Oleh: Dr. Musriaparto, M.M
Ketua PGM Indonesia PD Kota Subulussalam
Kepala MAN 2 Subulussalam
Kisah anjing dalam narasi agama dan budaya mengingatkan kita bahwa kehormatan tidak otomatis melekat pada bentuk atau rupa, melainkan pada peran yang dijalankan dan keberpihakan yang ditunjukkan. Anjing yang kerap disematkan simbol hina telah membuktikan kebalikannya, ketika berperan sebagai penopang kebenaran, ia mendapat tempat dalam catatan sejarah dan dihargai karena kesetiaan serta sumbangsihnya. Dari situ kita belajar bahwa manusia juga dinilai dari apa yang ia pilih untuk diperjuangkan kebenaran atau kepalsuan, keadilan atau tirani.
Loyalitas yang terpuji adalah loyalitas kepada prinsip, bukan kepada hawa nafsu atau kekuasaan yang zalim. Seorang pemimpin yang menuntut kesetiaan buta atas nama jabatan pantas dipertanyakan; sebaliknya, rakyat yang setia pada kebenaran dan kemaslahatan umum justru memperoleh martabat. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, kesetiaan pada keluarga, tetangga, negara, dan nilai-nilai moral harus tercermin dalam tindakan nyata bukan sekadar ucapan atau simbol.
Selain refleksi moral, ada juga pesan etis tentang perlakuan terhadap makhluk lainnya. Mentaati aturan ritual atau hukum bukan berarti mengabaikan rasa kasih sayang dan tanggung jawab, membersihkan diri dari sesuatu yang dianggap najis dalam konteks ibadah tidak menghapus kewajiban untuk menghormati ciptaan Tuhan. Kepedulian terhadap hewan, kepedulian terhadap sesama manusia, dan keberpihakan pada keadilan adalah rangkaian amal yang menempatkan seseorang pada kedudukan mulia.
Anjing adalah satu dari binatang haram yang bekas sentuhannya saja harus dibersihkan khusus dalam ajaran Islam. Anjing sebagaimana babi simbol kehinaan dalam tutur masyarakat dunia. Diasosiasikan dengan binatang ini pelecehan dan bisa berakibat pada pertumpahan darah.
Kendati untuk keperluan tertentu boleh memelihara anjing, tetap saja malaikat rahmat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing. Entah apa hikmah dari perlakuan ini, padahal anjing juga makhluk sama dengan yang lain, tercipta karena rahman dan rahim Tuhan.
Tergolong hewan cerdas dan mudah diajari membuat anjing banyak disayangi oleh manusia dan dijadikan piaraan, apalagi oleh non Muslim dan sebagian masyarakat Muslim.
Kitab-kitab fikih malah menurunkan pembahasan terkait anjing terlatih (muallam) dan tidak terlatih (gairu muallam). Hewan hasil tangkapan anjing muallam miliki kedudukan sendiri dalam hukum Islam.
Walau demikian, simbol "Kehinaan" tetap saja melekat pada anjing dan berbagai perumpamaan menyangkut perilaku manusia yang tidak baik diasosiasikan dengan anjing. Uniknya, anjing yang hina mendapat apresiasi tersendiri dalam Alquran. Namanya diabadikan dan tercatat dengan tinta emas.
Ternyata "hina" atau "mulia" bukan pada keberadaan atau eksistensi dan fitrah penciptaan, tetapi ada pada "peran" atau "lakon" yang dimainkan dan dipertontonkan. Hina bukan pada realitas tetapi pada sumbangsih dan kontribusi yang ditorehkan dan keberpihakan yang diejawantahkan dalam kehidupan.
Bentuk, eksistensi, dan rupa bukan tentukan stratifikasi "mulia" atau "hina" dalam Islam, tetapi pada kualitas amal yang dilahirkan. Itulah alasannya, anjing yang dianggap hina oleh manusia tetap dicatat dalam Alquran karena telah mainkan perannya dengan sukses sebagai "penopang" bagi kebenaran dan kebaikan.
Anjing Ashabul Kahfi adalah sejarah dramatis bagaimana binatang berpihak dan tunjukkan perannya membantu mereka yang tertindas oleh kezaliman penguasa. Anjing setia menderita ikut tuannya berjuang dari kejaran dan pencarian penguasa angkuh dan akhirnya bersembunyi di dalam gua hingga 300 tahun lebih.
Kisah ini mengajarkan bahwa peran yang dimainkan menentukan martabat manusia dalam Islam, atau kepada apa atau siapa keberpihakan adalah tolak ukur kemuliaan atau kehinaan.
Loyalitas adalah sisi lain yang menarik dari sikap anjing hingga ada istilah menarik menyatakan "berilah makan 3 hari pada anjing, ia akan mengingatmu selama tiga tahun, berilah makan pada manusia selama tiga tahun, ia akan melupakanmu setelah tiga hari".
Loyalitas adalah kata kunci yang mahal harganya di tengah kehidupan pragmatis dan hedonis saat ini. Pemimpin dan rakyat alami krisis loyalitas pada bangsa dan negara serta kebenaran dan keadilan. Ternyata walau hanya anjing tetapi lebih paham arti penting loyalitas dibanding manusia yang tidak dapat kendalikan hasratnya yang rendah.
Karenanya, ariflah dalam tentukan peran di altar kehidupan yang sangat dinamis dan penuh tantangan. Bijaklah tetapkan keberpihakan diantara berbagai pilihan yang kadang samar dan sulit dibedakan posisinya. Nasib manusia akan ditentukan sejarahnya sesuai dengan vote atau pilihan itu, gemilang atau hina.
Akhirnya, marilah kita gunakan kisah ini sebagai panggilan untuk menata ulang prioritas, memilih peran yang memperjuangkan kebenaran, melatih diri untuk setia pada prinsip yang luhur, dan memperkuat keberpihakan pada keadilan. Dengan demikian, sejarah kita sebagai individu dan bangsa akan menorehkan jejak yang membanggakan, bukan yang memalukan.
Posting Komentar