Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah 
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan
Kota/Kab. Sukabumi
Dalam
sesi akhir diskusi perkuliahan, seorang mahasiswi berbagi pengalaman yang
menarik sekaligus menggugah nurani pendidik. Saat mengajar di kelas 5 sekolah
dasar, beberapa siswi kedapatan membicarakan soal “percintaan.” dan ada juga
yang bercanda manis dengan teman laki-laki maupun perempuan di kelas. Fenomena
ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana sebaiknya guru atau orang tua
menghadapi anak-anak yang mulai bicara soal perasaan dan rasa suka ini?
Terkadang, anak mencurahkan
perasaan dengan kalimat polos seperti, “Bu, aku suka sama temanku,” atau “Aku
suka sama kakak kelasku.” Fenomena ini menimbulkan dua pertanyaan penting untuk
direnungkan: apakah wajar bila anak SD mulai bicara soal rasa suka? Dan
bagaimana sebaiknya orang tua atau guru menanggapi perasaan anak dengan bijak
dan penuh kasih? Alih-alih merasa kaget, tersenyum canggung, atau buru-buru
menegur, momen seperti ini justru dapat menjadi kesempatan berharga untuk:
1)    
Mendengarkan
anak dengan sepenuh hati
2)    
Membimbing
mereka memahami perasaan sendiri
3)    
Menanamkan
nilai sopan santun, empati, dan tanggung jawab sejak dini
Dengan
begitu, rasa “suka” yang muncul pada anak bukan menjadi sumber kebingungan,
melainkan bagian dari proses belajar mengenal diri dan orang lain secara sehat.
Bagi
sebagian orang dewasa, percakapan semacam ini mungkin terdengar lucu, remeh,
atau bahkan terasa tabu. Namun bagi pendidik, fenomena ini menjadi bahan
refleksi penting: mengapa anak-anak SD kini sudah mulai bicara soal cinta? Dan
bagaimana guru serta orang tua menanggapinya?
Perubahan
Zaman dan Realitas Sosial
Anak-anak masa kini tumbuh di dunia digital
yang sangat terbuka. Media sosial, TikTok, drama, dan konten hiburan membuat
mereka lebih cepat terpapar gambaran hubungan laki-laki dan perempuan. Hal-hal
yang dulu baru dipahami remaja SMA kini sudah menjadi topik sehari-hari bagi
siswa SD. Fenomena ini bukan sekadar “gaya-gayaan,” tetapi cerminan perubahan
sosial dan budaya. Anak belajar tidak hanya dari guru dan orang tua, tetapi
juga dari layar di genggaman mereka. Oleh karena itu, pendekatan yang bijak
bukan menakuti atau menertawakan, melainkan memahami dan mendampingi.
Perspektif
Psikologi: Wajar Saja
Menurut psikologi perkembangan,
ketertarikan terhadap lawan jenis pada usia sekitar 10–11 tahun untuk perempuan
dan 11–12 tahun untuk laki-laki merupakan hal yang normal 
1)    
Mengenal
perasaan dan emosi
2)    
Mencari
identitas diri
3)    
Berusaha
diterima teman sebaya
Tanpa pendampingan yang tepat,
fase ini dapat membuat anak mudah terbawa perasaan, terlalu fokus pada lawan
jenis, atau meniru gaya hubungan orang dewasa dari media sosial. Namun, jika
diarahkan dengan bijak, rasa kagum ini dapat menjadi energi positif untuk:
1)    
Belajar
empati
2)     Menumbuhkan tanggung jawab
3)    
Menghargai
orang lain 
Dengan
demikian, perasaan “suka” bukanlah sesuatu yang salah, tetapi perlu dibimbing
agar tumbuh sehat dan sesuai nilai moral serta agama.
Perspektif
Islam: Fitrah Anak dan Perasaan Terhadap Lawan Jenis
Dalam Islam, ketertarikan terhadap lawan
jenis merupakan bagian dari fitrah manusia. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat
ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan agar saling mengenal. Anak yang mulai
merasakan “suka” pada teman atau lawan jenis sebenarnya sedang menjalani fitrah
ini. 
Tugas guru dan orang tua adalah
membimbing fitrah ini ke arah yang sehat, sesuai nilai moral dan agama:
§  Bimbingan sejak dini: Menanamkan nilai agama,
adab, aurat, dan sopan santun
§  Menjaga batas pergaulan (ikhtilath):
Menghindari campur baur berlebihan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram
§  Menjaga pandangan: Mengajarkan anak
menundukkan mata dan menjaga hati dari hal-hal yang bisa menjerumuskan
Dengan
cara ini, anak belajar bahwa rasa suka itu wajar, asal diarahkan dengan bijak
dan sesuai ridha Allah SWT.
Beberapa anak usia SD sudah mulai
merasakan ketertarikan atau jatuh cinta. Agar hal ini tidak salah arah, orang
tua dan guru dapat menghadapinya dan menerapkan langkah-langkah berikut 
1)    
Ajak bicara
tentang perasaannya – Berbicara santai agar anak mau berbagi, tanpa menolak
atau memarahi
2)    
Tetap tenang
– Reaksi berlebihan justru membuat anak takut bercerita
3)    
Berikan
pengertian tentang cinta – Jelaskan cinta sesuai usia, termasuk rasa sayang
pada teman, keluarga, dan lingkungan
4)    
Hindari
menghakimi atau menggoda – Jadilah pendengar yang tulus
5)    
Menjadi
teman curhat yang baik – Agar anak nyaman bercerita kapan saja
6)    
Alihkan
perhatian ke kegiatan positif – Misalnya membaca, berkarya, berolahraga, atau
mengikuti kegiatan sosial
7)    
Edukasi seks
sesuai usia – Berikan pemahaman ringan namun jelas tentang tubuh dan batasan
diri
8)    
Bersikap
bijaksana – Mengendalikan emosi agar anak merasa aman saat belajar mengenal
perasaannya
9)    
Menetapkan
batasan – Tetapkan aturan melalui dialog agar anak memahami batasan yang sehat
Dengan pendekatan ini, anak belajar bahwa
jatuh cinta itu wajar, tetapi cara engekspresikannya harus sehat dan sesuai
nilai moral, agama, serta norma sosial.
Refleksi
Pendidik dan Orang Tua
Zaman boleh berubah, tetapi nilai dan adab
tetap harus dijaga. Anak-anak saat ini mungkin lebih cepat mengetahui hal-hal
tertentu, tetapi belum tentu memahaminya secara utuh. Di sinilah peran guru dan
orang tua menjadi penting. Guru bukan hanya pengajar akademik, tetapi juga
pembimbing jiwa dan karakter. Orang tua bukan sekadar penyedia kebutuhan,
tetapi penuntun moral dan teladan kasih sayang di rumah.
Dengan
komunikasi terbuka, keteladanan, dan bimbingan berlandaskan nilai Islam,
anak-anak akan belajar bahwa rasa suka bukanlah hal yang salah, asalkan dijaga
dan diarahkan sesuai jalan yang diridhai Allah SWT.
Mari
bersama-sama belajar mendengarkan anak bukan untuk menilai, tetapi untuk
memahami. Dengan mendengarkan, kita tidak hanya menjaga hati mereka, tetapi
juga menumbuhkan jembatan kepercayaan antara generasi.
“Guru
dan orang tua berperan sebagai pendengar dan pembimbing. Dengan kesabaran dan
perhatian, mereka dapat membantu anak memahami perasaan dan menyalurkan rasa
suka secara sehat.”

Posting Komentar