Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi
Pernahkah terlintas di benak
kita, mengapa bencana terjadi?
Mengapa Allah mengizinkan hujan turun begitu deras hingga rumah-rumah hanyut,
gunung runtuh, dan manusia menangis di bawah langit yang sama?
Kita sering
terburu-buru mencari penjelasan. Ada yang bilang ini hukuman karena dosa
manusia. Ada yang berkata, “Itu teguran dari Tuhan.” Sebagian lain menyebutnya
sekadar fenomena alam. Tapi, apakah benar sesederhana itu?
Dalam pandangan
Islam, setiap musibah sekecil apa pun tidak pernah datang tanpa makna.
Ia selalu membawa pesan. Kadang pesan itu tentang kesabaran, kadang tentang
empati, dan kadang, tentang bagaimana kita memperlakukan sesama manusia.
Ulama yang Mengajarkan Hikmah di
Balik Bencana
Ada satu
nama besar dalam khazanah Islam yang pandangannya begitu mendalam tentang
musibah Izzuddin bin Abdissalam. Beliau
hidup di Damaskus (Suriah) pada abad ke-7 Hijriah (1181–1262 M). Seorang ulama,
hakim, dan ahli fikih mazhab Syafi‘i yang dikenal dengan julukan Sultanul Ulama atau Raja Para Ulama.
Julukan itu bukan tanpa alasan. Beliau dikenal tidak hanya karena keluasan
ilmunya, tetapi juga keberaniannya menegur penguasa ketika kebenaran terinjak.
Dalam salah
satu karyanya, yang kemudian dikutip oleh cendekiawan muda Muhamad Rofiq Muzakkir, Izzuddin bin Abdissalam
menuliskan bahwa ada setidaknya tujuh belas hikmah
yang bisa dipetik dari bencana alam
Baginya,
musibah bukan hanya ujian. Ia bisa menjadi peringatan,
penghapus dosa, jalan menuju rahmat, bahkan bentuk kasih sayang Allah
kepada hamba-hamba-Nya. Kadang Allah menegur bukan karena murka, tetapi karena
cinta seperti seorang guru yang menegur muridnya agar kembali ke jalan yang
benar.
Lebih dari Sekadar Iman dan Islam
Jika
direnungkan, sering kali ketika musibah datang, kita sibuk berbicara soal iman
dan Islam namun lupa satu hal penting yaitu ihsan.
Padahal, tiga hal ini iman, Islam, dan ihsan adalah fondasi kehidupan seorang
Muslim yang seharusnya berjalan beriringan.
1. Iman menumbuhkan
keyakinan bahwa semua terjadi atas kehendak Allah.
2. Islam mengajarkan
kepatuhan dan mendorong kita berbuat baik kepada sesama.
3. Ihsan mengajarkan
kepekaan hati, berbuat seolah-olah melihat Allah, dan yakin bahwa Allah selalu
melihat kita.
Namun di
tengah kehidupan modern yang serba cepat, banyak yang kehilangan sentuhan
ihsan. Kita lebih cepat menilai daripada memahami. Ketika melihat bencana di
layar, jari kita lebih dahulu mengetik komentar ketimbang menengadahkan tangan
untuk berdoa.
Padahal,
musibah bukan saat untuk mencari siapa yang salah, melainkan saat untuk
bertanya: “Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu?”
Saat Cisolok Menangis
Beberapa
waktu lalu, Cisolok, Sukabumi, kembali
diterpa banjir bandang dan longsor. Rumah-rumah hanyut, sekolah-sekolah rusak,
dan anak-anak kehilangan tawa masa kecilnya
Bayangkan,
di usia di mana mereka seharusnya bermain dan belajar, mereka justru harus
berjuang memahami kehilangan. Di tengah lumpur dan reruntuhan, mereka
membutuhkan bukan hanya bantuan materi, tetapi juga pendampingan dan kasih sayang.
Kegiatan
seperti trauma healing, menggambar, bercerita, atau sekadar bermain bersama
relawan dapat memberi makna besar. Itu bukan hanya hiburan, tetapi cara
mengembalikan rasa aman dan harapan.
Dan di sinilah peran kita diuji.
Apakah kita hanya akan menonton dari jauh dan berkata, “Kasihan ya,” ataukah
kita mau mengambil bagian sekecil apa pun untuk meringankan luka mereka?
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan empati mereka ibarat satu
tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini seolah mengingatkan:
jika kita tidak lagi ikut merasa ketika saudara kita menderita, mungkin yang
sedang sakit bukan tubuh mereka — melainkan hati kita sendiri.
Musibah yang Menghidupkan Nurani
Musibah
sejatinya adalah panggilan untuk kembali pada kemanusiaan. Ia mengajarkan bahwa
iman bukan hanya di kepala, tetapi juga di tangan dan hati. Iman
yang sejati mendorong kita untuk bergerak menolong, berempati, dan berdoa bagi
sesama.
Allah
berfirman dalam surah Al-Ma’idah ayat 2:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Ayat ini sederhana, tetapi sarat
makna. Karena sejatinya, tolong-menolong bukan
sekadar tindakan sosial, melainkan bentuk ibadah.
Musibah pun bukan hanya ujian bagi mereka yang terdampak langsung, tetapi juga
ujian bagi kita yang masih diberi kelapangan.
Apakah hati
kita masih hidup?
Apakah kita masih mampu merasakan sakit yang dirasakan orang lain?
Kembali Menjadi Manusia
Musibah tidak selalu datang untuk
menghukum. Kadang ia datang untuk menyentuh hati yang mulai mengeras, atau
membangunkan nurani yang tertidur. Menjadi manusia yang beriman bukan hanya
tentang menunduk dalam doa, tapi juga tentang hadir dengan kasih sayang dan
tindakan nyata. Karena pada akhirnya, iman tanpa empati hanyalah kata, dan
ihsan tanpa aksi hanyalah wacana.
Bukankah
kita ingin hidup bermanfaat untuk orang lain?

إرسال تعليق