajar dengan peta A, tetapi diuji dengan peta B. Sehebat apa pun persiapan mereka, hasilnya pasti timpang.

 

 

Guru pun berada dalam posisi sulit. Mereka mengajar berdasarkan kurikulum resmi, buku teks, dan modul yang tersedia. Ketika soal ujian melenceng dari apa yang diajarkan, guru seolah disalahkan atas sesuatu yang berada di luar kendalinya. Di sinilah muncul rasa lelah kolektif: guru merasa tidak didengar, siswa merasa “dijebak”.

 

 

Penyebab berikutnya adalah kesenjangan kualitas pembelajaran antar daerah. Indonesia terlalu luas untuk diseragamkan begitu saja. Akses internet, fasilitas belajar, hingga jumlah dan beban guru sangat berbeda antara kota besar dan daerah terpencil. Soal TKA yang menuntut kemampuan analisis tinggi akan terasa sangat berat bagi siswa yang sejak awal belajar dengan sumber terbatas.

 

 

Bahasa Inggris menjadi contoh paling mencolok. Nilai rata-rata 24,93 menunjukkan bahwa mapel ini masih menjadi momok nasional. Banyak siswa mempelajari Bahasa Inggris sebatas hafalan kosakata dan tata bahasa, bukan sebagai alat komunikasi dan berpikir. Ketika soal menuntut pemahaman konteks dan penalaran, siswa pun tumbang.

 

 

Matematika pun tak jauh berbeda. Soal yang menekankan logika, pemecahan masalah, dan literasi numerasi sering kali tidak sejalan dengan praktik belajar yang masih berfokus pada rumus cepat dan latihan berulang. Akibatnya, siswa “kaget” saat berhadapan dengan soal yang terasa asing.

 

 

Rendahnya nilai TKA seharusnya tidak langsung direspons dengan menyalahkan siswa. Yang lebih penting adalah evaluasi menyeluruh: kesesuaian soal dengan kurikulum, kesiapan guru, kualitas pembelajaran, dan keadilan sistem asesmen. Desakan P2G patut didengar, bukan sebagai kritik semata, tetapi sebagai alarm bahwa ada yang perlu dibenahi.

 

 

Jika tidak, TKA hanya akan menjadi angka statistik yang melukai rasa percaya diri siswa dan guru. Padahal, tujuan utama pendidikan bukan sekadar menguji, melainkan menumbuhkan. Dan untuk menumbuhkan, kita harus memastikan bahwa apa yang diuji benar-benar berasal dari apa yang diajarkan.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama