Sebuah Ulasan: Tentang Apa, Bagaimana, Dan Mengapa Guru Suliit Berubah Mindset Untuk Menerima Perubahan Kurikulum,

 

Oleh: Dr. Aty Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd

Ketua Umum PGM Ind Wil. Jambi

Pengawas MA Kab. Muaro Jambi

Ketua III Forkom Ormas Jambi

 

Berikut ini adalah hasil pemikiran atau ulasan dan analisis kritis tentang kemungkinan penyebab utama,  dukungan dari kajian/ulasan terbaru (periode ~2015–2025) yang sistematis dan studi empiris internasional serta penelitian terkait implementasi kurikulum merdeka di indonesia yang diasumsikan dapat mendukung tiap poin.

1) Apa yang dimaksud "sulit menerima perubahan kurikulum"

Secara ringkas: ini berarti guru menunjukkan resistensi (aktif atau pasif) terhadap kebijakan kurikulum baru sehingga pelaksanaan di kelas tidak selaras dengan niatan pembuat kebijakan sehingga bisa berupa kepatuhan kosmetik/kamuflase, penundaan, penolakan terbuka, atau sekadar “melakukan seperti biasa” meskipun kurikulum berubah. Fenomena ini tercatat berulang dalam literatur perubahan pendidikan.

2) Bagaimana (manifestasinya) / tanda-tanda praktik di lapangan?

a.        Strategic compliance: guru tampak mengikuti prosedur baru di dokumen tetapi praktik pembelajaran tetap tradisional.

  1. Penundaan / partial adoption: hanya sebagian aspek kurikulum yang diadopsi (mis. silabus tapi bukan metode).
  2. Penolakan aktif atau pasif: protes, atau sikap “diam-diam tidak melaksanakan”.
  3. Penurunan fidelity: implementasi tidak sesuai pedoman pembuat kurikulum (kurang kesesuaian, kurang penggunaan sumber/penilaian baru).
    Contoh konkret tercatat dalam studi implementasi kurikulum dan kajian literatur.

3) Mengapa guru sulit menerima perubahan — penyebab utama (dengan bukti kajian 2015–2025)

Berikut faktor penyebab yang paling konsisten muncul di banyak studi, disusun dari yang sering dilaporkan hingga yang juga penting:

A. Keyakinan profesi & identitas profesional (beliefs & teacher identity)

Banyak guru memiliki keyakinan, kebiasaan pedagogis, dan definisi “guru baik” yang terbentuk selama bertahun-tahun. Perubahan yang menuntut metode berbeda (mis. pembelajaran proyek, asesmen autentik) dapat terasa sebagai ancaman terhadap identitas profesional dan otoritas guru — sehingga muncul resistensi. Literatur internasional menekankan aspek “cost to one’s identity” sebagai pendorong kuat resistensi.

B. Kurangnya pelatihan (professional development) yang relevan dan berkelanjutan

Banyak penelitian menegaskan bahwa sosialisasi dan pelatihan satu kali tidak cukup. Guru butuh pelatihan berkelanjutan, mentoring, dan model praktik untuk mengubah kebiasaan. Tanpa itu, guru merasa tidak kompeten dan kembali ke praktik lama. Kajian sistematis menunjukkan PD (Pelatihan / workshop) kurikulum baru. Berupa Coaching dan mentoring oleh pengawas atau guru inti, Komunitas belajar guru (PLC/MGMP),Lesson study atau peer observation, Kursus daring atau sertifikasi kompetensi dan kolaborasi sejawat sebagai faktor penentu keberhasilan perubahan.

C. Beban kerja & keterbatasan waktu

Implementasi kurikulum baru seringkali menambah beban perencanaan, asesmen, dan administrasi. Jika waktu kelas, perencanaan, atau jam pelatihan tidak disediakan, guru cenderung menolak atau mengurangi penerapan perubahan. Studi global dan kajian implementasi melaporkan kurangnya waktu sebagai hambatan paling konsisten.

