Aksi Damai Guru Madrasah: Suara yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

 

Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

Guru SKI MTsN 2 Garut

Duta Literasi Kabupaten Garut

Kabid Humas AGERLIP PGM Indonesia

(Naskah ke 187)



Tanggal 1 Oktober 2025 akan menjadi catatan penting dalam sejarah perjuangan guru madrasah di Indonesia. Pada hari itu, ribuan guru honorer yang tergabung dalam Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Indonesia bersepakat menggelar aksi damai serentak di berbagai daerah. Bukan sekadar unjuk rasa, gerakan ini adalah ikhtiar kolektif untuk menyampaikan keresahan, harapan, sekaligus tuntutan yang sudah lama diperjuangkan.

 

 

Selama bertahun-tahun, guru madrasah honorer menghadapi realitas yang berat. Mereka mengabdi dengan penuh dedikasi, mendidik generasi bangsa dari pelosok hingga perkotaan, namun kerap terpinggirkan dalam hal kesejahteraan. Banyak di antara mereka yang menerima gaji jauh di bawah standar upah layak. Padahal, tanggung jawab dan beban kerja tidak berbeda dengan guru ASN di sekolah umum. Rasa ketidakadilan inilah yang kemudian melahirkan gelombang aspirasi besar melalui aksi damai ini.

 

 

PGM Indonesia menegaskan bahwa aksi 1 Oktober 2025 bukan hanya wujud protes, tetapi juga ruang silaturahmi sekaligus audiensi. Para guru mendatangi kantor gubernur, bupati, walikota, hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota untuk menyerahkan tuntutan. Harapannya, suara mereka dapat diteruskan ke pemerintah pusat: Presiden RI, DPR RI, hingga kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian PANRB, dan Kementerian Agama.

 

 

Tuntutan yang dibawa PGM sangat jelas dan menyentuh kebutuhan mendasar. Mulai dari kenaikan tunjangan insentif, pembukaan formasi PPPK bagi guru madrasah swasta, pengangkatan langsung bagi mereka yang telah puluhan tahun mengabdi, hingga pembayaran tunjangan sertifikasi yang masih tertunggak di beberapa wilayah. Selain itu, guru madrasah juga mendesak adanya perlindungan kesehatan melalui BPJS, jaminan ketenagakerjaan, hingga advokasi hukum bagi profesi guru.

 

 

Mengapa aksi ini penting? Karena selama ini guru madrasah seringkali hanya menjadi catatan pinggiran dalam kebijakan pendidikan nasional. Padahal, tanpa mereka, pendidikan keagamaan yang menjadi ciri khas Indonesia tak akan berjalan sekuat sekarang. Suara mereka adalah suara keadilan. Kesetaraan hak adalah hal yang mendesak, terutama agar para guru bisa mengajar dengan tenang tanpa dihantui ketidakpastian masa depan.

 

 

Respons dari pemerintah tentu sangat ditunggu. Apakah aksi damai ini akan melahirkan kebijakan afirmatif yang berpihak pada guru madrasah? Apakah akan ada percepatan regulasi pengangkatan PPPK/ASN serta transparansi penyaluran tunjangan? Ataukah perjuangan ini hanya akan menambah daftar panjang tuntutan yang belum terjawab?

 

 

Aksi damai ini juga memberi pelajaran penting: perubahan tidak akan hadir tanpa konsistensi perjuangan. Pemerintah memang memiliki kewajiban untuk mendengar, tetapi guru pun perlu terus menjaga gerakan advokasi dengan cara yang konstruktif dan solutif. Kolaborasi pusat dan daerah menjadi kunci, sebab madrasah berdiri di hampir seluruh pelosok negeri, mengisi ruang yang tidak selalu tersentuh sekolah negeri.

 

 

Aksi 1 Oktober 2025 bukan sekadar momentum, tetapi penanda bahwa suara guru madrasah kini semakin lantang dan tak bisa lagi diabaikan. Pada akhirnya, jika kesejahteraan guru tidak segera dijawab, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan tetap berjalan pincang.

Post a Comment

أحدث أقدم