Dari Mager ke Climber: Membimbing Anak Mengubah Malas Jadi Semangat dengan Cara Islami

 

Mengubah rasa malas menjadi motivasi lewat pendekatan psikologi, sosial, dan spiritual.

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faida

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

 

Siapa bilang anak yang suka rebahan itu gagal? Kadang mereka hanya sedang mencari makna dari setiap usaha yang mereka lakukan. Fenomena “mageran” bukan sekadar kebiasaan malas, tapi cermin dinamika psikologis, sosial, dan spiritual di era digital.

 

Saat “Malas” Jadi Jawaban Paling Jujur

Suatu sore, seorang kakak bertanya kepada adiknya:
“Kenapa kamu nggak ikut tampil di acara tadi?”
Anak itu menatap polos dan menjawab singkat, “Malas.”

Jawaban sederhana itu menohok sekaligus bikin kita berpikir: bagaimana mungkin anak menolak sesuatu yang bermanfaat dan sebetulnya disukai olehnya? Fenomena ini semakin sering terjadi. Banyak anak dan remaja lebih memilih rebahan sambil scroll TikTok, YouTube, atau main game daripada bergerak, belajar, atau membantu orang tua.

Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan, tapi cerminan bagaimana anak zaman sekarang memaknai tugas, motivasi, dan kenyamanan di tengah arus digital yang serba cepat.

 

Fenomena “Mager” dari Kacamata Psikologi Pendidikan

Menurut Nisa Felicia, Ph.D., dalam Perkembangan Peserta Didik, perilaku anak adalah hasil proses pertumbuhan. Rasa malas sering kali bukan tanda menolak belajar, tapi ekspresi kelelahan, bosan, atau kehilangan makna (Felicia 2023).

Beberapa faktor umum yang memicu perilaku “mageran”:

1.      Kurang motivasi intrinsik – Anak belum merasakan manfaat langsung dari tugas.

2.      Kurang kendali dan pilihan – Terus “disuruh” tanpa ruang memilih bisa memicu perlawanan halus.

3.      Tugas terlalu sulit atau monoton – Tantangan berat atau membosankan membuat anak kehilangan minat.

Gangguan fokus di era digital: Game, TikTok, dan YouTube bikin anak lebih betah rebahan daripada beraktivitas produktif.

 

Pengaruh Kapitalisme Digital: Perhatian Jadi Barang Dagangan

Hiburan online bukan sekadar seru-seruan, tapi bagian dari sistem ekonomi global. Setiap detik perhatian anak adalah “mata uang” bagi platform dan pengiklan. Algoritma dibuat agar pengguna terus tergoda scrolling tanpa henti, sehingga belajar atau membantu orang tua terasa membosankan.

Budaya instan ini menanamkan pola pikir: “hidup harus cepat, mudah, dan selalu menyenangkan.” Nilai perjuangan, kesabaran, dan konsistensi perlahan tergeser.

 

Refleksi dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, waktu dan perhatian adalah amanah. Allah mengingatkan:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan…”
(QS. Al-‘Asr: 1–3)

Islam menekankan keseimbangan: bekerja keras, menahan diri, dan memberi manfaat. Melawan rasa malas dan distraksi digital bukan sekadar disiplin, tapi bagian dari jihad an-nafs perjuangan melawan hawa nafsu diri.

 

Dari Quitter ke Climber: Psikologi dan Nilai Islami

Menurut Stoltz (2000) (Widyastuti 2015), manusia menghadapi tantangan dengan tiga tipe:

1.      Quitter – mudah menyerah, cepat bilang “nggak bisa”.

2.      Camper – mau berusaha tapi cepat puas.

3.      Climber – gigih, pantang menyerah, terus belajar.

Dalam pandangan Islam:

1)      Quitter belum memahami makna ikhtiar dan tawakal.

2)      Camper sudah berusaha tapi perlu dilatih sabar dan istiqamah.

3)      Climber mencerminkan mujahadah dan tawakal sejati serta berusaha keras sambil berserah diri pada Allah.

 

Dengan bimbingan sabar, lingkungan suportif, dan keteladanan nyata, anak bisa naik level dari Quitter → Camper → Climber.

 

Strategi Menghadapi Anak Mageran

§  Niat & Makna – Tunjukkan kalau setiap tindakan bisa jadi ibadah.

§  Jadi Teladan – Anak meniru apa yang kita lakukan, bukan cuma kata-kata.

§  Kasih Pilihan – Biar anak belajar tanggung jawab lewat keputusan sederhana.

§  Rutinitas Seru & Bermakna – Salat bareng, baca Al-Qur’an, atau kerja bakti keluarga.

§  Apresiasi & Doa – Pujian dan doa bikin semangat anak bertumbuh.

Mendidik Semangat, Bukan Sekadar Menghapus Malas

Rasa malas itu manusiawi. Tapi jika dibiarkan tanpa arah, bisa membuat anak kehilangan semangat dan tujuan. Tugas orang tua dan pendidik bukan sekadar berkata, “Ayo jangan malas!”, tapi menumbuhkan semangat dari dalam melalui kasih sayang, keteladanan, dan nilai spiritual.

Allah juga mengingatkan:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Anak akan bergerak jika mereka memahami kenapa dan untuk apa melakukan sesuatu. Dengan pendekatan psikologis, sosial, dan spiritual, generasi kuat akan lahir: beriman, berilmu, dan berani menghadapi tantangan hidup dengan hati yang teguh.

Anak mageran bukan anak gagal. Mereka sedang mencari makna dari usahanya. Tugas kita adalah menemani mereka menemukan makna itu agar setiap langkah kecil menuju kebaikan menjadi amal besar di sisi Allah. Sama seperti tanaman, mereka butuh disiram perhatian, disinari keteladanan, dan dijaga dengan doa.

Mendidik anak di zaman serba instan bukan sekadar membuat mereka rajin sesaat, tapi menumbuhkan makna dalam setiap langkahnya. Saat anak memahami bahwa usahanya bukan sekadar kewajiban, tapi bagian dari ibadah dan jalan menuju kebaikan, di situlah semangat sejati tumbuh dan lahirlah generasi Climber sejati.

#Ide dalam opini ini terinspirasi dari hasil diskusi bersama mahasiswa PGSD Universitas Terbuka tentang perkembangan peserta didik dan strategi menghadapi anak “mageran” di era digital.

 


Post a Comment

أحدث أقدم