D. Keterbatasan sumber daya & infrastruktur

Kurangnya bahan ajar, fasilitas, teknologi, atau dukungan sekolah (mis. laboratorium, koneksi internet, ruang kelas) membuat inovasi sulit diterapkan, terutama di wilayah terpencil. Studi tentang implementasi Kurikulum Merdeka di Indonesia juga menemukan isu fasilitas dan dukungan lokal sebagai hambatan.

E. Kepemimpinan sekolah & dukungan institusional yang lemah

Kepemimpinan (kepala sekolah, pengawas) yang tidak mengarahkan, tidak menyediakan bimbingan, atau tidak memfasilitasi kolaborasi guru membuat perubahan terhambat. Kajian menyebut koordinasi, coherence, dan leadership sebagai kunci sukses perubahan.

F. Ketidakselarasan penilaian & sistem akuntabilitas

Jika sistem penilaian nasional/ujian masih menuntut output berbasis penghafalan atau format lama, guru fokus mempersiapkan siswa untuk ujian, bukan mengimplementasikan metode baru yang kurikulum inginkan. Banyak studi menemukan bahwa ketidaksesuaian antara tujuan kurikulum dan mekanisme evaluasi menurunkan motivasi guru untuk berubah.

G. Politik kebijakan, frekuensi perubahan, dan inkonsistensi kebijakan

Perubahan kurikulum yang sering atau perubahan kebijakan yang tidak stabil membuat guru “jenuh” dan skeptis,  mereka merasa setiap siklus harus belajar ulang. Hal ini terlihat di beberapa negara (termasuk diskusi mengenai Kurikulum di Indonesia).

4) Dampak gabungan - kenapa penting ditangani

Jika penyebab di atas tidak diatasi, hasilnya: implementasi parsial, ketidakadilan layanan pendidikan (sekolah kaya vs miskin), dan tujuan kurikulum tidak tercapai (mis. kompetensi abad 21). Kajian menunjukkan perubahan yang sukses memerlukan paket strategi: PD, kepemimpinan, sumber daya, dan penataan akuntabilitas.

5) Bukti dari konteks Indonesia (ringkas)

Studi dan artikel 2020–2024 tentang Kurikulum Merdeka menunjukkan pola serupa: guru mendukung ide (beberapa studi), tetapi implementasi terhambat oleh pelatihan yang belum memadai, fasilitas yang terbatas, dan kesiapan institusional yang bervariasi antar daerah. Penelitian pada madrasah/guru PAI juga melaporkan rendahnya sosialisasi dan motivasi sebagai penghambat.

6) Rekomendasi ringkas berdasarkan kajian (apa yang efektif menurut penelitian)

1.       Pelatihan berkelanjutan + coaching di tempat kerja (bukan sosialisasi sekali waktu).

  1. Kepemimpinan aktif kepala sekolah dan jadwalkan kolaborasi guru (PLC) untuk berbagi praktik.
  2. Ketersediaan sumber daya dasar (bahan ajar, teknologi, waktu perencanaan).
  3. Penyesuaian sistem penilaian agar sejalan dengan tujuan kurikulum sehingga guru melihat manfaat langsung.
  4. Pendekatan partisipatif dalam sosialisasi kebijakan-melibatkan guru sejak perencanaan untuk meningkatkan ownership.

Bionarasi : Dr. Aty Mulyani, S.Ag., S.Pd., M.Pd. adalah seorang pendidik yang berdedikasi dalam pengembangan pendidikan di madrasah. Sebagai guru Biologi di MAN Insan Cendekia Jambi dan bertransformasi ke pendamping madrasah, ia aktif membimbing guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu, ia juga merupakan aktivis organisasi profesional PGM IND, PPMN, IGI, APSI, APMI, Forkom Ormas Jambi, yang berkontribusi dalam berbagai forum pendidikan. Sebagai penulis, Dr. Aty telah menghasilkan berbagai karya di bidang pendidikan dan manajemen pendidikan, yang menjadi referensi bagi pendidik dan praktisi pendidikan di Indonesia.

 

Post a Comment

أحدث أقدم