Mengubah rasa malas menjadi motivasi lewat pendekatan psikologi,
sosial, dan spiritual.
Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faida
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan
Kota/Kab. Sukabumi
Siapa bilang anak yang suka rebahan
itu gagal? Kadang mereka hanya sedang mencari makna dari setiap usaha yang
mereka lakukan. Fenomena “mageran” bukan sekadar kebiasaan malas, tapi cermin
dinamika psikologis, sosial, dan spiritual di era digital.
Saat “Malas” Jadi Jawaban Paling Jujur
Suatu sore, seorang kakak bertanya
kepada adiknya:
“Kenapa kamu nggak ikut tampil di acara tadi?”
Anak itu menatap polos dan menjawab singkat, “Malas.”
Jawaban
sederhana itu menohok sekaligus bikin kita berpikir: bagaimana mungkin anak
menolak sesuatu yang bermanfaat dan sebetulnya disukai olehnya? Fenomena ini
semakin sering terjadi. Banyak anak dan remaja lebih memilih rebahan sambil scroll
TikTok, YouTube, atau main game daripada bergerak, belajar, atau membantu orang
tua.
Fenomena ini bukan sekadar
kebiasaan, tapi cerminan bagaimana anak zaman sekarang memaknai tugas,
motivasi, dan kenyamanan di tengah arus digital yang serba cepat.
Fenomena “Mager” dari Kacamata Psikologi Pendidikan
Menurut Nisa Felicia, Ph.D., dalam
Perkembangan Peserta Didik, perilaku anak adalah hasil proses pertumbuhan. Rasa
malas sering kali bukan tanda menolak belajar, tapi ekspresi kelelahan, bosan,
atau kehilangan makna
Beberapa faktor umum yang memicu
perilaku “mageran”:
1.
Kurang motivasi intrinsik – Anak belum merasakan manfaat langsung
dari tugas.
2.
Kurang kendali dan pilihan – Terus “disuruh” tanpa ruang memilih
bisa memicu perlawanan halus.
3.
Tugas terlalu sulit atau monoton – Tantangan berat atau membosankan
membuat anak kehilangan minat.
Gangguan fokus
di era digital: Game, TikTok, dan YouTube bikin anak lebih betah rebahan
daripada beraktivitas produktif.
Pengaruh
Kapitalisme Digital: Perhatian Jadi Barang Dagangan
Hiburan online bukan sekadar
seru-seruan, tapi bagian dari sistem ekonomi global. Setiap detik perhatian
anak adalah “mata uang” bagi platform dan pengiklan. Algoritma dibuat agar
pengguna terus tergoda scrolling tanpa henti, sehingga belajar atau membantu
orang tua terasa membosankan.
Budaya instan ini menanamkan pola
pikir: “hidup harus cepat, mudah, dan selalu menyenangkan.” Nilai perjuangan,
kesabaran, dan konsistensi perlahan tergeser.
Refleksi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, waktu dan perhatian
adalah amanah. Allah mengingatkan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan…”
(QS. Al-‘Asr: 1–3)
Islam menekankan keseimbangan:
bekerja keras, menahan diri, dan memberi manfaat. Melawan rasa malas dan
distraksi digital bukan sekadar disiplin, tapi bagian dari jihad an-nafs
perjuangan melawan hawa nafsu diri.
Dari Quitter ke Climber: Psikologi dan Nilai Islami
Menurut Stoltz (2000)
1.
Quitter – mudah menyerah, cepat bilang “nggak bisa”.
2.
Camper – mau berusaha tapi cepat puas.
3.
Climber – gigih, pantang menyerah, terus belajar.
Dalam pandangan Islam:
1)
Quitter belum memahami makna ikhtiar dan tawakal.
2)
Camper sudah berusaha tapi perlu dilatih sabar dan istiqamah.
3)
Climber mencerminkan mujahadah dan tawakal sejati serta berusaha
keras sambil berserah diri pada Allah.
Dengan bimbingan sabar, lingkungan suportif, dan keteladanan nyata,
anak bisa naik level dari Quitter → Camper → Climber.
Strategi Menghadapi Anak Mageran
§ Niat &
Makna – Tunjukkan kalau setiap tindakan bisa jadi ibadah.
§ Jadi Teladan –
Anak meniru apa yang kita lakukan, bukan cuma kata-kata.
§ Kasih Pilihan –
Biar anak belajar tanggung jawab lewat keputusan sederhana.
§ Rutinitas Seru
& Bermakna – Salat bareng, baca Al-Qur’an, atau kerja bakti keluarga.
§ Apresiasi &
Doa – Pujian dan doa bikin semangat anak bertumbuh.
Mendidik Semangat, Bukan Sekadar Menghapus Malas
Rasa malas itu
manusiawi. Tapi jika dibiarkan tanpa arah, bisa membuat anak kehilangan
semangat dan tujuan. Tugas orang tua dan pendidik bukan sekadar berkata, “Ayo
jangan malas!”, tapi menumbuhkan semangat dari dalam melalui kasih
sayang, keteladanan, dan nilai spiritual.
Allah juga
mengingatkan:
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Anak akan bergerak
jika mereka memahami kenapa dan untuk apa melakukan sesuatu. Dengan pendekatan
psikologis, sosial, dan spiritual, generasi kuat akan lahir: beriman, berilmu,
dan berani menghadapi tantangan hidup dengan hati yang teguh.
Anak mageran bukan anak gagal.
Mereka sedang mencari makna dari usahanya. Tugas kita adalah menemani mereka
menemukan makna itu agar setiap langkah kecil menuju kebaikan menjadi amal
besar di sisi Allah. Sama seperti tanaman, mereka butuh disiram perhatian,
disinari keteladanan, dan dijaga dengan doa.
Mendidik anak di zaman serba instan
bukan sekadar membuat mereka rajin sesaat, tapi menumbuhkan makna dalam setiap
langkahnya. Saat anak memahami bahwa usahanya bukan sekadar kewajiban, tapi
bagian dari ibadah dan jalan menuju kebaikan, di situlah semangat sejati tumbuh
dan lahirlah generasi Climber sejati.
#Ide dalam
opini ini terinspirasi dari hasil diskusi bersama mahasiswa PGSD Universitas
Terbuka tentang perkembangan peserta didik dan strategi menghadapi anak
“mageran” di era digital.

إرسال تعليق